Makna Mubażir dan Batasannya dalam Penggunaan Harta Menurut Tafsir Q.S Al-Isra’ Ayat 26-27 || Kitabkuning90
![]() |
Tafsir Al-Qur'an Surat Al-Isra’ Ayat 26-27 |
A. Tafsir Makna Mubażir dalam Al-Qur’an Surat Al-Isra’ Ayat 26-27
Tentang mubadzir, Allah swt berfirman dalam Al-Qur’an surat Al-Isra’ ayat 26-27 sebagai berikut:
“Dan berikanlah kepada keluarga-keluarga yang dekat akan haknya, kepada orang miskin dan orang yang dalam perjalanan dan janganlah kamu menghambur-hamburkan (hartamu) secara boros. Sesungguhnya pemborospemboros itu adalah saudara-saudara syaitan dan syaitan itu adalah sangat ingkar kepada Tuhannya”. (QS. Al-Isra` [17]: 26-27). [1]
1. Penamaan dan Keutamaan surat Al-Isra’
Surah ini dinamakan surah al-lsra' karena ia dibuka dengan mukjizat isra' Nabi saw pada malam hari dari Mekah ke Madinah. Surah ini juga dinamakan surah Bani Isra'il karena surah ini memaparkan kisah dua kali terasingnya mereka di muka bumi akibat kerusakan yang mereka timbulkan. Allah berfirman: "Dan Kami tetapkan terhadap Bani Isra'il dalam Kitab itu, "Kamu pasti akan berbuat kerusakan di bumi ini dua kali dan pasti kamu akan menyombongkan diri dengan kesombongan yang besar". Hingga sampai firman-Nya suarat al- Isra' ayat 8. [2]
Adapun terkait keutamaan surat Al-Isra’, Wahbah al-Zuhaili menjelaskan terdapat beberapa riwayat hadis yang menegaskan akan keutamannya, diantaranya riwayat Ahmad, at-Tirmidzi, Nasa'i, dan yang lainnya meriwayatkan dari Aisyah r.a., bahwa Nabi saw pada setiap malam membaca surah Bani Isra'il dan az-Zumar. Kemudian dalam riwayat Al-Bukhari dan Ibnu Mardawaih meriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r.a:
أنه قال في بني إسرائيل- أي هذه السورة- والكهف، ومريم، وطه، والأنبياء: هن من العتاق الأول، وهن من تلادي» أي فهي مشتركة في قدم النزول، وكونها مكيات، واشتمالها على القصص[3]
Artinya: “Bahwa dia berkata tentang surah Bani Isra'il ini, surah al-Kahf, Maryam, Thaahaa dan al-Anbiyaa', "Surah-surah tersebut termasuk surah-surah yang pertama turun dan mempunyai keutamaan, karena mengandung kisah-kisah”. Maksudnya surah-surah tersebut merupakan surah-surah yang pertama turun di Mekah dan mengandung kisah-kisah”.
2. Asbab al-Nuzul Surat Al-Isra’ Ayat 26-27
Terdapat beberapa riwayat hadis yang menjelaskan tentang asbab al-nuzul surat Al-Isra’ ayat 26-27. Diantaranya riwayat Imam Al-Thabrani dan lainnya meriwayatkan dari Abu Sa'id al-Khudri, dia berkata:
لما نزلت: وآت ذا القربى حقه دعا رسول الله صلى الله عليه وآله وسلم فاطمة، فأعطاها فدك[4]
Artinya: “"Ketika turun ayat wa āti dzil qurbā, Rasulullah saw memanggil Fatimah lalu memberinya tanah Fadak”.
Ibnu Katsir berkata, "lni masalah yang sulit. Sebab turunnya ayat ini menunjukkan bahwa ayat tersebut turun di Madinah, sedangkan yang masyhur tidak demikian. Namun, di awal surah disebutkan bahwa ayat ini turun di Madinah. Ibnu Mardawaih juga meriwayatkan dari Ibnu Abbas r,a. sebab turunnya ayat yang serupa.[5] Kemudian Wahbah al-Zuhaili menegaskan dalam Tafsir al-Wasīṭ:
نزلت الآيات في كل من كان يسأل النبي صلى الله عليه وسلم من المساكين، وتأمره بالإنفاق من غير تقتير ولا بسط يد، فموضوعها الإحسان إلى ذوي القرابة والمساكين وأبناء السبيل، والاعتدال في الإنفاق من غير إقلال ولا إسراف[6]
Artinya: “Ayat-ayat ini diturunkan mengenai setiap orang yang memohon kepada Nabi Muhammad SAW, semoga Allah SWT memberinya rahmat dan memberinya kedamaian, dari orang-orang miskin, dan memerintahkannya untuk menafkahkan harta tanpa harus berhemat dan tidak mengulurkan tangan. Maka tujuan ayat ini adalah perintah untuk berbuat baik kepada kerabat, orang miskin dan para musafir, serta bersikap pertengahan dalam membelanjakan hartanya tanpa berhemat dan boros”.
Berdasarkan keterangan ini dapat disimpulkan bahwa asbab al-nuzul ayat di atas disamping berkaitan dengan perintah berbuat baik kepada kerabat, juga ditujukan untuk peringatan terhadap orang-orang yang mubadzir agar tidak melampaui batas dalam menggunakan hartanya.
3. Tafsir Al-Mufradat Surat Al-Isra’ Ayat 26-27
Syaikh Wahbah al-Zuhaili menerangkan di dalam kitab Tafsir al-Munir tentang beberapa potongan-potongan lafaz sebagai penafsiran dari surat Al-Isra’ Ayat 26-27 berikut:
وآت ذا القربى القرابة. حقه من البر والصلة[7]
Artinya: “Wa āti” artinya berikanlah, “kepada keluarga-keluarga dekat”, maksudnya yaitu mereka yang memiliki hubungan kerabat akan hak mereka, yaitu bakti dan hubungan silaturahim”.
Adapaun maksud dari larangan mubadzir dalam ayat di atas, adalah:
ولا تبذر تبذيرا التبذير: إنفاق المال في غير موضعه الموافق للشرع والحكمة. [8]
Artinya: “Wa la tubazzir tabdzzira” artinya “dan janganla berlaku boros”. Boros artinya menggunakan harta tidak pada tempatnya, sesuai dengan syari'at dan hikmah.
Keterangan ini menegaskan tiga batasan mubadzir, yaitu tidak menggunakan harta pada tempatnya, tidak sesuai dengan syari'at dan tidak sesuai dengan hikmah-hikmah yang semestinya diikuti.
إخوان الشياطين أي قرناءهم وعلى طريقتهم كفورا شديد الكفر لنعمه. فكذلك قرينه المبذر. [9]
Artinya: “Ikhwan al-Syayathin” maksunya teman-teman mereka dan berada di jalannya yang kufur dan sangat ingkar terhadap nikmat-nikmat-Nya, demikian juga temannya yang menghambur-hamburkan harta.
وإما تعرضن عنهم أي وإن أعرضت عن المذكورين من ذي القربى والمسكين وابن السبيل، حياء من الرد، فلم تعطهم[10]
Artinya: “Wa imma ta’ridhna ‘anhum” artinya “dan jika kamu berpaling dari mereka”, yakni kerabat, orang miskin dan ibnu sabil tersebut, karena malu atau enggan, sehingga kamu tidak memberi mereka”.
4. Tafsir Ijmali Surat Al-Isra’ Ayat 26-27
Islam merupakan agama yang mengedepankan kesederhanaan dan pertengahan dalam setiap urusannya. Islam tidak memaksa para penganutnya untuk berbuat kebaikan yang melampaui batas kemampuan dan Islam juga tidak membiarkan penganutnya lalai dalam ketinggalan, akan tetapi Islam mengedepankan untuk berbuat sesuai dengan kemampuan dan pertengahan, baik itu dalam usaha duniawi maupun amalan akhirat. Wahbah al-Zuhailī menjelaskan:
الإسلام دين التوسط والرحمة والاعتدال في النفقة على النفس والقريب والأهل والمحتاجين، فلا يصح البخل والتقتير، ولا الإسراف والتبذير، وليعتمد الإنسان على رزق الله الذي لا ينقطع ولا ينفد، وليتكل على الله الذي لا يضيع أحدا من خلقه وعباده، إذا أحسنوا العمل وقاموا بالكسب والسعي، ولم يعطلوا مواهبهم في الإنتاج والبحث واكتشاف خزائن الأرض، والإفادة من خيرات السماء[11]
Artinya: “Islam adalah agama yang menuntut pertengahan, penuh kasih sayang, dan tidak berlebihan dalam membelanjakan untuk diri sendiri, sanak saudara, keluarga, dan orang-orang yang membutuhkan. Maka tidak boleh kikir dan pelit, tidak boleh boros dan mubadzir. Karena manusia bersandar pada rezeki Allah yang tidak terputus dan tidak ada habisnya, dan bersandar kepada Allah yang tidak menyia-nyiakan satu pun ciptaan dan hamba-hamba-Nya. Jika mereka beramal saleh, hidup dengan mencari nafkah dan berusaha, mereka tidak mengabaikan bakat mereka dalam produksi, penelitian, menemukan harta kekayaan bumi, dan memanfaatkan kebaikan dari langit”.
Ketika Allah menyebutkan bakti kepada kedua orang tua dalam surat Al-Isra’ pada ayat sebelumnya, Dia meng-‘athaf-kannya (mengaitkannya) dengan berbuat baik kepada kerabat dan menyambung hubungan silaturahim dengan mereka. [12] Jadi, maksud surat Al-Isra’ ayat 26-27 di atas adalah, wahai para mukallaf, berikanlah kepada kerabat, orang miskin, dan musafir yang ingin pulang ke negerinya yang tidak mempunyai bekal, berikanlah hak mereka berupa silaturahim, kasih sayang, kunjungan, interaksi yang baik, biaya hidup jika dia memerlukannya, serta membantu ibnu sabil dengan bekal yang cukup untuk biaya perjalanannya. Isi ayat di atas memang dituiukan kepada Rasulullah saw, namun yang dimaksud ialah umat beliau. [13]
Dalam sebuah hadits yang diriwayatkan Abu Dawud dari Bakar bin al-Harits al-Anmari' Rasulullah saw bersabda:
أمك وأباك، ثم أدناك أدناك» أو «ثم الأقرب فالأقرب[14]
Artinya: “Ibumu dan ayahmu, kemudian orang yang dekat denganmu” atau "kemudian orang yang paling deiat denganmu lalu orang setelahnya”. (HR Abu Dawud).
Kemudian dalam hadis lain diriwayatkan dari Anas, dari Nabi saw beliau bersabda:
من أحب أن يبسط له في رزقه، وينسأ له في أثره، فليصل رحمه[15]
Artinya: "Barangsiapa yang ingin agar dilapangkan dalam rezekinya dan dipanjangkan bagi keberkahan pada usianya, maka hendaknya dia menyambung hubungan silaturahim dengan kerabatnya”. (HR Bukhari dan Muslim).
Setelah Allah Swt memerintahkan untuk menggunakan harta secara wajar, kemudian Allah menyebutkan adab atau etika dalam menggunakan harta dan bersikap wajar dalam kehidupan, dengan mencela sifat kikir dan melarang sifat boros atau mubażir, yakni: “janganlah kamu terlalu kikir terhadap diri sendiri dan keluargamu dengan tidak menggunakan harta untuk menyambung silaturahim dan melakukan kebaikan kepada mereka dan janganlah bersikap boros dan berlebihan dalam membelanjakan harta dengan memberi mereka melebihi kemampuanmu dan melebihi penghasilanmu, sehingga tidak ada yang tersisa lagi di tanganmu”. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan:
إن أصول الإنفاق هو الاقتصاد في العيش، والتوسط في الإنفاق، دون بخل ولا سرف، فالبخل إفراط في الإمساك، والتبذير إفراط في الإنفاق، وهما مذمومان، وخير الأمور أوساطها، والفضيلة وسط بين رذيلتين[16]
Artinya: “Hal-hal pokok yang menjadi dasar dalam penggunaan harta adalah hidup secara wajar dan menggunakan harta secara tidak berlebihan, baik kikir atau pun boros/tabżīr. Karena kikir adalah berlebihan dalam menahan harta, dan tabżīr adalah berlebihan dalam menggunakan harta. Keduanya adalah sifa tercela. Sebaik-baik perkara adalah pertengahannya, dan akhlak mulia adalah pertengahan antara dua hal yang tercela”.
Diriwayatkan dari Ibnu Mas'ud r'a', ia berkata, "Rasulullah saw bersabda: “Tidak akan menjadi miskin orang yang menggunakan hartanya secara waiar". Dalam hadis lain riwayat Ibnu Abbas ra, ia berkata, "Rasulullah saw bersabda:
الاقتصاد في النفقة نصف المعيشة[17]
Artinya: “Menggunakan harta secara wajar adalah setengah dari rezekil". (HR al-Baihaqi).
Di dalam Musnad al-Firdaus diriwayatkan dari Anas secara marfū‘ dari Rasulullah saw bahwa beliau bersabda:
التدبير نصف العيش، والتودد نصف العقل، والهم نصف الهرم، وقلة العيال أحد اليسارين[18]
Artinya: “Pengaturan yang baik adalah setengah dari rezeki, sikap lemah lembut adalah setengah dari akal sehat, kegelisahan adalah setengah dari ketuaan dan sedikitnya orang yang menjadi tanggungan adalah satu dari dua kemudahan”. (HR. ad-Dailami).
Dalam hadis lain riwayat dari Abu Hurairah ra, ia berkata, " Rasulullah saw bersabda:
ما من يوم يصبح العباد فيه، إلا وملكان ينزلان من السماء، يقول أحدهما: اللهم أعط منفقا خلفا، ويقول الآخر: اللهم أعط ممسكا تلفا[19]
Artinya: “Tidak ada hari yang dimasuki oleh para hamba, kecuali pada pagi harinya dua malaikat turun dari langit dan salah satunya berkata: "Ya Allah, berilah ganti kepada orang yang bersedekah dan satunya berkata, "Ya Allah, berilah kerusakan pada harta orang yang tidak mau bersedekah”. (HR. Bukhari dan Muslim).
Imam Muslim meriwayatkan dari Abu Hurairah ra secara marfū‘ (bersambung) dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda: “Tidaklah berkurang harta karena sedekah, tidaklah seorang hamba bersedekah kecuali Allah memuliakannya, dan barangsiapa bersikap tawadhu‘ karena Allah, niscaya Allah mengangkat derajatnya’. (HR. Muslim). Diriwayatkan dari Abdullah bin Umar secara marfū‘ dari Rasulullah saw, bahwa beliau bersabda:
إياكم والشح، فإنه أهلك من كان قبلكم، أمرهم بالبخل فبخلوا، وأمرهم بالقطيعة فقطعوا، وأمرهم بالفجور ففجروا[20]
Artinya: “Jauhilah sifut kikir, sesungguhnya sifut itu telah membinasakan umat sebelum kalian. Sifat tersebut memerintahkan mereka untuk bersikap kikir, lalu mereka pun kikir dan memerintahkan mereka untuk memutuskan hubungan dari orang-orang, lalu mereka pun melakukannya dan sifat itu memerintahkan mereka untuk berbuat jahat dan mereka pun berbuat jahat”. (HR. Abu Dawud).
Setelah memerintahkan agar menjalin silaturahmi, memberi nafkah dan bersedekah kepada para kerabat, Allah melarang hamba-Nya bersikap boros dan menjelaskan cara menafkahkan harta yang baik. Jadi, arti surat Al-Isra’ ayat 27 di atas; “Janganlah kamu menafkahkan hartamu, melainkan secara wajar”, maksud secara wajar disini dijelaskan:
لا تنفق المال إلا باعتدال وفي غير معصية وللمستحقين، بالوسط الذي لا إسراف فيه ولا تبذير[21]
Artinya: “Bukan untuk kemaksiatan, melainkan diberikan kepada orang-orang yang berhak mendapatkannya serta tidak berlebihan dan boros”.
5. Tafsir Makna Mubażir dalam Al-Qur’an Menurut Tafsīr Al-Munīr
Lebih jelas lagi Wahbah al-Zuhaili menjelaskan makna mubażir dalam ayat tersebut sebagai berikut:
والتبذير لغة: إفساد المال وإنفاقه في السرف، والوسطية والاعتدال هي سياسة الإسلام المالية والاجتماعية والدينية، قال تعالى: والذين إذا أنفقوا لم يسرفوا ولم يقتروا، وكان بين ذلك قواما [الفرقان 25/ 67] [22]
Artinya: “Kata tabżīr secara etimologi (bahasa) artinya menyia-nyiakan harta dan membelanjakannya secara boros. Adapun wasathiyyah dan i'tidal (sikap tidak berlebihan dan sewajarnya) merupakan tuntunan Islam dalam urusan harta, sosial dan agama. Allah SWT berfirman; "Dan (termasuk hamba-hamba Tuhan Yang Maha Pengasih) orang-orang yang apabila menginfakkan (harta), mereka tidak berlebihan, dan tidak (pula) kikir di antara keduanya secara wajar”. (Q.S al-Furqaan : 67).
Kemudian Allah SWT mengingatkan buruknya sikap boros dengan menyebutnya sebagai perbuatan setan. Sesungguhnya orang-orang yang menggunakan harta mereka untuk maksiat menyerupai setan-setan dalam perbuatan buruknya itu. Mereka adalah teman- teman setan di dunia dan akhirat, mereka iuga serupa dengan setan-setan tersebut dalam sifat dan perbuatan. [23] Hal ini sebagaimana difirmankan oleh Allah SWT:
ومن يعش عن ذكر الرحمن نقيض له شيطانا، فهو له قرين [الزخرف 43/ 36] أي قرناءهم من الشياطين[24]
Artinya: “Dan barangsiapa berpaling dari pengajaran Allah Yang Maha Pengasih (Al-Qur'an) Kami biarkan setan (menyesatkannya) dan meniadi teman karibnya”. (Q.S az-Zukhruf: 36). Teman-teman mereka yaitu setan-setan.
Dalam memahami makna mubażir dalam surat al-Isra’ di atas, Wahbah al-Zuhaili juga mengutip beberapa pandangan ulama lain, diantaranya:
قال ابن مسعود: التبذير: الإنفاق في غير حق[25]
Artinya: “Ibnu Mas'ud r.a. berkata: "Al-Tabżīr (menghambur-hamburkan harta secara boros) adalah menggunakan harta untuk hal yang tidak benar”.
Ibnu mas’ud mendefinisikan mubażir adalah segala bentuk penggunaan harta yang ditujukan kepada hal-hal yang tidak berhak, baik itu sedikit atau banyak, baik itu secara berlebihan atau sewajarnya saja. penjelasan ini didukung oleh keterangan Mujahid sebagai berikut:
وقال مجاهد: لو أنفق إنسان ماله كله في الحق، لم يكن مبذرا، ولو أنفق مدا في غير حق، كان مبذرا[26]
Artinya: “Mujahid berkata: "Jika seseorang menggunakan seluruh hartanya untuk hal yang benar, maka dia bukanlah mubadzdzir. Namun, jika ia menggunakan satu mud saja dari hartanya untuk hal yang tidak benar, ia adalah orang yang mubażir”.
Pemaknaan kata mubażir ini juga ditegaskan oleh Saidina Ali bahwa maksud mempergunakan harta pada tempat yang tidak benar adalah mempergunakannya secara boros, atau dengan niat yang tidak benar, seperti untuk pamer dan sebagainya. Berikut keterangannya:
وعن علي كرم الله وجهه قال: ما أنفقت على نفسك وأهل بيتك في غير سرف ولا تبذير، وما تصدقت فلك، وما أنفقت رياء وسمعة، فذلك حظ الشيطان. وأنفق بعضهم نفقة في خير فأكثر، فقيل له: لا خير في السرف، فقال: لا سرف في الخير[27]
Artinya: “Diriwayatkan dari Saidina Ali, dia berkata, “Apa yang kamu gunakan untuk keperluanmu dan keluargamu secara tidak boros dan tidak berlebihan, serta apa yang kamu sedekahkan, maka itu adalah untukmu. Sedangkan, yang kamu gunakan untuk pamer, maka itu adalah untuk setan”. Ada seseorang menggunakan banyak hartanya untuk kebaikan, lalu ia ditegur; "Tidak ada kebaikan sama sekali dalam pemborosan”. Namun orang itu menjawab, "Tidak ada istilah boros dalam kebaikan”.
Semua pemahaman makna mubażir di atas kiranya dapat disatukan pada makna yang umum dan singkat, yaitu segala penggunaan harta pada hal-hal yang tidak diridhai Allah Swt. Baik itu dalam bentuk pemborosan maupun penggunaan untuk niat dan tujuan yang tidak benar. Sebagaimana keterangan al-Karkhi yang dikutip oleh Wahbah al-Zuhaili berikut:
قال الكرخي: وكذلك من رزقه الله جاها أو مالا، فصرفه إلى غير مرضاة الله، كان كفورا لنعمة الله لأنه موافق للشيطان في الصفة والفعل وفي صفة الشيطان أنه كفور لربه دلالة على كون المبذر أيضا كفورا لربه[28]
Artinya: “Al-Karkhi berkata, "Demikian juga dengan orang yang diberi jabatan atau harta oleh Allah, lalu dia menggunakannya untuk hal-hal yang tidak diridhai, maka dia kufur terhadap nikmat Allah karena sifat dan perbuatannya sama dengan sifat dari perbuatan setan. Dalam penyebutan sifat setan, yaitu kufur (sangat ingkar) terhadap Allah, terdapat petunjuk bahwa orang mubadzdzir juga kufur terhadap Tuhannya”.
Sebagian ulama mengatakan bahwa ayat ini turun sesuai dengan tradisi Arab. Orang-orang Arab dahulu mengumpulkan harta dengan merampas dan menyerang, kemudian mereka menggunakannya untuk kesombongan dan berbangga-banggaan. Dan orang-orang musyrik dari kalangan Quraisy dan lainnya menggunakan harta mereka untuk menghalangi orang-orang agar tidak masuk Islam, melemahkan kaum Muslimin, dan membantu musuh mereka. Maka turunlah ayat ini untuk menegaskan buruknya perbuatan mubażir mereka itu. [29]
Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami bahwa tafsir makna mubażir menurut pandangan Wahabah al-Zuhaili dalam kitab Tafsīr al-Munīr dengan merujuk pada hadis-hadis mauqūf dari para sahabat bahwa mubażir secara bahasa adalah orang yang boros, namun mubażir yang dimaksud dalam dalam Q.S Al-Isra’ ayat 26-27 adalah orang yang mempergunakan hartanya pada hal-hal yang tidak diridhai Allah Swt, baik itu dalam bentuk penggunaan yang boros dan berlebihan atau penggunaan harta untuk kezaliman dan kemaksiatan ataupun penggunaan harta yang didasari dengan niat yang tidak dibenarkan, seperti untuk ria dan berbangga-bangga.
Dalam memahami tafsir makna mubażir ini, penulis juga merujuk kepada beberapa pandangan dari mufassir lain sebagai bahan sekunder atau bahan pendukung dalam penelitian ini, diantaranya:
a. Mubażir menurut Imam Ibnu Katsir dalam Tafsir al-Qur’an al-Azim
Ismâ'îl ibn Katsîr al-Qurasyî al-Dimasyqî dalam Tafsîr al-Qur’an al-Azîm menjelaskan ayat 26 dan 27 surat al-Isra secara jelas dan rinci dengan menegaskan bahwa setelah perintah untuk memberi nafkah kepada kerabat, Allah melarang bersikap berlebih-lebihan dalam memberi nafkah (membelanjakan harta), tetapi yang dianjurkan ialah pertengahan. Sikap berlebihan disini adalah yang dimaksud dengan mubażir. Dalam memahami makna mubażir, Imam Ibnu Katsir juga mengutip beberapa pendapat ulama:
قال ابن مسعود: التبذير الإنفاق في غير حق، وكذا قال ابن عباس، وقال مجاهد: لو أنفق إنسان ماله كله في الحق لم يكن مبذرا، ولو أنفق مدا في غير حق كان مبذرا. وقال قتادة: التبذير النفقة في معصية الله تعالى، وفي غير الحق والفساد[30]
Artinya: “Ibnu Mas'ud r.a. berkata: "Al-Tabżīr (menghambur-hamburkan harta secara boros) adalah menggunakan harta untuk hal yang tidak benar. Begitu juga pendapat Ibnu Abbas r.a. Mujahid berkata: "Jika seseorang menggunakan seluruh hartanya untuk hal yang benar, maka dia bukanlah mubadzdzir. Namun, jika ia menggunakan satu mud saja dari hartanya untuk hal yang tidak benar, ia adalah orang yang mubażir. Sementara Qatadah berkata: Al-Tabżīr adalah mempergunakan harta untuk maksiat kepada Allah dan pada hal yang tidak benar atau untuk kerusakan”.
Berdasarkan penjelasan ini kiranya pemahaman makna mubażir menurut Imam Ibnu Katsir tidak berbeda dengan pandangan Wahbah al-Zuhaili, dimana dengan merujuk pada beberapa pandangan para sahabat Nabi, Imam Ibnu Katsir memaknai mubażir adalah orang yang mempergunakan harta untuk jalan yang tidak diridhai Allah Swt atau secara berlebih-lebihan.
b. Mubażir menurut Imam al-Qurthubi dalam Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān
Berbeda dari para mufassir lain, Imam al-Qurthubi dalam kitab Al-Jāmi’ li Aḥkām al-Qur’ān lebih cenderung mengutip pendapat Imam mazhab seperti Imam al-Syāfi’ī dan Imam Malik dalam memahami tafsir makna mubażir. Berikut penjelasan beliau:
قال الشافعي رضي الله عنه: والتبذير إنفاق المال في غير حقه، ولا تبذير في عمل الخير. وهذا قول الجمهور. وقال أشهب عن مالك: التبذير هو أخذ المال من حقه ووضعه في غير حقه، وهو الإسراف، وهو حرام لقوله تعالى:" إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين"[31]
Artinya: “Imam al-Syāfi‘ī radhiyallahu 'anhu berkata: Al-Tabżīr adalah membelanjakan harta pada hal yang tidak semestinya, dan tidak ada istilah mubażir dalam amal kebaikan. Inilah adalah pendapat jumhur ulama. Asyhab meriwayatkan hadis dari Imam Malik: mubażir adalah mengambil harta yang menjadi haknya dan mempergunakannya pada sesuatu yang bukan haknya. Mubażir merupakan sikap pembrsan dan hukumnya haram. karena firman Allah Swt: Sesungguhnya orang-orang mubażir adalah saudara syaithan”.
Lebih rinci lagi, Imam al-Qurthubi menguraikan beberapa contoh sebagai pegangan kriteria mubażir yang sering disalah pahami orang-orang awam. Berikut penjelasan beliau:
من أنفق ماله في الشهوات زائدة على قدر الحاجات وعرضه بذلك للنفاد فهو مبذر. ومن أنفق ربح ماله في شهواته وحفظ الأصل أو الرقبة فليس بمبذر. ومن أنفق درهما في حرام فهو مبذر، ويحجر عليه في نفقته الدرهم في الحرام، ولا يحجر عليه إن بذله في الشهوات إلا إذا خيف عليه النفاد [32]
Artinya: “Siapa yang membelanjakan hartanya untuk keinginan yang melebihi kadar kebutuhannya, sehingga sikapnya demikian mengakibatkan kehabisan harta, maka ia adalah orang yang mubażir. Barang siapa yang menafkahkan keuntungan hartanya untuk keinginannya dan menjaga modal atau pangkalnya, maka ia bukanlah orang yang mubażir. Barangsiapa yang membelanjakan satu dirham untuk barang-barang haram, maka ia termasuk orang yang mubażir, dan ia dilarang membelanjakan satu dirham untuk barang-barang haram, dan ia tidak dilarang membelanjakan harta untuk keinginannya, kecuali jika dikhawatirkan kehabisan”.
c. Mubażir menurut Imam al-Maraghi dalam Tafsir al-Maraghi
Menurut Ahmad Mustafâ Al-Marâgî dalam mengartikan makna mubażir, meriwayatkan kisah Usman bin al-Aswad yang mengatakan: “Saya pernah berkeliling ke masjid-masjid di sekitar Ka'bah bersama Mujahid. Maka dia mengangkat kepalanya memandang ke Abu Kubais (sebuah gunung di Makkah), lalu berkata: “Andaikata ada seorang lelaki menafkahkan harta sebesar gunung ini dalam ketaatan kepada Allah, tidaklah ia tergolong mubażir. Namun kalau dia menafkahkan satu dirham dalam bermaksiat kepada Allah, maka dia memang tergolong mubażir”. Hal ini juga selaras dengan apa yang diamalkan sebagian sahabat, yaitu:
وأنفق بعضهم نفقة فى خير وأكثر فقيل له: لا خير فى السرف، فقال: لا سرف فى الخير[33]
Artinya: “Sebagaian sahabat membelanjakan hartanya untuk kebaikan dengan kadar yang terlalu banyak, sehingga orang lain berkata: “Tidak ada kebaikan dalam pemborosan”. Kemudia ia menjawab: “Tidak ada pemborosan pada amal kebaikan”.
Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami bahwa tafsir makna mubażir menurut pandangan Wahabah al-Zuhaili dalam kitab Tafsīr al-Munīr tidak berbeda dengan pandangan mufassir lain yang merujuk pada hadis-hadis mauqūf dari para sahabat menyatakan bahwa tabżīr dapat diartikan sebagai sikap pemborosan, maka mubażir secara bahasa adalah orang yang boros, namun mubażir yang dimaksud dalam dalam Q.S Al-Isra’ ayat 26-27 adalah orang yang mempergunakan hartanya pada hal-hal yang tidak diridhai Allah Swt, baik itu dalam bentuk penggunaan yang boros dan berlebihan atau penggunaan harta untuk kezaliman dan kemaksiatan ataupun penggunaan harta yang didasari dengan niat yang tidak dibenarkan, seperti untuk ria dan berbangga-bangga.
B. Batasan Mubażir dalam Penggunaan Harta Menurut Pandangan Mufassir
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa sifat mubażir dapat memberikan dampak buruk yang luar biasa kepada pelakunya, diantaranya orang yang mubażir akan merasa candu menghambur-hamburkan hartanya sehingga akan mengalami kerugian, kemudian kehabisan harta. Bila penyakit mubażir ini tidak diatasi, maka pelakunya akan dibatasi dalam penggunaan hartanya dan tergolong kedalam tingkatan safīh. Hajr (pembatasan dalam penggunaan) harta safīh pada dasarnya adalah atas sejumlah utang yang belum ditunaikan kepada yang berhak. Hajr ini ditetapkan dalam rangka menjaga hak pemberi hutang.[34]
Pembatasan transaksi bagi safīh karena mubażir ini juga tersirat dalam Q.S an-Nisa’ ayat 5-6 sebagai berikut:
“Dan janganlah kamu serahkan kepada orang-orang yang belum sempurna akalnya, harta (mereka yang ada dalam kekuasaanmu) yang dijadikan Allah sebagai pokok kehidupan. berilah mereka belanja dan pakaian (dari hasil harta itu) dan ucapkanlah kepada mereka kata-kata yang baik”. (QS. An-Nisa’ [4]: 5).[35]
Wahbah al-Zuhaili menjelaskan pendapat ulama mengenai asbāb al-nuzūl ayat ini sebagai berrikut:
نزلت آية السفهاء في ولد الرجل الصغار وامرأته، أي في النساء، والأصح أنها نزلت في المحجورين السفهاء، أي المبذرين [36]
Artinya: “Ayat sufahā’ ini diturunkan kepada anak seorang laki-laki yang masih kecil dan istrinya, maksudnya juga kepada para peremuan. Namun pendapat kuat menegaskan bahwa ayat ini diturunkan kepada orang-orang yang ditahan hartanya yang berstatus safīh, maksudnya adalah orang-orang mubadzir”.
Berdasarkan keterangan ini jelas bahwa menurut pendapat kuat, ayat di atas diturunkan sebagai teguran akan batasan terhadap orang-orang mubadzir dalam menggunakan harta mereka. Penegasan keterbatasan orang mubadzir dalam menggunakan harta ini ditetapkan demi kemaslahatan mereka sendiri agar terjaga agama dan harta mereka. Wahbah al-Zuhaili juga menjelaskan terkait kedudukan harta sebagai berikut:
المال نعمة وثروة للفرد والجماعة، فتجب المحافظة عليه وتنميته والبعد عن إهدار الثروة المالية في غير فائدة، [37]
Artinya: “Harta merupakan nikmat dan kekayaan bagi individu dan kelompok. Harta wajib dijaga dan dikembangkan, serta menjauhkan dari tindakan menyia-nyiakan kekayaan finansial untuk hal-hal yang tidak berguna”.
Kedudukan harta dalam pandangan agama memang diakui merupakan sebuah nikmat anugerah dari Allah SWT dan nikmat tersebut wajib dijaga serta di kembangkan agar supaya tidak binasa, sehingga membuat pemiliknya jatuh miskin, oleh karena itu, Islam sangat melarang tindakan mubadzir atau pemborosan yang dilakukan oleh orang-orang bodoh. Kewajiban menjaga harta ini juga tidak hanya diemban oleh perorangan secara pribadi, namun setiap manusia semua orang memiliki hak untuk menjaga hartanya, ataupun harta saudaranya, sebagaimana keterangan berikut:
وليس الحق في المال خاصا بصاحبه، وإنما للأمة والجماعة حق الإشراف على كيفية استعمال المال واستثماره وتنميته بالوجوه المشروعة المحققة للمصالح الخاصة والعامة، لذا لم يجز الإسلام تسليم المال لتنميته وإنفاقه لمن ليس أهلا لرعايته وحفظه، مثل السفهاء المبذرين الذين لا يحسنون التصرف في المال، والأيتام الذين تنقصهم الخبرة في إدارة المال وتشغيله واستثماره،[38]
Artinya: “Hak atas harta tidak hanya dimiliki oleh pemiliknya saja, melainkan bangsa dan kelompok juga memiliki hak untuk mengawasi bagaimana harta tersebut digunakan, diinvestasikan, dan dikembangkan dengan cara yang sah untuk mencapai kepentingan pribadi dan umum. Oleh karena itu, Islam tidak memperbolehkan penyerahan harta untuk mengembangkannya dan membelanjakannya kepada orang-orang yang tidak mempunyai kelayakan untuk merawat dan melestarikannya, seperti orang bodoh yang mubadzir dan tidak mengelola harta dengan baik, dan anak yatim piatu yang kurang pengalaman dalam mengelola, mengoperasikan, dan menginvestasikan hartanya”.
Para wali ataupun orang tua memiliki tanggung jawab untuk mengawasi harta miliknya pribadi dan harta orang-orang yang dalam perwaliannya, baik itu dalam penggunaan harta tersebut maupun dalam pengelolaannya. Dalam hal ini harta orang-orang mubadzir harus tetap dipegang oleh pengurus yang sesuai dengan ketentuan syariat, sebagai orang yang mampu menjaga harta dengan baik. Sebagaimana keterangan berikut:
وإنما يترك المال بيد القوام المشرفين بمقتضى الولاية الشرعية على أحوال هؤلاء المتخلفين بسبب الطيش أو بسبب الصغر[39]
Artinya: “Harta itu mesti tetap tinggal di tangan pengurus yang mengawasi dengan perwalian yang sahmenurut syariat atas urusan orang-orang yang ditinggalkan karena kecerobohannya atau karena kemudaannya”.
Dalam memelihara harta orang-orang mubadzir, seorang wali selaku pengurus dilarang menyerahkan harta tersebut kepada orang-orang yang tidak mampu menjaga harta dengan baik, demi kemaslahatan penjagaan harta orang mubadzir tersebut:
نهى الله تعالى الأمة ممثلة في أولياء السفهاء الذين لا يحسنون التصرف في أموالهم من تسليم أموالهم إليهم، حتى لا يبددوها ويصبحوا عالة على المجتمع، وإنما يبقى المال بيد القيم المشرف على المبذر الذي يعينه القضاة، حتى يتم تمرين السفيه المبذر على المحافظة على الأموال التي هي قوام الحياة لأصحابها وللأمة أو الجماعة. [40]
Artinya: “Allah Swt telah melarang umat manusia dari berpedoman pada para wali orang-orang bodoh yang tidak baik mengelola hartanya, untuk menyerahkan hartanya kepada mereka, agar tidak terbuang sia-sia dan menjadi beban seluruh masyarakat. Allah menetapkan penjagaan harta pada tangan-tangan pengurus yang mengawasi orang-orang mubadzir yang diangkat oleh hakim, sehingga orang-orang mubadzir yang bodoh itu terlatih untuk memelihara harta yang menjadi tumpuan kehidupan bagi pemiliknya dan bagi bangsa atau golongannya”.
Meninjau dari sisi kedudukan harta yang merupakan tumpuan kehidupan bagi pemiliknya dan bagi bangsa atau golongannya, maka pemeliharaan harta bukan hanya merupakan tanggung jawab secara pribadi, melainkan tanggung jawab semua keluarga dan orang-orang terdekat. Dalam hal ini, harta tidak boleh dipergunakan secara boros sehingga harus dijaga oleh wali dalam pengelolaan, maupun investasinya. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan:
ويقوم الولي بتثمير المال وتشغيله في وجوه مشروعة معقولة وينفق على السفيه المبذر إنفاقا معتدلا من ثمرة المال وكسبه، لا من أصل المال وذاته، وتكون النفقة بحسب الحاجة من أكل وكسوة وتعليم وتمريض، لأنها مظاهر خارجية، وعلى الولي أن يحسن إلى السفيه أدبيا أو خلقيا، فيقول له قولا لينا، لا خشونة فيه، ويعامله معاملة أولاده بالعطف واللين، ويشعره بالعزة والكرامة، ويعلمه أن ما ينفقه عليه من ماله، وليس من مال القيم المشرف، وسيأخذه بعد الرشد والصلاح[41]
Artinya: “Wali harus mengurus dengan menginvestasikan harta itu dan mempergunakannya dengan cara yang halal dan wajar, dan membelanjakannya secukupnya kepada orang bodoh yang mubadzir itu dari hasil hartanya dan penghasilannya, bukan dari modal asal hartanya. Pengeluaran nafkahnya sesuai dengan kebutuhan, seperti makanan, pakaian, pendidikan dan perawatan, karena itu adalah manifestasi lahiriah, dan wali harus berbuat baik kepada orang mubadzir, baik secara adab atau akhlak. Dia mengucapkan kata-kata yang lembut kepadanya, tanpa kekerasan, dan memperlakukannya sebagaimana dia memperlakukan anak-anaknya dengan baik dan lemah lembut, dan menjadikan dirinya bangga dan bermartabat, serta mengajarkan kepadanya bahwa apa yang dibelanjakannya adalah dari hartanya sendiri, dan bukan dari harta orang yang mulia dan terhormat, dan akan diambilnya setelah dewasa dan baik kepribadiannya”.
Penjelasan ini menegaskan bahwa hikmah dari pemeliharaan harta orang-orang mubadzir untuk tidak diserahkan secara langsung kepadanya, baik dalam penggunaan atau pengelolaannya, adalah demi kemaslahatan orang mubadzir itu sendiri agar dia tidak jatuh dalam kefakiran atau menjadi beban masyarakat secara umum. Sebagaimana ulasan Wahbah al-Zuhaili berikut:
المال إذن أمانة عند صاحبه وعند الأمة، وبالمال تقام المدنيات وتبنى الحضارات، وهو أساس قوة الأمة وتقدمها، لذا وصف المال في القرآن بأنه قوام الحياة، فيجب على الأولياء والأوصياء والمحافظة على أموال اليتامى والسفهاء المبذرين حتى لا يصبح اليتيم أو المبذر فقيرا محتاجا عالة على المجتمع. [42]
Artinya: “Harta adalah amanah bagi pemiliknya dan bagi umat manusia, dan dengan harta terciptalah peradaban dan dibangunlah peradaban, serta menjadi landasan kekuatan dan kemajuan bangsa. Oleh karena itulah harta digambarkan dalam Al-Qur'an sebagai landasan ekhidupan dan wajib bagi para wali dan orang yang diwasiati untuk menjaga harta anak yatim dan orang-orang yang mubadzir, agar anak yatim atau orang-orang yang mubadzir itu tidak menjadi fakir yang membutuhkan, serta menjadi beban masyarakat”.
Imam Jalaluddin al-Suyuthi secara tegas telah menyatakan bahwa yang dimaksud dengan kata “sufaha” dalam surat an-Nisa’ di atas adalah orang-orang yang mubażir, baik laki-laki maupun perempuan dan golongan anak-anak. Berikut keterangan beliau:
[43] ولا تؤتوا أيها الأولياء {السفهاء} المبذرين من الرجال والنساء والصبيان
Artinya: “{Dan janganlah kamu serahkan} wahai para wali kepada {orang-orang yang belum sempurna akalnya. Maksudnya adalah orang-orang yang mubażir, baik laki-laki maupun perempuan dan golongan anak-anak”.
Berdasarkan penjelasan tersebut dapat dipahami bahwa betapa besarnya dampak buruk sikap mubażir bagi seseorang, sehingga kebiasaan tersebut dapat berdampak kepada hilangnya hak seseorang dalam mempergunakan hartanya sendiri. Tergolongnya rang mubażir bagian dari kata sufaha yang ditegaskan dalam Al-Qur’an juga dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhaili berikut:
السفهاء جمع سفيه، وهو المبذر من الرجال والنساء والصبيان الذي ينفق ماله فيما لا ينبغي، ولا يحسن التصرف فيه. وأصل السفه: الاضطراب في العقل والسلوك. [44]
Artinya: “Sufaha adalah bentuk jamak dari kata (safīh) yang berarti orang yang mubażir, baik lak-laki maupun perempuan dan anak-anak yang menggunakan hartanya untuk hal-hal yang tidak semestinya dan tidak memiliki kecakapan di dalam menggunakan harta dengan baik dan benar. Kata safīh ini berasal dari makna kekacauan yang terjadi pada akal dan perilaku”.
Allah SWT melarang membiarkan orang-orang mubażir menggunakan harta-harta adalah sesuatu yang dijadikan oleh Allah SWT sebagai pokok penyangga kehidupan, baik untuk berdagang atau yang lainnya. Larangan ini mengisyaratkan bahwa larangan bagi para safīh untuk menggunakan harta mereka ada kalanya disebabkan mereka masih anak-anak atau dikarenakan gila atau dikarenakan mubażir yang buruk bentuk pembelanjaan dan penggunaan hartanya, dikarenakan kurang akal atau kurang agama atau dikarenakan bangkrut, yaitu jika seseorang menanggung utang, sedangkan harta yang dimilikinya tidak cukup untuk digunakan membayar utang-utang tersebut, maka apabila para pemberi utang meminta kepada hakim untuk melarang dirinya menggunakan hartanya (al-hajru), maka hakim harus memenuhi permintaan tersebut.
Para ulama berbeda pendapat seputar kepada siapakah sebenarnya pesan ayat di atas ditujukan dan siapa saja yang sebenarnya disebut sebagai sufaha' itu. Berikut uraiannya:
أشهرها إن المخاطبين بمنع السفهاء أموالهم إما أولياء اليتامى، والسفهاء: هم اليتامى مطلقا أو المبذرون بالفعل أموالهم وإما مجموع الأمة، ويشمل النهي كل سفيه[45]
Artinya: “Pendapat-pendapat yang paling masyhur dalam hal ini adalah, bahwa pesan ayat ini ditujukan kepada para wali (pengasuh) anak-anak yatim, sedangkan al-Sufaha' adalah anak-anak yatim secara mutlak atau orang-orang mubażir yang menghambur-hamburkan harta dan menggunakannya untuk hal-hal yang tidak sepatutnya. Atau pesan ayat ini ditujukan kepada seluruh umat dan larangan ini mencakup setiap orang safīh (orang yang tidak memiliki akal yang sempurna)”.
Sedangkan menurut Ibnu Abbas r,a. dan Ibnu Mas'ud r.a. berkata, "Sesungguhnya pesan ayat ini ditujukan kepada setiap orang yang berakal sempurna, sedangkan yang dimaksud as-Sufaha' adalah kaum wanita dan anak-anak". Sedangkan yang dimaksudkan adalah larangan memberi harta kepada orang yang tidak memiliki al-Rusydu (kedewasaan dan kecakapan di dalam menggunakan dan mengelola harta dengan baik dan benar) dan ini mencakup anak-anak, orang gila dan orang yang dilarang menggunakan harta dikarenakan bersikap mubażir yang menghambur-hamburkan harta dan menggunakannya untuk hal-hal yang tidak patut menurut agama.
Berdasarkan pendapat yang pertama, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa pesan ayat ini ditujukan kepada para wali anak-anak yatim, maka penyandaran kata al-amwāl kepada para wali sebagai pihak yang kepada mereka pesan ayat ini ditujukan, sehingga seolah-olah harta tersebut adalah harta mereka, padahal sebenarnya harta yang dimaksudkan adalah harta anak-anak yatim dan orang safīh, hal ini bertujuan untuk memberikan penekanan yang lebih, agar mereka menjaga dan memelihara harta anak-anak yatim dan orang safīh tersebut dengan sungguh-sungguh seperti menjaga dan memelihara harta mereka sendiri. Hal ini dengan cara menganggap harta mereka tersebut seperti hartanya sendiri, karena antara wali dan orang safīh yang berada di bawah asuhannya terdapat ikatan nasab. [46]
Sedangkan berdasarkan pendapat yang kedua, yaitu pendapat yang mengatakan bahwa pesan ayat ini ditujukan kepada seluruh umat dan yang dimaksud adalah larangan memberi harta kepada safīh, maka berdasarkan pendapat yang kedua ini berarti penyandaran kata al-amwaal kepada dhamiir mukhaathab yang dimaksud adalah hakikatnya. Maksudnya al-amwaal (hartal tersebut memang benar-benar milik mereka, bukan milik sufaha'. Hal ini berbeda dengan pendapat pertama. [47]
Jadi arti ayat ini berdasarkan pendapat yang pertama adalah “dan janganlah kalian memberikan kepada sufaha' harta mereka yang ada di bawah pengawasan dan penjagaan kalian”. Sedangkan menurut pendapat kedua, arti ayat ini adalah, “dan janganlah kalian memberi sufaha' dari harta milik kalian”. Ayat di atas secara tegas telah menetapkan larangan dan batasan penggunaan harta terhadap safīh yang merupakan golongan mubażir juga sebagiannya. Wahbah al-Zuhaili menjelaskan sebagai berikut:
وجوب الحجر على السفهاء المبذرين من وجهين: أحدهما منعهم من أموالهم، وعدم جواز دفع أموالهم إليهم. والثاني إجازة تصرفنا عليهم في الإنفاق عليهم من أموالهم [48]
Artinya: “Kewajiban melarang al-Sufaha' yang tidak memiliki kemampuan menggunakan dan mengelola harta dengan baik dari dua sisi, Pertama, menahan harta mereka dan tidak boleh menyerahkan kepada mereka harta mereka. Kedua, kita boleh mengatur harta mereka dan memberi mereka nafkah dari harta mereka tersebut”.
Hal ini dikuatkan oleh ayat, "Jika yang berutang itu orang yang lemah akalnya lagi safīh) atau lemah (keadaannya)”. (al-Baqarah: 282). Ayat ini menetapkan perwalian atas orang safiih seperti halnya juga menetapkan perwalian atas orang yang lemah. Yang masuk ke dalam definisi safīh ini adalah, anak-anak, orang gila dan orang-orang mubażir yang dilarang menggunakan hartanya karena sikapnya yang menghambur-hamburkan uang. Para ulama berselisih pendapat seputar perbuatan dan tindakan al-safīh sebelum pelarangan penggunaan harta ditetapkan atas dirinya, berikut uraiannya:
قال مالك وجميع أصحابه غير ابن القاسم: إن فعل السفيه وأمره كله جائز حتى يضرب الإمام على يده، وهو قول الشافعي وأبي يوسف. وقال ابن القاسم: أفعاله غير جائزة وإن لم يضرب الإمام على يده. [49]
Artinya: “Imam Malik dan seluruh sahabatnya selain Ibnul Qasim berpendapat bahwa seluruh perbuatan, tindakan dan perkara orang safīh dianggap boleh sebelum Imam menetapkan dirinya sebagai orang yang dilarang menggunakan hartanya. Ini juga pendapat Imam Syafi'i dan Abu Yusuf. Sedangkan Ibnul Qasim berpendapat bahwa segala tindakan dan perbuatannya tidak boleh meskipun Imam belum menetapkan larangan penggunaan harta atas dirinya”.
Allah Swt mengharamkan pemborosan/mubażir. Dalam menjelaskan batasan orang yang mubażir, Wahbah al-Zuhaili mengutip pendapat beberapa Imam mazhab, diantaranya:
والتبذير كما قال الشافعي رضي الله عنه: إنفاق المال في غير حقه، ولا تبذير في عمل الخير. وهذا قول الجمهور. وقال مالك: التبذير: هو أخذ المال من حقه ووضعه في غير حقه، وهو الإسراف، وهو حرام لقوله تعالى: إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين أي أنهم في حكمهم إذ المبذر ساع في إفساد كالشياطين[50]
Artinya: “Mubażir, sebagaimana dikatakan Imam al-Syāfi‘ī, adalah menggunakan harta bukan pada tempatnya dan bukanlah suatu pemborosan jika digunakan untuk kebaikan. Ini adalah pendapat jumhur ulama. Imam Malik mengatakan pemborosan (tabżīr) adalah mendapatkan harta dengan cara yang benar, namun menggunakannya untuk cara yang tidak benar. Dan ini adalah israf. Hal ini diharamkan berdasarkan firman Allah Swt; “Sesungguhnya status mereka ialah saudara setan”, karena orang yang boros ialah orang yang berbuat kerusakan seperti setan”.
Penjelasan ini senada dengan keterangan Imam al-Qurthubi saat menafsirkan surat Al-Isra’ ayat 27 sebagai berikut:
قال الشافعي رضي الله عنه: والتبذير إنفاق المال في غير حقه، ولا تبذير في عمل الخير. وهذا قول الجمهور. وقال أشهب عن مالك: التبذير هو أخذ المال من حقه ووضعه في غير حقه، وهو الإسراف، وهو حرام لقوله تعالى:" إن المبذرين كانوا إخوان الشياطين"[51]
Artinya: “Imam al-Syāfi‘ī radhiyallahu 'anhu berkata: Al-Tabżīr adalah membelanjakan harta pada hal yang tidak semestinya, dan tidak ada istilah mubażir dalam amal kebaikan. Inilah adalah pendapat jumhur ulama. Asyhab meriwayatkan hadis dari Imam Malik: mubażir adalah mengambil harta yang menjadi haknya dan mempergunakannya pada sesuatu yang bukan haknya. Mubażir merupakan sikap pembrsan dan hukumnya haram. karena firman Allah Swt: Sesungguhnya orang-orang mubażir adalah saudara syaithan”.
Wahbah al-Zuhaili menegaskan bahwa orang yang menggunakan hartanya untuk menuruti keinginan hawa nafsu yang melebihi kemampuan dan diluar kebutuhannya, sehingga membuat hartanya habis, maka dia adalah pemboros (mubażir). Sedangkan orang yang menggunakan hartanya walau satu dirham untuk sesuatu yang diharamkan, dia adalah orang yang mubażir dan dia harus dibatasi kewenangan dalam mempergunakan hartanya tersebut kepada hal-hal yang terlarang itu. Berikut keterangan beliau:
من أنفق ماله في الشهوات زائدا على قدر الحاجات، وعرضه بذلك للنفاد فهو مبذر، ومن أنفق درهما في حرام فهو مبذر، ويحجر عليه[52]
Artinya: “Orang yang menggunakan hartanya untuk menuruti keinginan hawa nafsu yang melebihi kadar kebutuhannya, sehingga membuat hartanya habis, maka dia adalah pemboros (mubażir) dan orang yang menggunakan hartanya walau satu dirham untuk sesuatu yang diharamkan, dia juga adalah orang yang mubażir dan dia harus dibatasi kewenangan dalam mempergunakan hartanya tersebut kepada hal-hal yang terlarang itu”.
Penjelasan ini juga didukung oleh Imam al-Qurthubi dengan menegaskan batasan terhadap orang yang mubażir bahwa orang yang tergolong kepada mubażir adalah orang yang telah mempergunakan hartanya untuk hal-hal yang tidak diridhai Allah dan diharamkan, oleh karena itu, orang mubażir dibatasi dalam penggunaan hartanya hanya pada hal-hal yang diharamkan tersebut, tidak pada hal yang masih digolongkan sewajarnya. Berikut penjelasan Al-Qurṭūbī dalam kitab Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn:
من أنفق ماله في الشهوات زائدة على قدر الحاجات وعرضه بذلك للنفاد فهو مبذر. ومن أنفق ربح ماله في شهواته وحفظ الأصل أو الرقبة فليس بمبذر. ومن أنفق درهما في حرام فهو مبذر، ويحجر عليه في نفقته الدرهم في الحرام، ولا يحجر عليه إن بذله في الشهوات إلا إذا خيف عليه النفاد [53]
Artinya: “Siapa yang membelanjakan hartanya untuk keinginan yang melebihi kadar kebutuhannya, sehingga sikapnya demikian mengakibatkan kehabisan harta, maka ia adalah orang yang mubażir. Barang siapa yang menafkahkan keuntungan hartanya untuk keinginannya dan menjaga modal atau pangkalnya, maka ia bukanlah orang yang mubażir. Barangsiapa yang membelanjakan satu dirham untuk barang-barang haram, maka ia termasuk orang yang mubażir, dan ia dilarang membelanjakan satu dirham untuk barang-barang haram, dan ia tidak dilarang membelanjakan harta untuk keinginannya, kecuali jika dikhawatirkan kehabisan”.
Berdasarkan keterangan ini dapat dipahami bahwa menurut pandangan Wahbah al-Zuhaili berdasarkan tafsir Q.S al-Isra’ ayat 26-27, batasan mubażir dalam penggunaan harta hanyalah pada hal-hal yang diharamkan dan tidak diridhai Allah dalam ruang lingkup tiga aspek, yaitu: penggunaan harta untuk kemaksiatan, penggunaan harta untuk niat kesombongan dan berbangga-bangga dan penggunaan harta yang melebihi kemampuan dan keperluan, sehingga dapat mengakibatkan hartanya habis. Adapun penggunaan harta yang diridhai Allah atau penggunaan harta berlebihan yang tidak berdampak kepada habisnya harta, maka hal demikian tidak dilarang.
C. Analisa Penulis dan Kesimpulan
Tafsir makna mubażir menurut pandangan mufassir merujuk pada hadis-hadis mauqūf dari para sahabat menyatakan bahwa tabżīr dapat diartikan sebagai sikap pemborosan, maka mubażir secara bahasa adalah orang yang boros, namun mubażir yang dimaksud dalam dalam Q.S Al-Isra’ ayat 26-27 adalah orang yang mempergunakan hartanya pada hal-hal yang tidak diridhai Allah Swt, baik itu dalam bentuk penggunaan yang boros dan berlebihan atau penggunaan harta untuk kezaliman dan kemaksiatan ataupun penggunaan harta yang didasari dengan niat yang tidak dibenarkan, seperti untuk ria dan berbangga-bangga.
Menurut pandangan mufassir berdasarkan tafsir Q.S al-Isra’ ayat 26-27, batasan mubażir dalam penggunaan harta hanyalah pada hal-hal yang diharamkan dan tidak diridhai Allah dalam ruang lingkup tiga aspek, yaitu: penggunaan harta untuk kemaksiatan, penggunaan harta untuk niat kesombongan dan berbangga-bangga dan penggunaan harta yang melebihi kemampuan dan keperluan, sehingga dapat mengakibatkan hartanya habis. Adapun penggunaan harta yang diridhai Allah atau penggunaan harta berlebihan yang tidak berdampak kepada habisnya harta, maka hal demikian tidak dilarang.
Kewajiban melarang mubażir yang tidak memiliki kemampuan menggunakan dan mengelola harta dengan baik ditinjau dari dua sisi, Pertama, kewajiban menahan harta mereka dan tidak boleh menyerahkan kepada mereka harta mereka. Kedua, kita boleh mengatur harta mereka dan memberi mereka nafkah dari harta mereka tersebut.
Foot Note:
[1]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2019) h. 271.
[2]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.XV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 49.
[3]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.XV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 49.
[4]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 51.
[5]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 51.
[6]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīṭ li al--Zuhailī, Jld.II, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1422), h. 1342.
[7]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 51.
[8]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 51.
[9]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 51.
[10]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 51.
[11]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīṭ li al--Zuhailī, Jld.II, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1422), h. 1342.
[12]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 57.
[13]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 57.
[14]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 57.
[15]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 57.
[16]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 59.
[17]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 59.
[18]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 59.
[19]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 59.
[20]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 59.
[21]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 57.
[22]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 58.
[23]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 58.
[24]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 58.
[25]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 58.
[26]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 59.
[27]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 59.
[28]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 59.
[29]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 59.
[30]Abi al-Fida Ismail ibn Umar ibn Katsir, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm, Jld.V, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, tt), h. 64.
[31]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn, Jld.X, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), 247.
[32]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn…, h. 247.
[33]Ahmad Mustafa Al- Marāgī, Tafsīr Al-Marāgī, Juz.XV, (Beirut: Dār Al-Fikr, 1394), h. 38.
[34]Isnan Ansory, Silsilah Tafsir Ahkam: QS. An-Nisa’: 5-6 (Hajr Harta), (T.tp, tp, 2020), h.23.
[35]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, h.271.
[36]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīṭ li al--Zuhailī, Jld.I, (Damsyiq: Dar al-Fikr, 1422), h. 287.
[37]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīṭ li al—Zuhailī…, h. 287.
[38]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīṭ li al—Zuhailī…, h. 287.
[39]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīṭ li al—Zuhailī…, h. 287.
[40]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīṭ li al—Zuhailī…, h. 288.
[41]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīṭ li al—Zuhailī…, h. 288.
[42]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Wasīṭ li al—Zuhailī…, h. 288.
[43]Jalaluddin al-Mahalli dan Jalaluddin al-Suyuthi, Tafsir al-Jalalain, Jld.I, (Kairo: Dar al-Hadis, tth), h.98.
[44]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 247.
[45]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 251.
[46]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 251.
[47]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 251.
[48]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 253.
[49]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 254.
[50]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.XV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 63.
[51]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn, Jld.X, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), 247.
[52]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.XV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 63.
[53]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn…, h. 247.
Penulis: Inan.id
IG: _p.rahmanita1008_
0 Response to "Makna Mubażir dan Batasannya dalam Penggunaan Harta Menurut Tafsir Q.S Al-Isra’ Ayat 26-27 || Kitabkuning90"
Posting Komentar