Vol. 3 - Hukum Tentang Bangkai - Pengecualian Keharaman Bangkai di Saat Darurat (Kitabkuning90)
![]() |
Tafsir Al-Qur'an |
Orang yang berada dalam keadaan darurat (yaitu dalam situasi di mana ia terpaksa melanggar larangan, dan jika ia tidak melanggarnya, maka ia akan binasa) sehingga terpaksa memakan apa yang diharamkan, dan ia tidak mendapati barang lainnya serta khawatir dirinya akan mati, padahal ia tidak menginginkan benda itu, maka dalam hal ini ia diperbolehkan memakan apa yang diharamkan berdasarkan firman Allah SWT surat Al-Baqarah ayat 173:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S Al-Baqarah [2]: 173).[1]
Dalam memahami konteks darurat dalam ayat ini, Muhammad Ali Al-Ṣhabūnī menjelaskan:
{اضطر} : أي حلت به الضرورة وألجأته إلى أكل ما حرم الله. قال القرطبي: فيه إضمار أي فمن اضطر إلى شيء من هذه المحرمات أي أحوج إليها[2]
Artinya: “Firman Allah SWT: “Idhturra” (merasa mudarat), artinya dihalalkan perkara tersebut oleh kemudaratan dan keadaan seseorang yang didesak oleh kemudaratan untuk memakan perkara yang diharamkan Allah. Imam Al-Qurthubi berkata: pada potongan ayat tersebut terdapat makna yang tersembunyi, artinya barangsiapa yang merasa mudarat kepada sesuatu dari perkara yang diharamkan, artinya berhajat pada perkara haram itu”.
Keterangan ini menunjukkan bahwa keadaan darurat yang memaksa seseorang untuk memakan benda yang diharamkan dapat meringankan hukum sehingga tidak berdosa jika ia memakannya, namun tidak semua keadaan yang menyulitkan dapat dianggap mudarat, melainkan terdapat beberapa batasan sebuah keadaan dianggap mudarat dalam syariat. Al-Shabuni menjelaskan:
الاضطرار لا يخلو أن يكون بإكراه من ظالم أو بجوع في مخمصة. والذي عليه الجمهور من الفقهاء والعلماء في معنى الآية هو من صيره العدم والغرث وهو الجوع إلى ذلك، وهو الصحيح[3]
Artinya: “Kemudaratan tidak sunyi dari beberapa kondisi, adakala ia dengan sebab paksaan dari orang zalim, dan adakala dengan sebab derita dalam kelaparan. Menurut pendapat yang dinyatakan oleh mayoritas fuqaha dan ulama tentang makna ayat di atas adalah orang yang keadaannya tidak mempunyai apa-apa dan miskin, yaitu rasa lapar yang menuntut hal demikian. Penafsiran ini merupakan pendapat shahih”.
Menurut Al-Shabuni, keadaan mudarat dalam syariat secara umum terbagi dua, yaitu adakala mudarat dengan sebab paksaan dan adakala mudarat dengan sebab kelaparan. Adapun yang dimaksud dalam surat Al-Baqarah ayat 173 di atas adalah keadaan mudarat karena rasa lapar yang menuntut seseorang terpaksa memakan makanan yang telah diharamkan, dan penafsiran ini merupakan pendapat kuat dari mayoritas ulama. Di samping itu, Syaikh Muhammad Ali Al-Shabuni juga menerangkan pendapat lain dari sebagian ulama yang menyatakan bahwa makna darurat dalam surat Al-Baqarah ayat 173 adalah darurat karena paksaan, berikut keterangannya:
وقيل: معناه أكره وغلب على أكل هذه المحرمات. قال مجاهد: يعني أكره عليه كالرجل يأخذه العدو فيكرهونه على أكل لحم الخنزير وغيره من معصية الله تعالى، إلا أن الإكراه يبيح ذلك إلى آخر الإكراه[4]
Artinya: “Menurut pendapat lain, makna ayat adalah seseorang yang dipaksa dan dituntut untuk memakan hal-hal yang diharamkan. Imam Mujahid berpendapat maksud ayat adalah seseorang yang dipaksa atasnya, seperti seorang laki-laki yang diculik oleh musuh kemudian mereka memaksanya untuk memakan daging babi dan lainnya yang merupakan maksiat kepada Allah SWT, namun paksaan itu hanya membolehkan demikian hingga batas akhir paksaan tersebut”.
Menurut keterangan sebagian ulama menyatakan bahwa mudarat yang dimaksud dalam surat Al-Baqarah ayat 173 adalah mudarat karena dipaksa oleh orang zalim, pendapat ini juga didukung oleh Imam Mujahid, namun ia membatasi bahwa kebolehan memakan barang-barang yang telah diharamkan hanya sebatas sampai berakhir paksaan tersebut, bila keadaan orang itu tidak dipaksa lagi atau sudah mendapatkan kelonggaran dari tekanan paksaan tersebut, maka ia tidak diperbolehkan lagi memakan barang-barang yang telah diharamkan.
Berdasarkan keterangan para ulama tersebut, berpijak pada pendapat kuat maka mudarat yang dimaksud dalam surat Al-Baqarah ayat 173 di atas adalah keadaan mudarat yang dipaksa oleh rasa lapar, dalam hal ini Imam Al-Qurthubi juga merincikan pendapat ulama dalam hal batasan mudarat yang dituntut oleh rasa lapar, berikut keterangannya:
وأما المخمصة فلا يخلو أن تكون دائمة أو لا، فإن كانت دائمة فلا خلاف في جواز الشبع من الميتة، إلا أنه لا يحل له أكلها وهو يجد مال مسلم لا يخاف فيه قطعا[5]
Artinya: “Adapun keadaan lapar, maka tidak sunyi kondisinya ada kala sebuah keadaan yang terjadi selalu atau tidak. Jika keadaannya terjadi selalu, maka tidak ada perselisihan pendapat para ulama tentang kebolehan binatang buas yang menjadi bangkai, namun keadaan tersebut tidak menghalalkan untuk memakannya bagi orang tersebut, sedangkan ia menemukan harta milik orang Islam yang tidak dikhawatirkan akan berlaku potong tangan”.
Keterangan ini menunjukkan bahwa keadaan lapar merupakan wujud dari kemudaratan yang menuntut seseorang terpaksa memakan barang yang diharamkan, dalam hal ini bila keadaan lapar yang dialami seseorang itu selalu terjadi, maka menurut pandangan Al-Qurthubi, ia dibolehkan memakan benda yang diharamkan.
Namun dalam konsumsi benda yang diharamkan atas nama keterpaksaan darurat, sebenarnya masih diperselisihkan di antara para ulama, sebagian ulama memang membolehkan memakan benda yang diharamkan hingga kenyang dan puas di saat darurat. Akan tetapi menurut mayoritas ulama dan merupakan pendapat yang kuat, kebolehan memakan benda yang diharamkan karena darurat, hanya sebatas untuk melepaskan diri dari kadar darurat tersebut saja, tidak untuk memenuhi kepuasan dan mengenyangkan.
Hal ini sebagaimana yang diterangkan oleh Muhammad Ali Al-Shabuni berikut:
اختلف العلماء في المضطر، أيأكل من الميتة حتى يشبع، أم يأكل على قدر سدّ الرمق؟. ذهب مالك إلى الأول، لأن الضرورة ترفع التحريم فتعود الميتة مباحة. وذهب الجمهور: إلى الثاني، لأن الإباحة ضرورة فتقدر بقدرها[6].
Artinya: “Para ulama berbeda pendapat mengenai orang yang mudarat, bolehkah ia makan daging bangkai sampai ia kenyang, atau haruskah ia makan sebatas untuk menghilangkan laparnya?. Imam Malik memilih yang pertama, karena keadaan darurat telah menghilangkan larangan, maka daging bangkai menjadi halal pada saat itu. Sedangkan mayoritas ulama memilih yang kedua, karena kebolehan itu suatu hal yang mendesak, maka diperkirakan menurut kadarnya saja”.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa menurut pendapat kuat, bagi orang yang sedang dalam keadaan mudarat dan diperbolehkan mengkonsumsi perkara yang diharamkan adalah hanya diperbolehkan sebatas untuk melepaskan dirinya dari kemudaratan saja, tidak untuk memuaskan keinginan dan nafsunya. Hal ini juga didukung dari potongan akhir surat Al-Baqarah ayat 173 yang menyatakan bahwa kebolehan karena mudarat tidak sampai melampaui batas. Berikut keterangan Ali Al-Ṣhabūnī:
إذا اضطر الإنسان، وألجأته الحاجة إلى أكل شيء من هذه المحرمات، غير باع بأكله ما حرم الله عليه، فليس عليه ذنب أو مخالفة ولا متجاوز قدر الضرورة، لأن الله غفور رحيم[7].
Artinya: “Apabila seseorang merasa mudarat dan didesak oleh hajat untuk memakan sesuatu dari perkara yang diharamkan dengan tanpa melewati batas dalam memakan perkara yang Allah haramkan di atasnya, maka tidak ada dosa di atasnya dan dia tidak dianggap menyalahi, serta tidak melampaui kadar mudarat, karena Allah maha pengampun lagi maha penyayang”.
Berdasarkan keterangan ini dapat dipahami bahwa dalam surat Al-Baqarah ayat 173 tampak ketegasan di mana Allah mengharamkan beberapa perkara untuk dikonsumsi, diantaranya bangkai, darah, daging babi dan binatang yang disembelih dengan nama selain Allah. Namun dalam ayat tersebut terdapat juga konsep pembolehan perkara yang diharamkan sebab darurat, di mana kebolehan tersebut hanya sebatas darurat, tidak boleh melampaui batas. Sebagaimana keterangan Wahbah Al-Zuhaili berikut:
من ألجأته الضرورة (وهي أن يصل إلى حد لو لم يتناول المحظور هلك) إلى أكل شيء مما حرم الله، بأن لم يجد غيره، وخاف على نفسه الهلاك، ولم يكن راغبا فيه لذاته، ولم يتجاوز قدر الحاجة، فلا إثم عليه، للحفاظ على النفس، وعدم تعريضها للهلاك، ولأن الإشراف على الموت جوعا أشد ضررا من أكل الميتة والدم[8]
Artinya: “Orang yang berada dalam keadaan darurat, (yaitu dalam situasi di mana jika ia tidak mengonsumsi barang yang haram, tentu ia mati) sehingga terpaksa memakan apa yang diharamkan Allah, dan ia tidak mendapati barang lainnya dan khawatir dirinya akan mati, sementara ia tidak menginginkan benda itu sendiri dan tidak melampaui batas kebutuhan, maka tidak ada dosa atasnya, demi menjaga jiwa dan tidak membiarkannya binasa, di samping itu juga karena membiarkan diri berada dalam keadaan mendekati kematian akibat kelaparan, itu lebih besar bahayanya ketimbang memakan bangkai dan darah”.
Berdasarkan keterangan yang ada menunjukkan akan adanya lima batasan dalam konsep darurat yang dapat membolehkan memakan sesuatu yang diharamkan, termasuk juga bangkai, diantaranya tidak mendapati barang lainnya yang halal, khawatir dirinya akan mati, tidak menginginkan benda itu, tidak melampaui batas kebutuhan dan derajat nyawanya lebih tinggi dari derajat bangkai tersebut. Sehingga jika seseorang yang dharurat menemukan jasad Nabi, maka ia tidak boleh memakannya, karena memuliakan jasad Nabi lebih penting dari pada menjaga nyawanya sendiri.
Referensi:
[1]Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Halim, 2013), h. 93.
[2]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān fī Tafsīr Ayah Al-Aḥkām, Cet.I, (Bairut: Maktabah Al-Ghazali, 1980), h. 155.
[3]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 155.
[4]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 155.
[5]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn, Jld.II, (Kairo: Dār Al-Kutūb Al-Miṣriyyah, t.t), h. 225.
[6]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān fī Tafsīr Ayah Al-Aḥkām, Cet.I, (Bairut: Maktabah Al-Ghazali, 1980), h. 165.
[7]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 165.
[8]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr Al-Munīr fī Al-‘Aqīdah wa Al-Syarī‘ah wa Al-Manhaj, Jld.II, (Damsyiq: Dār Al-Fikr Al-Ma‘āṣir, 1418), h. 79.
Semoga bermanfaat...!
0 Response to "Vol. 3 - Hukum Tentang Bangkai - Pengecualian Keharaman Bangkai di Saat Darurat (Kitabkuning90)"
Posting Komentar