KRITISI PANDANGAN QURAISH SHIHAB TENTANG MENGAMBIL UPAH DARI HARTA ANAK YATIM || Kitabkuning90
![]() |
Tafsir Al-Qur'an || Kitabkuning90 |
Kritisi Pandangan Quraish Shihab Tentang Ketentuan Mengambil Upah dari Harta Anak Yatim Menurut Penafsiran Ulama Mufassir
A. Pandangan Quraish Shihab Tentang Ketentuan Mengambil Upah dari Harta Anak YatimTerdapat ayat Al-Qur’an yang secara eksplisit membolehkan seorang wali yang menjaga harta anak yatim untuk mengambil, menggunakan dan memanfaatkan harta anak yatim pada saat mendesak, yaitu pada surat An-Nisa' [4] Ayat 6, Allah Swt berfirman:
“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”. (QS. An-Nisa [4]: 6). [1]
Dalam keterkaitannya dengan larangan mengambil harta anak yatim, dalam menafsirkan ayat ini, Quraish Shihab menegaskan:
“Ayat ini melanjutkan tuntunannya dengan menegaskan bahwa “janganlah kamu wahai para wali, memakan”, yakni memanfaatkan untuk kepentingan kamu harta anak yatim, dengan dalih kamu yang mengelolanya, sehingga memanfaatkannya lebih dari batas kepatutan”. [2]
Penjelasan ini menunjukkan secara zahir bahwa surat An-Nisa' [4] Ayat 6 melarang para wali yang memelihara harta anak yatim untuk mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim.
Namun larangan ini disertai dengan adanya kaid “lebih dari batas kepatutan”, maka hal ini mengindikasi penggunaan dan pemanfaatan harta anak yatim yang tidak melebihi dari batas kepatutan dibolehkan. Bahkan hal ini telah secara jelas ditegaskan dalam surat An-Nisa' [4] Ayat 6 di atas, “Barangsiapa yang miskin, maka bolehlah ia makan harta itu menurut yang patut”.
Celah kebolehan mengambil harta anak yatim ini juga sempat dijelaskan oleh Quraish Shihab dalam penafsiran ayat-ayat yang lain yang menjelaskan tentang konsep harta anak yatim, diantaranya ungkapan Quraish Shihab pada saat menafsirkan surat An-Nisa' [4] Ayat 10 berikut:
“Sesungguhnya orang-orang yang memakan”, maksudnya menggunakan atau memanfaatkan harta anak yatim dan kaum lemah lainnya secara zalim, yakni bukan pada tempatnya dan tidak sesuai petunjuk agama, maka sebenarnya mereka itu sedang menelan api dalam perut mereka”. [3]
Melalui kata “secara zalim, yakni bukan pada tempatnya dan tidak sesuai petunjuk agama” yang ditegaskan oleh Quraish Shihab tersebut, maka mengindikasikan bahwa ada kebolehan memakan harta anak yatim, yaitu bila pengambilan, pemanfaatan dan penggunaan harta anak yatim tersebit dilakukan dengan cara yang sesuai tuntunan syariat. Begitu juga ungkapan Quraish Shihab pada saat menafsirkan surat :
“Dan janganlah kamu dekati”, maksudnya apalagi menggunakan secara tidak sah harta anak yatim, kecuali dengan cara yang terbaik, sehingga dapat menjamin keberadaan, bahkan pengembangan harta itu, dan hendaklah pemeliharaan secara baik itu berlanjut hingga anak yatim itu mencapai kedewasaannya dan menerima dari kamu harta mereka untuk mereka kelola sendiri”.[4]
Dalam keterangan ini, terdapat juga ungkapan “kecuali dengan cara yang terbaik” yang mengindikasikan akan kebolehan mengambil harta anak yatim bila dilakukan dengan dengan cara yang terbaik. Maka dapat dipahami bahwa menurut Quraish Shihab, ayat-ayat terkait harta anak yatim kesemuanya menegaskan konsep larangan memakan harta anak yatim, larang ini kemudian dimaknai dalam arti larangan atas segala macam bentuk penggunaan dan pemanfaatan harta anak yatim yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Maka dalam pemeliharaan harta anak yatim dibolehkan adanya pengelolaan, penggunaan atau pemanfaatan, bila dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.
Adapun terkait pengambilan harta anak yatim yang dihitung sebagai upah atas jasa penjagaan anak yatim tersebut, maka dalam hal ini Quraish Shihab juga sempat menegaskan akan hal ini, bahwa:
“Barang siapa di antara pemelihara itu yang mampu, maka hendaklah ia menahan diri, yakni tidak menggunakan harta anak yatim itu, dan mencukupkan dengan anugerah Allah yang diperolehnya, dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan dan memanfaatkan harta itu, bahkan mengambil upah atau imbalan menurut yang patut”. [5]
Keterangan ini kiranya tegas menyatakan bahwa kebolehan mengambil dan memanfaatkan harta anak yatim yang dipahami oleh Quraish Shihab berdasarkan ayat-ayat tentang larangan memakan harta anak yatim, maksudnya adalah boleh mengambil harta anak yatim dalam segala bentuk pengambilan yang sesuai engan ketentuan syariat, bahkan hingga dibolehkan mengambil upah atau bayaran sebagai imbalan jasa menjaga dan merawat anak yatim tersebut. Maka harta yang diambil tersebut juga disesuaikan dengan kepatutan jasa selama merawat anak yatim.
B. Kritisi Pandangan Quraish Shihab Tentang Ketentuan Mengambil Upah dari Harta Anak Yatim Menurut Penafsiran Ulama Mufassir
Dari sub sebelumnya, penulis menemukan beberapa pendapat dari penafsiran Quraish Shihab yang layak untuk dikritisi berdasarkan penafsiran ulama mufassir lain, diantara hal yang patut dikritisi adalah:
1. Menyatukan konsep upah dan hajat
Berdasarkan keterangan sebelumnya bahwa menurut pandangan Quraish Shihab, mengambil upah pada harta anak yatim dibolehkan pada saat hajat, yaitu pada saat wali yang menjaga harta anak yatim tersebut miskin dan membutuhkan biaya untuk kebutuhan dan nafakah sehari-hari dan tidak diperdapatkan harta lain selain harta anak yatim, maka dibolehkan mengambi harta anak yatim sebagai upah jasanya menjaga anak yatim tersebut.[6] Hal ini berdasarkan penafsiran atas surat An-Nisa' [4] Ayat 6.
Sekilas ulama mufassir lain juga mengakui kebolehan mengambil upah atas harta anaka yatim pada saat hajat. Merujuk pada penafsiran atas surat An-Nisa' [4] Ayat 6, para ulama mufassir juga sempat menjelaskan terkait masalah pengambilan upah dari harta anak yatim, diantaranya Wahbah al-Zuhaili menjelaskan:
ثم نهى الله تعالى الأولياء فقال: ولا تأكلوا أموال اليتامى من غير حاجة ضرورية مبادرة ومسارعة قبل بلوغهم، أي مسابقين الكبر في السن التي بها يأخذون أموالهم منكم[7]
Artinya: “Allah SWT menjelaskan sebuah bentuk larangan bagi para wali, Allah SWT berfirman, “dan janganlah kalian memakan harta anak-anak yatim”, maksudnya tanpa ada hajat yang sangat mendesak dengan berlebihan dan tergesa-gesa sebelum anak-anak yatim mencapai usia akil baligh, karena ketika mereka telah mencapai usia akil baligh, maka harta mereka yang ada pada kalian harus diserahkan kepada mereka”.
Jika si wali adalah orang kaya dan tidak butuh kepada sebagian dari harta anak yatim yang berada di bawah penjagaan dan pengelolaannya tersebut, maka hendaklah ia menahan diri dari memakan dari harta anak yatim tersebut. Namun jika ia memang orang miskin, maka boleh baginya memakan dari harta anak yatim tersebut sesuai dengan kadar yang dibutuhkan berupa menutupi rasa lapar dan menutupi aurat. [8] Berdasarkan penjelasan ini, dapat dipahami bahwa kebolehan mengambil harta anak yatim atas nama hajat, tidak ada sangkut pautnya dengan upah, kondisi hajat dan dharurah tersebutlah yang membolehkan seorang ali mengambil harta anak yatim untuk keperluannya, bukan dianggap sebagai upah.
Sebagaimana penjelasan Wahbah al-Zuhaili berikut:
أما من كان محتاجا مضطرا إلى الأكل من مال اليتيم بلا إسراف ولا مبادرة أخذه قبل البلوغ، مقابل عمله وإشرافه[9]
Artinya: “Adapun wali yang memang dalam keadaan butuh dan terdesak untuk memakan dari harta anak yatim, dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak bersikap tergesa-gesa, maka boleh mengambilnya sebelum baligh, sebagai ganti upah dari pengasuhan dan perawatan yang ia lakukan”.
Penjelasan ini menegaskan bahwa seorang wali yang telah merawat dan menjaga anak yatim dibolehkan mengambil harta anak yatim untuk kebutuhannya pribadinya, namun bukan sebagai upah atas jasa perawatan dan pengasuhan anak yatim tersebut. Dalam hal ini, Ibnu Katsir dalam menafsirkan surat An-Nisa [4]: 10, juga menyatakan kebolehan memakan harta anak yatim bagi wali yang sedang dalam keadaan fakir. Sebagaimana keterangan berikut:
قد جوز الأكل منه للفقير بالمعروف، إما بشرط ضمان البدل لمن أيسر، أو مجانا[10]
Artinya: “Bahkan dibolehkan memakan harta anak yatim bagi orang fakir dengan cara yang ma’ruf. Namun adakala dengan syarat membayar gantinya bagi orang yang sudah kaya, atau secara cuma-cuma.
Terdapat dua keadaan dalam pengambilan harta anak yatim, pertama, boleh mengambil harta anak yatim dengan secara cuma-cuma dan tidak wajib menggantikannya, karena merupakan upah bagi wali yang menjaga anak yatim tersebut.[11] Sedangkan keadaan kedua mengambil harta anak yatim beserta menggantikan harta anak yatim tersebut. Bersandar kepada memakan harta anak yatim hanya boleh dalam keadaan terpaksa saja dan dianggap sebagai utang yang harus digantikan ketika wali tersebut sudah mampu membayarnya.[12]
2. Konsep upah dipersempit hanya bagi wali yang sedang dalam keadaan miskin
Menurut Quraish Shihab, kebolehan mengambil harta anak yatim sebagai upah hanya bagi wali yang sedang dalam keadaan hajat atau terdesak ekonomi,[13] dalam hal ini kiranya telah terjadi pengaburan hukum dalam status pengambilan harta anak yatim, karena bila ditetapkan harta anak yatim yang diambil tersebut sebagai upah, maka konsep upah tentu tidak terkait dengan hajat dan desakan ekonomi, karena upah merupakan hak yang dapat diambil walau dalam keadaan kaya. Bila pun harta yang diambil tersebut berdasarkan hajat dan desakan ekonomi/ dharurah, maka kebolehan mengambilnya tentu atas dasar hukum yang sebelumnya, yaitu tidak boleh, dan di ketika hilang dharurah tersebut atau hilang hajat yang memaksa si wali untuk mengambil harta anak yatim tersebut, maka sebagaimana konsep hajat dan darurat tentu harta yang telah diambil oleh wali wajib dikembalikan.
Dalam hal ini, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pandangan ulama mazhab perihal status mengambil harta anak yatim sebagai berikut:
وتساءل العلماء، هل ما يأكله الولي من مال اليتيم يعد أجرة أو لا؟ يرى الحنفية أنه ليس بأجرة. وقال آخرون: إنه أجرة ولم يفرق بين الغني والفقير، كما هو القياس في كل عمل يقابل بأجر وتساءل العلماء، هل ما يأكله الولي من مال اليتيم يعد أجرة أو لا؟ يرى الحنفية أنه ليس بأجرة. وقال آخرون: إنه أجرة ولم يفرق بين الغني والفقير، كما هو القياس في كل عمل يقابل بأجر[14]
Artinya: “Selanjutnya para ulama bertanya-tanya, apakah sesuatu yang dimakan oleh si wali dari harta si anak yatim dianggap sebagai upah ataukah tidak? Dalam hal ini, madzhab Hanafiyah berpandangan bahwa hal itu bukan upah. Namun ulama yang lain mengatakan bahwa hal itu merupakan upah dan dalam hal ini tidak ada perbedaan antara apakah si wali orang miskin atau orang kaya, ia tetap sama-sama boleh memakan dari harta si anak yatim, seperti yang ditetapkan di dalam peng-qiyasan setiap pekerjaan berhak mendapatkan upah”.
Berdasarkan penjelasan ulama mazhab Hanafi bahwa harta yang boleh diambil oleh wali di saat terdesak tidak dianggap sebagai upah, akan tetapi kebolehan tersebut hanya berstatus utang yang harus dibayar kembali ketika si wali sudah memiliki harta, sedangkan menurut pandangan ulama yang lain lebih cenderung menganggap harta tersebut sebagai upah yang tidak perlu dikembalikan, karena sudah menjadi hak wali yang menjaga anak yatim sebagai upah jasanya dalam merawat dan menjaga anak yatim. Hal ini dikuatkan oleh sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dari Abdullah bin Amr r.a:
أن رجلا سأل رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقال: ليس لي مال، ولي يتيم؟ فقال: «كل من مال يتيمكم غير مسرف ولا مبذر ولا متأثل مالا، ومن غير أن تقي مالك- أو قال- تفدي مالك بماله[15]
Artinya: “Bahwa ada seorang laki-laki bertanya kepada Rasulullah Saw, Saya tidak memiliki harta, namun saya mengasuh anak yatim. Lalu Rasulullah Saw berkata kepadanya, "Makanlah dari harta anak yatim tersebut tanpa berlebihan, tidak mengambil dari hartanya untuk kamu kumpulkan dan tidak boleh kamu menyimpan hartamu (tidak menggunakannya untuk memenuhi kebutuhannya supaya utuh), dan sebagai gantinya kamu menggunakan harta anak yatim tersebut untuk memenuhi kebutuhanmu”.
Sebagian ulama yang memahami kebolehan mengambil upah dari harta anak yatim tidak membedakan antara keadaan hajat atau tidak, miskin atau kaya, karena mereka memahami perintah pada ayat: “maka jika si wali adalah orang kaya, maka hendaklah ia menahan diri dari memakan dari harta si anak yatim”, maksudnya adalah perintah yang bersifat sunnah”. [16] Dalam hal ini juga diterapkan kaidah fiqh:
أن تكون هذه الأجرة مقدرة بأجر المثل، سواء أكفت الولي أم لا[17]
Artinya: “Jumlah dan kadar upah ini disesuaikan dengan kadar upah mitsil (upah standar pekerjaan yang setingkat), maksudnya disesuaikan dengan kadar upah pekerjaan yang setingkat dengan pengasuhan dan perawatan anak yatim, baik jumlah tersebut cukup bagi si wali maupun tidak”.
Allah SWT memerintahkan kepada wali yang kaya agar menahan diri dari mengambil sebagian dari harta anak yatim yang diasuhnya dan Allah SWT memperbolehkan bagi seorang wali untuk memakan dari harta anak yatim yang diasuhnya secara patut. Memakan secara patut maksudnya adalah seperti yang dikatakan oleh Hasan al-Bashri:
أن يأكل ما يسد جوعته، ويكتسي ما يستر عورته، ولا يلبس الرفيع من الكتان ولا الحلل. بدليل إجماع الأمة على أن الإمام الناظر للمسلمين لا يجب عليه غرم ما أكل بالمعروف لأن الله تعالى قد فرض سهمه في مال الله. [18]
Artinya: “Hanya sebatas yang bisa menghilangkan rasa lapar dan bisa menutupi auratnya, ia tidak boleh mengambil dari harta anak yatimnya untuk membeli pakaian yang mahal dan mewah. Hal ini berdasarkan ijma' umat bahwa seorang Imam yang mengurusi urusan kaum Muslimin tidak dikenakan denda atas apa yang dimakannya secara patut, karena Allah SWT telah menetapkan baginya bagian di dalam harta Allah SWT.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa ulama mufassir juga mengakui kebolehan seorang wali yang menjaga anak yatim untuk mengambil harta anak yatim tersebut yang digunakan untuk kepentingannya sendiri dalam hal ini kiranya menjadi sebuah sisi yang relevan dengan pendapat Quraish Shihab yang menyatakan kebolehan seorang wali yang merawat dan menjaga anak yatim untuk mengambil harta anak yatim tersebut sebagai upah jasanya yang telah merawat dan menjaga anak yatim.
C. Analisa Penulis dan Kesimpulan
Terdapat beberapa sisi yang perlu dikritisi dari pandangan Quraish Shihab yang menurut penulis tidak relevan dan tidak sesuai dengan pandangan ulama mufassir lain, diantaranya:
Pertama, bila merujuk pada pandangan ulama yang menyatakan kebolehan pengambilan harta anak yatim hanya karena saat hajat atau terdesak ekonomi, maka harta tersebut dianggap sebagai utang yang harus dikembalikan diketika wali tersebut telah memiliki harta dan kebolehan tersebut hanya sebatas hajat serta dibolehkan mengambil sesuai dengan keperluan hajatnya.
Kedua, bila merujuk pada pandangan ulama yang membolehkan mengambil harta anak yatim sebagai upah, maka para ulama membatasi harta yang boleh diambil tersebut dengan kadar dan jumlah sebatas ujrah mitsil, dalam arti kata upah yang sepadan dengan perawatan dan penjagaan anak yatim tersebut, dan tidak boleh melebihi dari kadar ujrah mitsil, kebolehan mengambil harta anak yatim sebagai upah ini juga tidak dibatasi hanya pada wali yang sedang dalam keadaan miskin, namun baik wali tersebut miskin atau kaya, berhajat atau tidak, tetap dibolehkan mengambil upah dari harta anak yatim, namun dibatasi hanya sebatas upah yang disesuaikan dengan standar jasa menurut penetapan kadar upah di lingkungan dan pasaran daerah tersebut.
Sedangkan Quraish Shihab dalam menjelaskan tentang kebolehan mengambil harta anak yatim sebagai upah bagi wali yang merawat dan menjaga anak yatim tersebut, tidak membatasi jumlah harta yang diambil serta mempersempit hanya bagi wali yang sedang dalam keadaan hajat atau terdesak ekonomi, dalam hal ini kiranya telah terjadi pengaburan hukum dalam status pengambilan harta anak yatim tersebut, karena bila ditetapkan harta anak yatim yang diambil tersebut sebagai upah, maka konsep upah tentu tidak terkait dengan hajat dan desakan ekonomi, karena upah merupakan hak yang dapat diambil walau dalam keadaan kaya.
Bila pun harta yang diambil tersebut berdasarkan hajat dan desakan ekonomi/ dharurah, maka kebolehan mengambilnya tentu atas dasar hukum yang sebelumnya, yaitu tidak boleh, dan di ketika hilang dharurah tersebut atau hilang hajat yang memaksa si wali untuk mengambil harta anak yatim tersebut, maka sebagaimana konsep hajat dan darurat tentu harta yang telah diambil oleh wali wajib dikembalikan.
Hal inilah yang menurut penulis tidak tersampaikan dalam Tafsir Al-Misbah, di mana Quraish Shihab dengan pendapatnya tersebut hakikatnya tidak memberikan suatu keputusan hukum yang jelas, tapi justru malah mengaburkan status hukum yang ada yang telah diputuskan oleh ulama-ulama mufassir yang lain. Yaitu kepastian hukum pengambilan harta anak yatim yang diposisikan antara dua konsep dasar, yaitu atas dasar dharurah dan hak upah.
[1]Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Halim, 2013), h. 208.
[2]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jld. II, (Jakarta:Lentera Hati, 2004), h. 352.
[3]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 358.
[4]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 344.
[5]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 352.
[6]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 352.
[7]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 251.
[8]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 251.
[9]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 251.
[10]Imam Ibnu Kaṡīr, Tafsīr Ibnu Kaṡīr; Tafsīr al-Qur’ᾱn al-Aẓīm, Jld. II, (Surabaya: Bina Ilmu, 2003), h. 309.
[11]Imam Ibnu katsir, Tafsīr Ibnu Kaṡīr; Tafsīr al-Qur’ᾱn al-Aẓīm…, h. 309.
[12]Imam Ibnu katsir, Tafsīr Ibnu Kaṡīr; Tafsīr al-Qur’ᾱn al-Aẓīm…, h. 309.
[13]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 352.
[14]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 252.
[15]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 252.
[16]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 252
[17]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 252
[18]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 252
Sekian...!!
Tulisan ini hanya sebuah pemikiran semata yang pastinya banyak memilki kekurangan, oleh karena itu kritik dan saran yang membangun ditunggu selalu.
0 Response to "KRITISI PANDANGAN QURAISH SHIHAB TENTANG MENGAMBIL UPAH DARI HARTA ANAK YATIM || Kitabkuning90"
Posting Komentar