Vol. 2 - Hukum Tentang Bangkai - Pandangan Ulama Tentang Keharaman Bangkai (Kitabkuning90)
![]() |
Tafsir surat Al-Baqarah Ayat 173 dan Al-Maidah Ayat 3 |
Terdapat beberapa ayat yang menyinggung keharaman bangkai, namun dalam penelitian ini penulis memfokuskan pada tafsir surat Al-Baqarah ayat 173 dan Al-Maidah ayat 3, karena memiliki tafsir yang lebih spesifik tentang pengharaman bangkai, Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S Al-Baqarah [2]: 173).[1]
Pengharaman bangkai juga disebutkan secara eksplisit dalam surat Al-Maidah ayat 3, Allah SWT berfirman:
“Diharamkan bagimu (memakan) bangkai, darah, daging babi, (daging hewan) yang disembelih atas nama selain Allah, yang tercekik, yang terpukul, yang jatuh, yang ditanduk, dan diterkam binatang buas, kecuali yang sempat kamu menyembelihnya, dan (diharamkan bagimu) yang disembelih untuk berhala. dan (diharamkan juga) mengundi nasib dengan anak panah, (mengundi nasib dengan anak panah itu) adalah kefasikan. pada hari ini orang-orang kafir telah putus asa untuk (mengalahkan) agamamu, sebab itu janganlah kamu takut kepada mereka dan takutlah kepada-Ku. pada hari ini telah Kusempurnakan untuk kamu agamamu, dan telah Ku-cukupkan kepadamu nikmat-Ku, dan telah Ku-ridhai Islam itu Jadi agama bagimu. Maka barang siapa terpaksa karena kelaparan tanpa sengaja berbuat dosa, Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S. Al-Maidah [5]: 3). [2]
Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī dalam kitab Ṣafwah Al-Tafāsīr menerangkan bahwa dalam ayat sebelumnya Allah SWT secara tegas menyatakan bahwa umat Islam dihalalkan mengkonsumsi yang baik-baik, dan pada ayat ke 173, Allah SWT mengharamkan mengkonsumsi benda yang keji, yaitu seperti bangkai, darah dan daging babi. Al-Ṣabūnī berkata:
إنما حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير أي ما حرم عليكم إلا الخبائث كالميتة والدم ولحم الخنزير[3]
Artinya: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi…, maksudnya Allah tidak mengharamkan bagimu kecuali yang keji, seperti bangkai, darah dan daging babi”.
Meninjau dari redaksi ayat di atas, hukum haram dinisbatkan langsung pada benda-benda yang keji seperti bangkai, darah dan daging babi, ini menunjukkan adanya makna lain yang terkandung dalam pengharaman tersebut, karena hukum merupakan ketetapan Allah yang ditetapkan atas perbuatan hamba dan tidak mungkin dapat dinisbatkan langsung kepada benda, oleh karena itu menurut keterangan Al-Ṣabūnī, terdapat kandungan makna memakan dalam pengharaman bangkai, darah dan daging babi, berikut keterangannya:
قوله تعالى: {إنما حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير} هو على حذف مضاف أي أكل الميتة وأكل لحم الخنزير مثل قوله تعالى: {وسئل القرية} [يوسف: 82] أي أهل القرية. [4]
Artinya: “Firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah dan daging babi”. Ayat ini diungkapkan atas pembuangan mudhaf, maksudnya diharamkan memakan bangkai dan memakan daging babi, seperti firman Allah SWT: “tanyalah kepada desa”, Surat Yusuf ayat 82, maksudnya tanyakan kepada ahli desa tersebut”.
Dalam memaknai kandungan makna pengharaman bangkai dalam ayat di atas, para ulama berselisih paham terkait makna yang terkandung dalam pengharaman bangkai tersebut, Al-Ṣabūnī mengutip pendapat Al-Alūsī yang menyatakan bahwa makna yang dikandung dalam pengharaman bangkai tersebut adalah segala macam penggunaan dan pemanfaatan bangkai. Oleh karena itu, makna pengharaman bangkai dalam ayat di atas dapat dipahami secara umum, yaitu segala macam pemanfaatan bangkai diharamkan, berikut kutipannya:
قال الألوسي:» وإضافة الحرمة إلى العين - مع أن الحرمة من الأحكام الشرعية وليست مما تتعلق بالأعيان - إشارة إلى حرمة التصرف في الميتة من جميع الوجوه[5]
Artinya: “Al-Alusī berkata: Meng-idāfah kata haram kepada ‘in benda, padahal haram merupakan bagian dari hukum syariat dan bukanlah bagian dari sesuatu yang dapat dikaitkan dengan benda, maka hal itu menunjukkan pada keharaman penggunaan bangkai dari semua segi”.
Berdasarkan keterangan yang ada dapat dipahami bahwa Muhammad Ali Al-Shabuni dalam menafsirkan maksud keharaman bangkai pada surat Al-Baqarah ayat 173 dan Al-Maidah ayat 3 menyatakan khilafiyah pendapat para ulama dalam hal cakupan hukum keharaman bangkai tersebut. Sebagian ulama hanya mengharamkan aklu (memakan) saja, sedangkan mayoritas ulama mengharamkan secara umum segala macam intifa’ (pemanfaatan) bangkai.
Keharaman memanfaatkan bangkai diartikan secara umum atau secara khusus, masih menimbulkan perselisihan para ulama, sebagaimana keterangan berikut:
ورد التحريم في هذه الآية مسندا إلى أعيان الميتة والدم، وقد اختلف الفقهاء هل المحرم الأكل فقط، أم يحرم سائر وجوه الانتفاع، لأنه لما حرم الأكل حرم البيع والانتفاع بشيء منها لأنها ميتة، إلا ما استثناه الدليل[6]
Artinya: “Pengharaman dalam ayat tersebut datang disandarkan kepada ‘in bangkai dan darah. Para ulama berselisih pendapat apakah yang diharamkan hanya memakan saja atau diharamkan segala bentuk pemanfaatan, karena manakala Allah mengharamkan memakan, maka Allah juga mengharamkan menjualnya dan memanfaatkan suatu bagian darinya, karena itu juga merupakan bangkai, kecuali sesuatu yang dikecualikan oleh dalil”.
Sumber perselisihan pendapat para ulama dalam memahami batasan keharaman bangkai adalah pada pemahaman kandungan makna di saat redaksi ayat mengharamkan bangkai secara langsung, dalam hal ini sebagian ulama mengharamkan hanya makan saja, sedangkan pemanfaatan lain dibolehkan. Berikut keterangannya:
وذهب بعض العلماء إلى أن المحرم إنما هو الأكل فقط بدليل قوله تعالى: {كلوا من طيبات ما رزقناكم} وبدليل ما بعده في قوله تعالى: {فمن اضطر غير باغ} أي اضطر إلى الأكل. [7]
Artinya: “Sebagian ulama berpendapat bahwa yang diharamkan hanya memakan saja, dengan dalil firman Allah SWT: Makanlah kalian dari yang baik-baik dari apa yang telah kami rezekikan untuk kalian”, dan didukung juga dengan dalil potongan ayat sesudahnya pada firman Allah SWT: “barang siapa merasa mudharat dalam keadaan tidak melampaui batas”, artinya mudharat untuk makan”.
Keterangan ini menunjukkan bahwa sebagian ulama yang mengkhususkan keharaman bangkai hanya pada memakannya saja, meng-istidlāl berdasarkan petunjuk dari redaksi ayat sebelumnya yaitu surat Al-Baqarah ayat 172 terdapat redaksi “kulū” (makanlah) dan potongan ayat terakhir dari ayat 173 tersebut terdapat redaksi “fa man idhtharra” (barang siapa yang mudharat memakannya), maka dalam konteks ini yang dihalalkan dalam ayat 172 adalah memakan, yang dikecualikan karena mudharat adalah untuk memakannya dan yang diharamkan dalam ayat 173 juga tentu memakannya saja.
Pengkhususan keharaman bangkai juga didukung oleh pendapat Imam ‘Atha’ yang dikutip oleh Al-Ṣabūnī menerangkan bahwa diperbolehkan memanfaatkan kulit bangkai dengan cara di samak. Berikut kutipannya:
ذهب عطاء إلى أنه يجوز الانتفاع بشحم الميتة وجلدها، كطلاء السفن ودبغ الجلود[8]
Artinya: “Imam ‘Atha’ berpendapat bahwa boleh memanfaatkan lemak bangkai dan kulit bangkai, seperti mengecat kapal dan menyamak kulit”.
Keterangan ini menunjukkan bahwa menurut Imam ‘Atha’, lemak bangkai dan kulit bangkai boleh dimanfaatkan. Adapun lemak hewan yang sudah menjadi bangkai boleh dimanfaatkan sebagai bahan cat untuk kapal, dan kulit bangkai juga boleh dimanfaatkan dengan cara disamak. Maka dapat dipahami bahwa keharaman bangkai hanya terkhusus pada makan saja tidakpada pemanfaatannya dengan cara lain. Sedangkan menurut Al-Jassas, sebagaimana yang dikutip oleh Al-Ṣabūnī menerangkan:
قال الجصاص:» والتحريم يتناول سائر وجوه المنافع، فلا يجوز الانتفاع بالميتة على وجه ولا يطعمها الكلاب والجوارح، لأن ذلك ضرب من الانتفاعبها، وقد حرم الله الميتة تحريما مطلقا معلقا بعينها، فلا يجوز الانتفاع بشيء منها إلا أن يخص بدليل يجب التسليم له[9]
Artinya: “Al-Jassas berpendapat: Pengharaman tersebut mencakup kepada semua bentuk pemanfaatan, maka tidak boleh memanfaatkan bangkai di atas bentuk apapun dan tidak boleh juga memberi makannya untuk anjing dan binatang buas, karena hal demikian termasuk satu macam dari pemanfaatan bangkai, padahal Allah telah mengharamkan bangkai dengan pengharaman secara mutlak yang dikaitkan langsung pada diri bangkai, maka tidak boleh memanfaatkan sesuatu apapun dari bangkai, kecuali perkara yang dikhususkan oleh dalil yang dapat diterima”.
Pendapat Al-Jassas lebih cenderung memaknai pengharaman bangkai adalah secara umum segala pemanfaatan, maka yang diharamkan tidak hanya memakannya saja, tapi juga segala bentuk pemanfaatan bangkai termasuk juga memanfaatkan bangkai untuk umpan binatang buas, dalam hal ini juga tidak dibolehkan. Pendangan ini merupakan pendapat mayoritas ulama, sebagaimana penjelasan berikut:
وذهب الجمهور: إلى تحريمه واستدلوا بالآية الكريمة {حرمت عليكم الميتة} [المائدة: 3] أي الانتفاع بها بأكل أو غيره[10]
Artinya: “Mayoritas ulama berpendapat bahwa diharamkan memanfaatkan lemak dan kulit bangkai tersebut, mereka mendasarkan dalil kepada ayat yang mulia: “Diharamkan bagi kalian bangkai…” surat Al-Maidah ayat 3, maksudnya memanfaatkan bangkai dengan cara dimakan atau cara lainnya”.
Mayotitas ulama berpendapat bahwa yang diharamkan dari bangkai adalah secara umum segala bentuk pemanfaatannya, hal ini karena didukung dengan pemahaman surat Al-Maidah ayat 3 yang menunjukkan keharaman bangkai secara umum meliputi segala bentuk pemanfaatannya. Ketentuan ini juga didukung dengan adanya pendapat Imam Malik yang dikutip Imam Al-Qurthubi sebagai berikut:
وقال مرة: جملتها محرم، فلا يجوز الانتفاع بشيء منها، ولا بشيء من النجاسات على وجه من وجوه الانتفاع، حتى لا يجوز أن يسقى الزرع ولا الحيوان الماء النجس، ولا تعلف البهائم النجاسات، ولا تطعم الميتة الكلاب والسباع، وإن أكلتها لم تمنع. [11]
Artinya: “Imam Malik berkata pada satu kali: keseluruhan bangkai diharamkan, maka tidak boleh dimanfaatkan sesuatu apapun dari bangkai dan sesuatu apapun dari najis dengan cara apapun pemanfaatan itu, sehingga tidak boleh juga digunakan untuk menyiram tanaman dan memberi minum hewan dengan air najis dan tidak boleh juga memberi umpan hewan peliharaan dengan najis dan memberi makan bangkai kepada anjing dan binatang buas, namun jika hewan tersebut yang memakannya sendiri maka jangan ditegah”.
Pendapat Imam Malik ini menegaskan akan keharaman bangkai secara menyeluruh, baik itu untuk dimakan atau dimanfaatkan dengan cara yang lain. Pendapat ini didasari dengan redaksi umum dari surat Al-Baqarah ayat 173:
ووجه هذا القول ظاهر قوله تعالى:" حرمت عليكم الميتة والدم" ولم يخص وجها من وجه، ولا يجوز أن يقال: هذا الخطاب مجمل، لأن المجمل ما لا يفهم المراد من ظاهره، وقد فهمت العرب المراد من قوله تعالى:" حرمت عليكم الميتة"، [12]
Artinya: “Alasan pendapat ini adalah tinjauan zahir firman Allah SWT: “diharamkan bagi kalian bangkai dan darah”, dan tidak dikhususkan satu macam dari macam-macam pemanfaatan, dan tidak boleh dikatakan bahwa tuntutan dalam ayat tersebut bersifat mujmal, karena mujmal tidak mungkin dapat dipahami maksud dari zahirnya saja, sedangkan orang Arab di ketika itu telah memahami maksud dari firman Allah tersebut: “diharamkan bagi kalian bangkai”.
Di samping itu hukum keharaman pemanfaatan bangkai secara umum juga didukung dengan adanya hadis Rasulullah sebagai berikut:
وأيضا فإن النبي صلى الله عليه وسلم قال: (لا تنتفعوا من الميتة بشيء). وفي حديث عبد الله بن عكيم (لا تنتفعوا من الميتة بإهاب ولا عصب) [13]
Artinya: “Dan alasannya pula karena sesungguhnya Nabi SAW bersabda: “Jangan kalian manfaatkan dari bangkai sesuatu apapun”. Tersebut juga dalam hadis Abdullah bin ‘Akim: “Jangan kalian manfaatkan bangkai, baik itu kulitnya dan jangan juga uratnya”.
Berdasarkan hadis tersebut, maka sebagian ulama menegaskan akan keharaman bangkai secara umum, baik itu dimanfaatkan untuk dikonsumsi, atau pemanfaatan dalam bentuk lain, baik itu dimanfaatkan secara keseluruhan atau bagian lemaknya saja, kulitnya, uratnya atau bulunya.
Pandangan ulama yang mengkhususkan keharaman bangkai hanya pada memakannya saja, juga didukung dengan keterangan ulama mufassir lain. Diantaranya Imam Al-Qurthubī dalam karyanya kitab Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn mengutip pendapat Imam Malik dalam satu riwayat sebagai berikut:
واختلف العلماء هل يجوز أن ينتفع بالميتة أو بشيء من النجاسات، واختلف عن مالك في ذلك أيضا، فقال مرة: يجوز الانتفاع بها، لأن النبي صلى الله عليه وسلم مر على شاة ميمونة فقال: (هلا أخذتم إهابها). [14]
Artinya: “Para ulama berselisih pendapat apakah dibolehkan memanfaatkan bangkai atau sesuatu dari najis. Imam Malik juga berbeda pendapat tentang demikian, pada satu kali ia berkata: boleh memanfaatkan bangkai karena Nabi SAW pernah melewati kambing milik Maimunah, kemudian Beliau berkata: “Maukah kamu mengambil kulitnya”.
Keterangan ini menunjukkan bahwa hukum memanfaatkan bangkai dibolehkan karena didasari dengan adanya hadis Rasulullah SAW yang menunjukkan kebolehan memanfaatkan bangkai selain untuk dimakan. Begitu juga pandangan Imam Jalāluddīn Al-Suyūthī dalam Tafsir Al-Jalālain yang tampak mengkhususkan dalam pengharaman bangkai hanyalah mengharamkan memakannya saja, dalam arti kata Imam Al-Suyūthī lebih cenderung kepada pendapat yang membolehkan memanfaatkan bangkai selain untuk dimakan, karena pembahasan pengharaman bangkai dalam surat Al-Baqarah ayat 173 dan Al-Maidah ayat 3 adalah dalam konteks memakannya, maka dipahami keharaman bangkai yang ditunjukkan adalah hanya terkhusus haram memakannya saja. Berikut keterangan beliau:
{إنما حرم عليكم الميتة} أي أكلها إذ الكلام فيه وكذا ما بعدها وهي ما لم يذك شرعا وألحق به بالسنة ما أبين من حي وخص منها السمك والجراد[15]
Artinya: “Firman Allah SWT” Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai…”, maksudnya memakan bangkai, karena pembahasan dalam ayat tentang memakannya. Begitu juga ayat sesudahnya. Bangkai adalah hewan yang tidak disembelih secara syariat. Disamakan juga dengan bangkai berdasarkan hadis, yaitu bagian tubuh hewan yang diambil dari hewan yang hidup, dan dikhususkan darinya ikan dan belalang”.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa yang diharamkan dari bangkai hanyalah memakannya saja, maka pemanfaatan dalam bentuk lain dibolehkan. Keterangan ini juga senada dengan pemahaman Imam Al-Khāzin dalam kitab Lubāb Al-Ta’wīl fī Ma‘ānī Al-Tanzīl yang menjelaskan bahwa dalam ayat tersebut yang diharamkan hanyalah memakan bangkai, sebagaimana keterangan berikut:
قوله عز وجل: إنما حرم عليكم الميتة والدم ولحم الخنزير لما أمرنا الله تعالى في الآية التي تقدمت بأكل الطيبات التي هي الحلالات بين في هذه الآية أنواعا من المحرمات، أما الميتة فكل ما فارقته روحه من غير ذكاة مما يذبح[16]
Artinya: “Firman Allah SWT: “Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagi kalian bangkai, darah dan daging babi. Manakala Allah telah memerintahkan kepada kita dalam ayat sebelumnya untuk memakan yang baik-baik, yaitu yang halal, maka dalam ayat ini Allah menyatakan tentang beberapa macam dari perkara yang diharamkan. Adapun bangkai yaitu tiap-tiap hewan yang telah hilang ruhnya dengan tanpa disembelih dari macam-macam hewan yang seharusnya disembelih”.
Pemahaman haramnya bangkai khusus untuk dimakan saja tampak dari alasan Imam Al-Khāzin yang menyatakan keharaman bangkai karena najis, dan terdapat pembahasan pengecualiannya yang dihalalkan dari bangkai adalah ikan dan belalang, maka ini menunjukkan akan maksud pengharaman bangkai adalah dalam konteks haram memakannya, dan dikecualikan ikan serta belalang yang dihalalkan untuk dimakan:
أجمعت الأمة على تحريم أكل الميتة، وأنها نجسة واستثنى الشرع منها السمك والجراد[17]
Artinya: “Para ulama telah sepakat atas keharaman memakan bangkai karena bangkai merupakan najis dan syariat mengecualikan dari bangkai yaitu ikan dan belalang”.
Berdasarkan uraian di atas dapat dipahami bahwa pendapat sebagian ulama yang dinyatakan Syaikh Muhammad Ali Al-Shabuni terkait pengkhususan dalam pengharaman bangkai hanya pada memakannya saja didukung oleh penjelasan dari ulama mufassir lain, diantaranya Imam Al-Qurthubi, Imam Al-Suyuthi dan Imam Al-Khazin. Disamping itu terdapat pula satu riwayat pendapat Imam Malik yang menjadi penengah dari khilaf yang ada dan lebih relevan dengan kemajuan teknologi zaman sekarang, mengingat telah banyak pemanfaatan bangkai di zaman ini dengan cara dibersihkan dahulu atau di samak.
Referensi: [1]Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Halim, 2013), h. 93. [2]Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Halim, 2013), h. 171. [3]Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Ṣafwah Al-Tafāsīr, (Kairo: Dār Al-Ṣabūnī, 1997), h. 102. [4]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān fī Tafsīr Ayah Al-Aḥkām, Cet.I, (Bairut: Maktabah Al-Ghazali, 1980), h. 160. [5]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 160. [6]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān fī Tafsīr Ayah Al-Aḥkām, Cet.I, (Bairut: Maktabah Al-Ghazali, 1980), h. 160. [7]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 160. [8]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 163. [9]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 160-161. [10]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 163. [11]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn, Jld.II, (Kairo: Dār Al-Kutūb Al-Miṣriyyah, t.t), h. 218. [12]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn…, h. 218. [13]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn…, h. 218. [14]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn, Jld.II, (Kairo: Dār Al-Kutūb Al-Miṣriyyah, t.t), h. 218. [15]Jalāluddīn Al-Maḥallī dan Jalāluddīn Al-Suyūṭī, Tafsīr Al-Jalālain, Jld.I, (Kairo: Dār Al-Hadīs, t.t), h. 35. [16]‘Alauddīn Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb Al-Ta’wīl fī Ma‘ānī Al-Tanzīl, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), h. 102. [17]‘Alauddīn Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb Al-Ta’wīl fī Ma‘ānī Al-Tanzīl…, h. 103.
Semoga bermanfaat...!!
0 Response to "Vol. 2 - Hukum Tentang Bangkai - Pandangan Ulama Tentang Keharaman Bangkai (Kitabkuning90)"
Posting Komentar