Vol. 1 - Hukum Tentang Bangkai - Memanfaatkan Bulu Bangkai Untuk Bahan Fasion Menurut Al-Qur'an (Kitabkuning90)
![]() |
| Tafsir Surat Al-Baqarah Ayat 173 dan Al-Maidah ayat 3 |
Salah satu ayat yang menyinggung keharaman bangkai dalam Al-Qur’an, diantaranya adalah surat Al-Baqarah ayat 173. Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya Allah hanya mengharamkan bagimu bangkai, darah, daging babi, dan binatang yang (ketika disembelih) disebut (nama) selain Allah, tetapi barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedang dia tidak menginginkannya dan tidak (pula) melampaui batas, maka tidak ada dosa baginya. Sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (Q.S Al-Baqarah [2]: 173).[1]
Dalam memahami konteks bangkai yang diharamkan dalam ayat tersebut, Muhammad Ali Al-Ṣhabūnī mendefinisikan bahwa yang dimaksud dengan bangkai adalah hewan yang telah mati tanpa disembelih dengan secara syar'i, dan kebiasaan masyarakat Jahiliyah zaman dahulu menganggap boleh mengkonsumsi bangkai tersebut. Al-Ṣabūnī berkata:
فأما الميتة فهي ما مات من الحيوان حتف أنفه من غير قتل، أو مقتولا بغير ذكاة شرعية، وكان العرب في الجاهلية يستبيحون الميتة[2].
Artinya: “Bangkai adalah hewan yang mati dengan penyebab mati secara alami tanpa dibunuh, atau dibunuh dengan tanpa disembelih secara syar'i, dan keadaan orang-orang Arab Jahiliyah menganggap boleh memakan bangkai”.
Keterangan ini menunjukkan bahwa yang dimaksud bangkai adalah hewan yang mati dengan dengan sendirinya atau dibunuh tanpa melalui proses penyembelihan secara syar'i. Penjelasan ini senada dengan keterangan Imam Ibnu Katsir saat mengartikan bangkai. Berikut keterangannya:
ذكر أنه لم يحرم عليهم من ذلك إلا الميتة، وهي التي تموت حتف أنفها من غير تذكية وسواء كانت منخنقة أو موقوذة أو متردية أو نطيحة أو قد عدا عليها السبع[3]
Artinya: “Disebutkan bahwa Allah tidak mengharamkan di atas orang-orang Mukmin dari yang baik-baik, kecuali bangkai. Bangkai adalah hewan yang mati dengan kematian secara alami tanpa disembelih, baik itu mati dicekik, dipukul, jatuh, ditanduk atau diterkam oleh binatang buas”.
Dalam konteks keharaman bangkai berdasarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Baqarah ayat 173 dan Al-Maidah ayat 3, Muhammad Ali Al-Shabuni menjelaskan:
لما حرم الأكل حرم البيع والانتفاع بشيء منها لأنها ميتة، إلا ما استثناه الدليل[4]
Artinya: “Manakala Allah mengharamkan memakan, maka Allah juga mengharamkan menjualnya dan memanfaatkan suatu bagian darinya, karena itu juga merupakan bangkai, kecuali sesuatu yang dikecualikan oleh dalil”.
Secara umum, ketika Allah SWT telah mengharamkan memakan bangkai, darah, babi dan lainnya dalam surat Al-Baqarah ayat 173 dan Al-Maidah ayat 3, maka hakikatnya Allah telah mengharamkan segala bentuk pemanfaatannya dengan cara apapun, termasuk juga memanfaatkan bangkai dengan cara mengambil kulitnya atau bulunya. Namun redaksi (إلا ما استثناه الدليل) “kecuali sesuatu yang dikecualikan oleh dalil” dalam penjelasan Al-Shabuni tersebut membuka peluang akan diperbolehkannya pemanfaatan bangkai bila dengan cara yang ditunjukkan akan kebolehannya dalam dalil lain.
Di antara dalil hadis yang menunjukkan pengecualian hukum tentang bangkai adalah sebagai berikut:
قوله صلى الله عليه وسلم في البحر: «هو الطهور ماؤه، الحل ميتته»[5]
Artinya: “Sabda Rasulullah SAW tentang laut: “Laut adalah suci menyucikan airnya, juga halal bangkainya”.
Hadis ini menunjukkan pengkhususan bangkai hewan yang terdapat di laut dengan status hukum halal dan boleh dikonsumsi. Mengambil dari pemahaman sebaliknya maka bangkai hewan darat diharamkan, namun dalam hadis lain juga terdapat pengkhususan dua bangkai yang dihalalkan sebagaimana sabda Nabi:
قوله صلى الله عليه وسلم : «أحل لنا ميتتان ودمان: السمك والجراد، والكبد والطحال»[6]
Artinya: “Sabda Nabi SAW: Allah menghalalkan untuk kita dua bangkai dan dua darah, yaitu: ikan dan belalang, hati dan limpa”.
Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa:
وحديث ابن أبي أوفى «غزونا مع رسول الله صلى الله عليه وسلم سبع غزوات نأكل الجراد»[7]
Artinya: “Dan hadis Ibnu Abi Aufa: “Kami pernah berperang bersama Rasulullah SAW sebanyak tujuh peperangan, saat itu kami memakan belalang”.
Berdasarkan beberapa hadis tersebut dapat dipahami bahwa keumuman pengharaman bangkai dalam ayat di atas banyak terjadi taksīsh hukum dari hadis Rasulullah, diantaranya pengkhususan haram bangkai selain ikan dan belalang, sebagaimana penjelasan Al-Ṣabūnī berikut:
فقد خصص جمهور الفقهاء من الآية ميتة البحر للأحاديث السابقة الذكر، كما أباحوا أكل الجراد[8]
Artinya: “Mayoritas ulama mengkhususkan dari ayat tersebut yaitu bangkai hewan laut, karena terdapat hadis yang telah terdahulu penyebutannya, sebagaimana para ulama juga membolehkan memakan belalang”.
Berdasarkan keterangan ini, maka tidak tertutup kemungkinan bahwa pengharaman bangkai juga mendapat pengecualian dalam beberapa bentuk pemanfaatan yang dibolehkan, sebagaimana pendapat Imam ‘Atha’ yang dikutip oleh Al-Ṣabūnī menerangkan bahwa diperbolehkan memanfaatkan kulit bangkai dengan cara di samak. Berikut kutipannya:
ذهب عطاء إلى أنه يجوز الانتفاع بشحم الميتة وجلدها، كطلاء السفن ودبغ الجلود[9]
Artinya: “Imam ‘Atha’ berpendapat bahwa boleh memanfaatkan lemak bangkai dan kulit bangkai, seperti mengecat kapal dan menyamak kulit”.
Keterangan ini menunjukkan secara tegas bahwa pemanfaatan kulit untuk disamak diperbolehkan menurut pendapat sebagian ulama. Berdasarkan pendapat yang membolehkan memanfaatkan bangkai selain untuk di makan, maka dapat dipahami bahwa pemanfaatan bangkai dengan cara mengambil bulunya untuk dijadikan bahan pakaian juga tentu dibolehkan, karena bukan lagi dalam konteks untuk dimakan. Kebolehan memanfaatkan bulu bangkai ini juga sempat dijelaskan oleh Wahbah Al-Zuhaili dalam Tafsir Al-Munir sebagai berikut:
والآية بعمومها دلت على جواز الانتفاع بالأصواف والأوبار والأشعار على كل حال، حتى إن المالكية والحنفية قالوا: صوف الميتة وشعرها طاهر يجوز الانتفاع به على كل حال، ويغسل مخافة أن يكون علق به وسخ. [10]
Artinya: “Ayat ini secara umum menunjukkan bolehnya memanfaatkan bulu domba, bulu unta, dan bulu kambing dalam keadaan apa pun. Bahkan, ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah mengatakan: bulu binatang yang mati (bangkai) adalah suci serta boleh dimanfaatkan dalam keadaan apapun. Adapun anjuran dicuci lebih dulu karena khawatir ada menyangkut kotoran”.
Namun redaksi (إلا ما استثناه الدليل) “kecuali sesuatu yang dikecualikan oleh dalil” dalam penjelasan Al-Shabuni tersebut membuka peluang akan diperbolehkannya pemanfaatan bangkai bila dengan cara yang ditunjukkan akan kebolehannya dalam dalil lain. Keterangan ini menunjukkan bahwa menurut ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah mengatakan bahwa bulu binatang yang mati (bangkai) hukumnya suci dan boleh dimanfaatkan dalam keadaan apapun. Maka termasuk juga diperbolehkan memanfaatkan bulu bangkai untuk bahan pakaian. Keterangan ini diperkuat dengan adanya hadis:
ويؤيدهم حديث أم سلمة عن النبي صلى الله عليه وسلم: «لا بأس بجلد الميتة إذا دبغ، وصوفها وشعرها إذا غسل»[11]
Artinya: “Ulama Malikiyyah dan Hanafiyyah menguatkan dengan hadits Ummu Salamah r.a dari Rasulullah Saw: “Tidak apa-apa memanfaatkan kulit bangkai dengan cara disamak terlebih dahulu, begitu juga dengan bulunya dengan cara dicuci lebih dulu”.
Hadis ini secara tegas menunjukkan kebolehan memanfaatkan bulu bangkai dengan cara dicuci terlebih dahulu. Berdasarkan hadis ini, ulama mazhab Hanafi dan Maliki membolehkan pemanfaatan bulu bangkai dengan keadaan apapun, bila bulu bangkai sudah diyakini bersih maka bulu bangkai boleh langsung dimanfaatkan, karena anjuran mencuci dalam hadis tersebut bukanlah syarat dalam penggunaannya, melainkan adalah karena terdapat kekhawatiran bila terdapat kotoran pada bulu tersebut.
Namun bila meninjau pandangan ulama mazhab Syafi’i, bulu bangkai (hewan yang mati tanpa disembelih) hukumnya adalah najis, sebagaimana keterangan Ibnu Qasib al-Ghazzi:
وعظم الميتة وشعرها نجس وكذا الميتة أيضا نجسة. وأريد بها الزائلة الحياة بغير ذكاة شرعية[12]
Artinya: “(Tulang bangkai dan bulunya adalah najis), dan begitu pula hewan yang mati adalah najis. Yang dimaksud dengan bangkai adalah hewan yang hilang nyawanya dengan tanpa disembelih secara syar’i”.
Kesimpulan:
Hukum memanfaatkan bulu bangkai tidak disebutkan secara eksplisit di dalam kitab Rawāi’ Al-Bayān berdasarkan tafsir ahkam Q.S. Al-Baqarah ayat 173 dan Al-Maidah ayat 3, namun terdapat redaksi pengecualian keharaman bangkai, yaitu (إلا ما استثناه الدليل) “kecuali sesuatu yang dikecualikan oleh dalil”. Pengecualian ini menunjukkan bahwa secara tidak langsung di dalam kitab Rawāi’ Al-Bayān membolehkan penggunaan bulu bangkai dengan cara dicuci, karena terdapat hadis Ummu Salamah yang mengatakan bahwa bulu binatang yang mati (bangkai) boleh dimanfaatkan dengan cara dicuci.
Referensi:
[1]Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, h. 93.
[2]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān fī Tafsīr Ayah Al-Aḥkām, Cet.I, (Bairut: Maktabah Al-Ghazali, 1980), h. 161.
[3]Abi Al-Fida Ismail ibn Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr Al-Qur’ān Al-‘Ażīm, Jld.III, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-‘ilmiyah, t.t), h. 350.
[4]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān fī Tafsīr Ayah Al-Aḥkām, Cet.I, (Bairut: Maktabah Al-Ghazali, 1980), h. 160.
[5]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 161.
[6]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 161.
[7]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 161.
[8]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 161.
[9]Syaikh Muhammad ‘Ali Al-Ṣhabūnī, Rawāi‘ Al-Bayān…, h. 163.
[10]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr Al-Munīr fī Al-‘Aqīdah wa Al-Syarī‘ah wa Al-Manhaj, Jld.XIV, (Beirut: Dār Al-Fikr Al-Ma‘āṣir, 1418), h. 200.
[11]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr Al-Munīr fī Al-‘Aqīdah wa Al-Syarī‘ah wa Al-Manhaj…, h. 200.
[12]Muhammad ibn Qasīm al-Ghāzī, Fath al-Qarīb al-Mujīb fī Syarh Alfāẓ al-Taqrīb, Jld. I, (Beirut: Dār Ibn Hazm, 2005), h. 28.
Semoga dapat menjadi modal kesuksesan di akhirat kelak.... amin!!

0 Response to "Vol. 1 - Hukum Tentang Bangkai - Memanfaatkan Bulu Bangkai Untuk Bahan Fasion Menurut Al-Qur'an (Kitabkuning90)"
Posting Komentar