Hukum Membayar Zakat Melalui Aplikasi Digital (Kitabkuning90)
![]() |
Membayar Zakat Melalui Aplikasi Digital (Kitabkuning90) |
Hukum Penyaluran Zakat Melalui Aplikasi Digital Menurut Tinjauan Fiqih
1. Mekanisme transaksi dalam penyaluran zakat melalui aplikasi digital
Penyaluran zakat melalui aplikasi digital merupakan langkah praktis dalam pembayaran zakat yang ditempuh melalui online atau disebut e-commerce. E-commerce adalah transaksi bisnis yang dilakukan dengan menggunakan internet dan web yang memenuhi dua syarat, yaitu seluruh transaksi dilakukan dengan teknologi media digital (terutama transaksi yang terjadi melalui internet dan web) serta terjadi perpindahan mata uang pada transaksi tersebut.[1] Pembayaran zakat dengan memanfaatkan teknologi ini mampu mengedukasi masyarakat mengenai kewajiban berzakat.[2]
Terdapat beberapa aplikasi zakat yang dapat digunakan untuk membayar zakat secara digital. Aplikasi zakat ini biasanya mudah digunakan. Beberapa contoh aplikasi zakat yang dapat digunakan seperti: Dompet Dhuafa, BAZNAS, atau Amil Zakat. Selain menggunakan aplikasi, pembayaran zakat juga dapat dilakukan melalui situs web zakat yang terpercaya. Biasanya, situs web zakat memiliki formulir pembayaran zakat yang mudah diisi dan dapat dilakukan dengan cepat. Beberapa e-wallet seperti OVO atau GoPay juga menyediakan fitur untuk pembayaran zakat. Toko online biasanya juga sudah bekerjasama dengan beberapa badan ‘āmil zakat yang tervalidasi dan memiliki menu khusus untuk membayar zakat secara online. [4]
Beberapa tahapan yang harus dilalui oleh muzakki saat hendak membayar zakat melalui media digital adalah sebagai berikut: [5]
a. Buka aplikasi online.
b. Cari dan pilihlah menu pembayaran zakat online.
c. Masukkan berapa orang yang perlu dibayarkan.
d. Bacalah niat bayar zakat online.
e. Pilih metode pembayaran yang diinginkan. Muzakki dapat menggunakan dompet digital, transfer m-banking, atau transfer internet banking.
f. Jika sudah terbayar, muzakki akan mendapatkan bukti transaksi.
Disamping itu terdapat pula beberapa intruksi yang ditetapkan oleh aplikasi digital sebagai perantara pembayaran zakat melalui media digital, diantaranya: [6]
a. Hitung nominal zakat yang harus dikeluarkan
Hitung seluruh harta yang dimiliki. Apabila harta telah mencapai nisab selama satu tahun, maka wajib membayar zakat māl. Untuk lebih mudah, dapat menggunakan fitur kalkulator zakat yang terdapat di dalam splikasi Dompet Dhuafa atau di website Dompet Dhuafa. Hanya dengan memasukkan nominal harta dan nisabnya, jumlah zakat yang harus dikeluarkan sudah terhitung secara otomatis, sesuai dengan kaidah fikih Islam.
b. Lafalkan niat zakat, minimal dalam hati
Syarat sah membayar zakat terletak pada niatnya. Apabila kesulitan melafazkan niat dalam Bahasa Arab, maka tetap bisa melafalkan niat dalam hati dengan menggunakan Bahasa Indonesia. Setelah itu muzakki juga dianjurkan untuk membaca doa membayar zakat.
c. Kirim atau transfer dana zakat
Setelah memantapkan niat, bayar zakat online dengan cara transfer dana ke rekening resmi lembaga pengelola zakat. Pembayaran di Dompet Dhuafa, selain menggunakan transfer via bank, juga dapat membayarkan zakat lewat Virtual Account ataupun e-wallet seperti: ShopeePay, GoPay, OVO, dan sebagainya.
d. Konfirmasi Zakat
Setelah membayarkan zakat secara online, bisa langsung menghubungi Dompet Dhuafa melalui Call Center atau WhatsApp untuk melakukan konfirmasi pembayaran zakat, kemudian kirimkan juga data diri dan bukti transfer zakat online.[7]
Dari beberapa uraian diatas dapat di ambil kesimpulan bahwa yang menjadi poin penting dari mekanisme transaksi dalam penyaluran zakat melalui aplikasi digital ini terdiri dari beberapa langkah:
a. Diharuskan niat terlebih dahulu
b. Transaksinya secara online (secara berjauhan dan tidak bertatap muka)
c. Transaksinya dalam bentuk tulisan dan dikonfirmasi melalui Call Center
d. Dana zakat diserahkan kepada pengelola aplikasi zakat yang berada di wilayah lain
e. Pengelola aplikasi menyerahkannya kepada mustahiq yang dikehendakinya/mustahiq yang berada di wilayah lain.
Baca Juga: Syarat dan Ketentuan dalam Membayar Zakat
2. Hukum Penyaluran Zakat Melalui Aplikasi Digital
Beranjak dari mekanisme penyaluran zakat melalui aplikasi digital di atas, terdapat beberapa aspek yang perlu diperhatikan karena berkaitan dengan syarat-syarat keabsahan zakat, diantaranya: pembayaran zakat online mengharuskan niat, qabadh zakat online dilakukan melalui sistem perbankan dan terjadi naqal (perpindahan zakat). Dalam hal ini sebelum penulis mengambil kesimpulan tentang hukum zakat melalui aplikasi digital, penulis akan menguraikannya sebagai berikut:
a. Status Niat dalam Zakat Online
Para pakar fikih Syāfi’iyyah menegaskan bahwa yang mendasar dalam keabsahan pelaksanaan zakat adalah niat dan tinjauan niat adalah di dalam hati.[8] Sebagaimana keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Ramli dalam kitab Nihayah al-Muhtaj yaitu sebagai berikut:
(وتجب) (النية) في الزكاة للخبر المشهور والاعتبار فيها بالقلب كغيرها (فينوي هذا فرض زكاة مال أو فرض صدقة مالي أو نحوها)[9]
Artinya: “Dan wajib niat pada zakat karna terdapat hadits yang masyhur. Dan yang dii’tibarkan pada niat yaitu harus tergores dihati sama seperti selain zakat. Maka seseorang yang mengeluarkan zakat berniat: "ini adalah kewajiban zakat harta" atau "kewajiban sedekah hartaku" dan semisalnya”.
Keabsahan niat zakat hanya perlu dari hati dan menggunakan redaksi yang menegaskan bahwa harta yang dibayar adalah harta zakat seperti meniatkan di dalam hati “ini adalah kewajiban zakat harta” atau “kewajiban sedekah hartaku”. Bagi muzaki yang membayarkan zakatnya melalui perwakilan, maka niat zakat dapat dilakukan saat memberikan harta zakat kepada wakil atau pengelola zakat (āmil) dan memada niat muzakki tersebut sebagai syarat yang mensahkan zakat, sehingga wakil tidak perlu berniat lagi. Sebagaimana penjelasan berikut:
(وتكفي نية الموكل عند الصرف إلى الوكيل) عن نية الوكيل عند الصرف إلى المستحقين (في الأصح) لوجود النية من المخاطب بالزكاة مقارنة لفعله[10]
Artinya: “Memada niat orang yang mewakilkan ketika menyerahkan kepada wakil, sebagai pengganti niat wakil ketika menyerahkan kepada mustahiq zakat berdasarkan pendapat Ashah, karena adanya niat dari orang yang dikhitabkan dengan zakat dan niat tersebut menyertai dengan perbuatannya”.
Berdasarkan beberapa redaksi di atas menunjukkan bahwa dalam pemberian zakat hanya disyaratkan niat di dalam hati yang menyertai perbuatan membayar zakat, maka zakat tetap sah walau tidak ada ijab kabul antara muzakki dan mustahiq. Bahkan Imam al-Nawawi menjelaskan dalam kitab al-Majmū’ Syarh al-Muhazzab bahwa pemberian harta oleh muzakki kepada mustahiq atau kepada pengelola zakat tidak harus disertai informasi bahwa harta yang ditunaikan adalah zakat. Asalkan sudah diniati zakat maka sah sebagai zakat. Ulama pakar fiqih mazhab Syāfi’i tersebut menegaskan:
)الثانية) إذا دفع المالك أو غيره الزكاة الي المستحق ولم يقل هي زكاة ولا تكلم بشئ أصلا أجزأه ووقع زكاة هذا هو المذهب الصحيح المشهور الذى قطع به الجمهور[11]
Artinya: “Permasalahan yang kedua. Bila pemilik harta atau lainnya menyerahkan zakat kepada mustahiq dan ia tidak mengatakan ini adalah zakat, tidak pula berkata apapun, maka mencukupi dan sah sebagai zakat. Demikian menurut pendapat yang sahih yang dipastikan (disepakati) oleh mayoritas ulama”.
Imam al-Nawawi yang mengkritik keras pendapat sebagian ulama lain yang mensyaratkan pemberitahuan status harta zakat oleh muzakki kepada mustahiq dengan argumen analogi kepada akad hibah. Kritikan tersebut dikutip dari statemen Syekh Abu al-Qasim bin Kaj dalam lanjutan referensi di atas al-Nawawi berkata:
وقال القاضى أبو القاسم بن كج في آخر قسم الصدقات من كتابه التجريد إذا دفع الزكاة الي الامام أو الفقير لا يحتاج أن يقول بلسانه شيئا وقال أبو علي بن أبي هريرة لابد من أن يقول بلسانه كالهبة وهذا ليس بشئ فنبهت عليه لئلا يغتر به والله تعالى اعلم[12]
Artinya: “Al-Qadhi Abu al-Qasim bin Kaj berkata di akhir bab pembagian sedekah-sedekah dari kitabnya “al-Tajrīd”, bila seseorang menyerahkan kepada imam atau orang faqir, maka ia tidak butuh mengucapkan apa pun dengan lisannya. Sedangkan Abu Ali bin Abi Hurairah berkata: wajib berkata dengan lisannya seperti akad hibah (pemberian). Pendapat ini bukan sesuatu yang dianggap, maka aku ingatkan supaya orang lain tidak terbujuk dengannya. Wallahu a’lam”.
Pandangan al-Nawawi tersebut tidak hanya didukung oleh mayoritas ulama Syāfi’iyyah lainnya, tapi bahkan dalam khazanah fiqih Maliki ditegaskan pula bahwa memberitahukan kepada mustahiq tentang status harta zakat yang diberikan hukumnya makruh karena dapat membuat orang faqir yang menerimanya sedih dan berkecil hati. Syekh Ahmad bin Muhammad al-‘Adawi mengatakan:
ولا يشترط إعلامه أو علمه بأنها زكاة بل قال اللقاني: يكره إعلامه لما فيه من كسر قلب الفقير وهو ظاهر خلافا لمن قال بالاشتراط[13]
Artinya: “Tidak disyaratkan memberitahukan mustahiq atau mengetahuinya bahwa harta yang diberikan adalah zakat. Al-Laqani mengatakan makruh memberitahukan status harta zakat kepada mustahiq, karena dapat menyengsarakan hati orang faqir, ini adalah pendapat yang jelas (kuat), berbeda menurut ulama yang menyaratkannya (memberitahu status harta zakat)”.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa dalam mengeluarkan zakat sudah seharusnya untuk berhati-hati perihal niat. Sepanjang sudah dilaksanakan niat sesuai aturan fiqh, zakat yang ditunaikan kepada mustahiq hukumnya sah, tanpa harus diketahui oleh mustahiq statusnya sebagai zakat. Oleh karena itu, niat dalam penyaluran zakat melalui aplikasi digital kiranya telah memenuhi standar niat yang sah dalam fiqh Syāfi’iyyah, karena niat zakat hanya diwajibkan berlaku pada muzakki, tidak wajib niat pada mustahiq (orang yang menerima zakat) dan tidak diwajibkan adanya ijab kabul.
b. Status Tamlīk dalam Zakat Online
Sebagaimana keterangan sebelumnya bahwa dalam konsep zakat disyaratkan adanya tamlīk, yaitu penyerahan harta zakat kepada mustahiq atau ‘āmil zakat. [14] Dalam zakat online melalui aplikasi digital, penyerahan zakat diwakilkan kepada pihak pengelola aplikasi zakat digital yang dalam tinjauan ulama mazhab Syafi’i juga menganggap sah penyaluran zakat melalui wakil. Sebagaimana yang ditegaskan oleh Jalāluddīn al-Mahallī berikut:
وتكفي نية الموكل عند الصرف إلى الوكيل في الأصح[15]
Artinya: “Cukuplah niat muzakki yang mewakilkan ketika menyerahkan zakat kepada wakil menurut pendapat kuat”.
Lebih tegas lagi Imam al-Nawawi menjelaskan dalam kitab al-Majmū’ tentang kebolehan mewakilkan penyerahan zakat sebagai berikut:
له أن يوكل في صرف الزكاة التي له تفريقها بنفسه ، فإن شاء وكل في الدفع إلى الإمام والساعي ، وإن شاء في التفرقة على الأصناف وكلاهما جائز بلا خلاف ، وإنما جاز التوكيل في ذلك مع أنها عبادة ; لأنها تشبه قضاء الديون[16]
Artinya: “Seseorang boleh mewakilkan dalam penyerahan zakat yang padahal merupakan haknya untuk dibagikan sendiri. Jika ia berkenan, ia boleh mewakilkan pembayarannya kepada imam dan pengutip zakat, atau jika ia berkenan, ia boleh langsung memberikan kepada golongan-golongan yang berhak menerima zakat. Keduanya boleh tanpa ada perselisihan. Namun diperbolehkan mewakilkan hal ini meskipun itu merupakan suatu ibadah, karena sama halnya dengan melunasi hutang”.
Penjelasan ini menegaskan bahwa penyerahan harta zakat boleh dilakukan melalui wakil untuk diberikan kepada mustahiq, baik yang bertindak sebagai wakil tersebut adalah badan ‘āmil zakat ataupun orang lain. Dalam penyerahan zakat juga tidak disyaratkan adanya ijab dan kabul, karena zakat merupakan sedekah wajib dan sedekah sama seperti hadiah yang tidak disyaratkan adanya ijab kabul, sebagaimana yang dinyatakan Imam Zainuddin al-Iraqi al-Syāfi’ī berikut:
لا يشترط في كل من الهدية والصدقة الإيجاب والقبول باللفظ بل يكفي القبض وتملك به[17]
Artinya: “Tidak disyaratkan di dalam pemberian hadiah dan sedeqah/zakat adanya ijab dan kabul secara lafaz, akan tetapi cukuplah serah terima dan terjadinya perpindahan kepemilikan”.
Penjelasan ini juga ditegaskan oleh al-Nawawi yang menyatakan bahwa dalam pemberian sedekah tidak diwajibkan adanya ijab dan kabul secara lafaz, namun cukup dengan penyerahan dan tamlīk saja:
الصدقة كالهدية بلا فرق فيما ذكرناه. لا حاجة فيها إلى إيجاب وقبول باللفظ، بل يكفي القبض ويملك به،[18]
Artinya: “Sedekah sama seperti hadiah dengan tanpa ada perbedaan dalam masalah yang telah kami jelaskan, maka tidak perlu padanya ijab dan kabul secara lafaz, namun cukup penyerahan dan tamlīk”.
Lebih lanjut Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa fungsi dari ijab dan kabul hanyalah untuk memastikan keridhaan dari orang yang melakukan transaksi. Dalam hal pemberian zakat kiranya kerelaan tidak hanya bisa ditunjukkan dengan lafadz, namun dapat juga dibuktikan dengan perbuatan, oleh karena itu dalam penyaluran zakat cukup dengan penyerahan dan tamlīk sebagai bukti kerelaan. Berikut penjelasan beliau:
ويمكن أن يحمل كلام من اعتبر الإيجاب، والقبول على الأمر المشعر بالرضا دون اللفظ، ويقال: الإشعار بالرضا قد يكون لفظا، وقد يكون فعلا[19]
Artinya: “Kemungkinan pembahasan tentang tinjauan ijab dan kabul dihamalkan kepada urusan yang menunjukkan kepada adanya ridha, bukan semata-mata lafad. Bahkan menurut satu pendapat menyatakan petunjuk adanya kerelaan terkadang dapat berupa lafadz dan terkadang berupa perbuatan”.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa perbuatan qabadh dan tamlīk merupakan petunjuk adanya kerelaan dari pihak muzakki saat membayarkan zakat dan ini sudah cukup sebagai syarat keabsahan dalam penyaluran zakat tanpa adanya ijab dan kabul, bahkan Imam al-Nawawi menjelaskan bahwa hakikat qabadh dalam transaksi menurut fiqh adalah mengikuti cara yang sudah mentradisi di suatu daerah, maka cara tersebut dapat berbeda-beda menurut harta yang ditransaksikan. Berikut uraian beliau:
فصل في حقيقة القبض. والقول الجملي فيه، أن الرجوع فيما يكون قبضا إلى العادة. ويختلف بحسب اختلاف المال[20]
Artinya: “Sebuah pasal tentang hakikat qabadh. Sebuah pembahasan yang global tentang qabadh adalah tentang rujukan dalam praktek qabadh adalah adat suatu tempat dan adat tersebut berbeda-beda menurut berbedanya harta”.
Lebih rinci lagi al-Nawawi menjelaskan beberapa kriteria sebuah transaksi dikatakan sudah memenuhi standar qabadh dalam fiqh. Berikut penjelasan beliau:
ما لا يعتبر فيه تقدير…، إن كان مما لا ينقل كالأرض والدور، فقبضه بالتخلية، وتمكينه من اليد والتصرف بتسليم المفتاح إليه. ولا يعتبر دخوله وتصرفه فيه، ويشترط كونه فارغا من أمتعة[21]
Artinya: “Suatu barang yang tidak ditinjau padanya ukuran, jika barang tersebut tidak dapat dipindah seperti tanah dan rumah, maka qabadh-nya adalah dengan cara takhliyah (menghilangkan penguasaan dari pemilik pertama) dan memungkinkannya untuk dikuasai dan dikelola dengan cara menyerahkan kunci kepada pemilik baru dan tidak ditinjau masuknya dan pengelolaan padanya, namun disyaratkan pula harus kosong dari barang-barang pemilik pertama”.
Dalam penjelasan ini menegaskan bahwa di antara kriteria qabadh dalam fiqh adalah adanya takhliyah dan tamkīn dalam arti kata suatu barang yang ditransaksi dikatakan memenuhi standar qabadh bila sudah di-takhliyah, yaitu dihilangkan penguasaan dari pemilik pertama dan sudah tamkīn, yaitu memungkinkan untuk diambil dan dikuasai oleh pemilik yang baru. Konsep tamlīk pada saat penyaluran zakat juga tidak mengharuskan terlibat muzakki dan mustahiq secara langsung, melainkan dapat dilakukan secara hukmī. Sebagaimana yang dijelaskan dalam keterangan berikut:
وأما القبض الحكمي فهو كل ما تتحقق به الحيازة والتمكن من التصرف، بحسب العرف السائد، من غير تناول باليد أو قبض حسي[22]
Artinya: “Adapun qabadh al-hukmī adalah segala sesuatu yang menyatakan terjadinya perpindahan hak milik atau hak kelola harta menurut ‘urf yang berlaku tanpa keterlibatan unsur tangan atau menerima secara sentuhan”.
Keterangan ini menjelaskan bahwa bentuk qabadh yang diakui dalam fiqh Syāfi'iyyah tidak harus melibatkan fisik, melainkan terdapat pula qabadh secara hukmī dengan kriteria yang sama seperti yang dijelaskan oleh al-Nawawi sebelumnya, yaitu adanya pengalihan kuasa dengan cara menghilangkan penguasaan dari pemilik pertama dan sudah memungkinkan untuk diambil dan dikelola oleh pemilik baru.
Meninjau dari sisi lain, penyerahan zakat melalui media digital merupakan penyerahan harta zakat yang tidak wujud fisiknya, melainkan hanya sebatas nilai atau saldo deposit yang dijamin oleh pihak bank. Saldo deposit merupakan catatan yang menyatakan suatu bukti kepemilikan atas simpanan suatu harta dalam dunia e-commerce. Nilai berharga yang terkandung dalam saldo ini adalah “manfaat nilai tukar”, dengan jaminan dapat diwujudkan dalam bentuk fisik uang bila diminta oleh pemilik kepada pihak bank. Mengenai hal ini, terdapat definisi menarik yang disampaikan oleh Al-Zarkasyī dan Al-Suyuthī dalam memandang saldo deposit ini sebagai harta. Menurut keduanya, harta didefinisikan sebagai berikut:
وَعَرَّفَ الزَّرْكَشِيُّ مِنَ الشَّافِعِيَّةِ الْمَال بِأَنَّهُ مَا كَانَ مُنْتَفَعًا بِهِ، أَيْ مُسْتَعِدًّا لأِنْ يُنْتَفَعَ بِهِ. وَحَكَى السُّيُوطِيُّ عَنِ الشَّافِعِيِّ أَنَّهُ قَال: لاَ يَقَعُ اسْمُ الْمَال إِلاَّ عَلَى مَا لَهُ قِيمَةٌ يُبَاعُ بِهَا، وَتَلْزَمُ مُتْلِفَهُ، وَإِنْ قَلَّتْ، وَمَا لاَ يَطْرَحُهُ النَّاسُ، مِثْل الْفَلْسِ وَمَا أَشْبَهَ ذَلِكَ [23]
Artinya: “Imam Zarkasyi dari madzhab Syafi’i mendefinisikan bahwa harta adalah sesuatu yang dapat dimanfaatkan atau siap untuk dimanfaatkan. Imam As-Suyuthi meriwayatkan bahwa Imam Syafii berkata, ‘Tidak disebut dengan harta, kecuali benda itu memiliki nilai yang bisa dijual karena adanya nilai tersebut, dan bagi orang yang merusaknya maka wajib menanggungnya, walau sedikit, dan benda itu tidak termasuk sesuatu yang dibuat oleh orang pada umumnya”.
Definisi ini menunjukkan bahwa dapat berupa ‘ain (wujud fisik benda) yang bisa dimanfaatkan atau non fisik yang dapat dimanfaatkan, memiliki nilai jual dan merasa dirugikan bila kehilangan. Berdasarkan definisi ini, saldo deposit yang termuat di dalam suatu aplikasi sebagaimana diadopsi oleh beberapa media digital dewasa ini dapat disebut sebagai harta mengingat fungsinya tidak menyimpang dari definisi di atas dan bahkan memenuhi unsur-unsur di atas. Lebih jauh lagi Wahbah al-Zuhaili menyampaikan penjelasan bahwa segala aspek fisik atau non fisik yang tidak dapat dikuasai, maka ia tidak bisa disebut harta sebagaimana pernyataannya sebagai berikut:
فلا يعد مالاً: ما لايمكن حيازته كالأمور المعنوية مثل العلم والصحة والشرف والذكاء، وما لا يمكن السيطرة عليه كالهواء الطلق وحرارة الشمس وضوء القمر[24]
Artinya: “Tidak dapat dibilang harta, sesuatu yang tidak dapat dikuasai, misalnya beberapa unsur nonfisik, seperti ilmu, kesehatan, kemuliaan, atau kecerdasan. Demikian juga, segala hal yang tidak dapat dikendalikan, seperti udara bebas, panas matahari dan sinar bulan”.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa kriteria harta adalah sesuatu yang dapat dikuasai. Selain itu harta juga adalah harus dapat dimanfaatkan secara lumrah. Al-Zuhaili menjelaskan secara rinci sebagai berikut:
إمكان الانتفاع به عادة: فكل ما لا يمكن الانتفاع به أصلاً كلحم الميتة والطعام المسموم أو الفاسد، أو ينتفع به انتفاعاً لا يعتد به عادة عند الناس كحبة قمح أو قطرة ماء أو حفنة تراب، لا يعد مالاً، لأنه لا ينتفع به وحده. والعادة تتطلب معنى الاستمرار بالانتفاع بالشيء في الأحوال العادية، أما الانتفاع بالشيء حال الضرورة كأكل لحم الميتة عند الجوع الشديد (المخمصة) فلا يجعل الشيء مالاً، لأن ذلك ظرف استثنائي [25]
Artinya: “Dapat diambil manfaatnya secara lumrah. Segala sesuatu yang tidak dapat diambil manfaatnya sama sekali, seperti kulit bangkai, makanan yang dibubuhi racun, atau makanan yang rusak, atau sesuatu yang sebenarnya bisa diambil manfaatnya, namun dengan jalan yang tidak biasa menurut lumrahnya masyarakat, seperti sebiji gandum, setetes air, atau sebutir debu, maka semua ini tidak dapat dibilang sebagai harta karena tidak dapat dimanfaatkan secara terpisah. Unsur kebiasaan di sini dilibatkan untuk menunjuk pengertian senantiasa (istimrar) bisanya sesuatu diambil manfaatnya dalam berbagai kondisi lumrah. Sedangkan barang yang hanya dapat dimanfaatkan ketika kondisi terpaksa (dlarurat), seperti daging bangkai ketika seseorang ditimpa kelaparan yang sangat menyiksa (paceklik hebat), maka ia tidak dapat disebut sebagai harta, karena hal itu diperbolehkan sebab adanya pengecualian”.
Dengan mencermati kedua batasan ini, maka kriteria harta yang harus dapat disimpan adalah tidak menjadi keharusan. Al-Zuhaili mencontohkan misalnya sayuran yang merupakan bagian dari harta meski tidak dapat disimpan, melainkan cukup meninjau keberadaannya yang dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum saja. oleh karena itu, harta yang disepakati oleh jumhur fuqaha adalah:
أما المال عند جمهور الفقهاء غير الحنفية: فهو كل ما له قيمة يلزم متلفه بضمانه. وهذا المعنى هو المأخوذ به قانوناً، فالمال في القانون وهو كل ذي قيمة مالية[26]
Artinya: “Harta menurut fuqaha jumhur selain hanafiyah adalah segala hal yang bernilai dan berlaku hukum kelaziman terhadapnya, yaitu orang yang merusaknya wajib memberikan ganti rugi. Dan nampaknya hukum positif negara mengadopsi pengertian ini dengan pernyataannya bahwa yang dimaksud dengan harta adalah segala sesuatu yang memiliki nilai hartawi”.
Dengan merujuk pada keterangan terakhir ini, maka saldo deposit dalam faktanya merupakan sebuah tanda adanya kepemilikan atas suatu harta. Berkurangnya saldo deposit yang tidak disebabkan oleh aktivitas belanja atau penarikan oleh pemiliknya, nyatanya selalu mendapatkan komplain dari pemilik akun yang bersangkutan. Ini setidaknya menjadi bukti bahwa saldo deposit adalah berkedudukan sebagai harta. Selain itu, bisanya pemilik akun mencairkan atau membelanjakan dana deposit, menunjukkan akan keberadaan unsur manfaat dari saldo deposit tersebut dalam bagian muamalah, oleh karena itu tidak ada kriteria harta yang tidak dimiliki oleh sado deposit sebagaimana definisi di atas. Berdasarkan keterangan ini menurut hemat penulis, penyerahan zakat dengan cara menyerahkan nilai atau saldo deposit dapat dibenarkan dan sah, karena saldo deposit termasuk bagian dari māl (harta) yang diakui dan berlaku bagi masyarakat umum.
Berdasarkan uraian ini dapat dipahami bahwa sebuah transaksi dapat dikatakan memenuhi kriteria tamlīk dan qabadh dalam fiqh Syāfi’iyyah bila telah terjadi penyerahan yang dapat dipahami sebagai perpindahan kepemilikan secara adat, menunjukkan hilangnya penguasaan pemilik awal dan sudah memungkinkan untuk diambil alih oleh pemilik baru. Dalam hal ini penyerahan harta zakat melalui aplikasi digital kiranya telah memenuhi kriteria tamlīk zakat dalam fiqh Syāfi’iyyah, diantaranya:
1) Nilai atau saldo deposit termasuk bagian dari māl (harta) yang diakui dan berlaku bagi masyarakat umum
2) Telah terjadi penyerahan zakat secara transfer yang hal ini sudah diterima oleh ‘urf zaman sekarang sebagai media transaksi,
3) Pembayaran secara transfer nilai uang atau saldo deposit menunjukkan hilangnya penguasaan pemilik awal terhadap dana zakat yang ditransfer,
4) Dana yang ditransfer memungkinkan untuk diambil oleh pemilik baru.
c. Status Transaksi dalam Penyaluran Zakat Online
Sebagaimana keterangan sebelumnya bahwa dalam praktik transaksi zakat online melalui aplikasi digital, dana zakat disalurkan melalui sistem perbankan, baik itu melalui aplikasi dompet digital, transfer m-banking, atau transfer internet banking. Semua media pengiriman uang ini merupakan media perantara yang dapat memudahkan orang untuk dapat bertransaksi secara berjauhan dan tanpa perlu bertatap muka langsung. Pembayaran melalui metode transfer ini pernah dibahas oleh salah seorang ulama kharismatik Aceh yaitu Tgk. H Muhammad Amin Daud atau yang akrab disapa Ayah Cot Trueng, beliau menjelaskan bahwa hakikat dari transaksi via transfer adalah akad hiwālah, dimana orang yang mentransfer telah terlebih dahulu menanamkan haknya dipihak bank, kemudian melakukan transaksi transfer yang menunjukkan bahwa si penerima transfer telah diberikan izin untuk mengambil haknya kepada pihak bank atas nama pengalihan hak dari orang yang mentransfer.
Penjelasan yang menggolongkan transaksi via transfer ke dalam akad hiwālah ini kiranya sesuai dengan konsep hiwālah dalam fiqh Syāfi’iyyah, dimana dalam hiwālah disyaratkan kerelaan pengalihan hak tersebut hanya dari pihak muhīl (orang yang mengalihkan hak) dan muhtāl (orang yang dialihkan haknya) saja, tidak perlu izin dari pihak muhāl ‘alaih (orang yang menanggung pengalihan hak). Sebagaimana keterangan singkat al-Nawawī berikut:
يشترط لها رضا المحيل والمحتال لا المحال عليه في الأصح[27]
Artinya: “Disyaratkan bagi hiwālah adanya kerelaan muhīl (orang yang mengalihkan hak) dan muhtāl (orang yang dialihkan haknya), tidak disyaratkan kerelaan muhāl ‘alaih (orang yang menanggung pengalihan hak) menurut pendapat kuat”.
Melihat konsep hiwālah dalam fiqh Syāfi’iyyah yang mensyaratkan hanya kerelaan dari muhīl dan muhtāl kiranya sesuai dengan praktek pembayaran zakat melalui aplikasi digital dengan via transfer, di mana muzakki selaku muhīl dan pihak pengelola aplikasi zakat online selaku muhtāl telah sama-sama menyetujui pengalihan harta zakat yang dibayarkan oleh muzakki diambil melalui pihak perbankan. Sebagaimana pada akad yang lain, dalam transaksi hiwālah ini kerelaan juga ditunjukkan dengan adanya ijab dan kabul. Sebagaimana penjelasan berikut:
وطريق الوقوف على تراضيهما إنما هو الإيجاب والقبول[28]
Artinya: “Cara menetapkan adanya kerelaan dari kedua pihak tersebut adalah dengan adanya ijab dan kabul”.
Ketentuan adanya ijab dan kabul sebagai akad hiwālah untuk mengalihkan hak zakat yang dibayarkan oleh muzakki kepada pihak bank ini telah tertunai dalam zakat via online dengan adanya konfirmasi via telepon atau WA antara muzakki dan pengelola aplikasi zakat online. Selain itu dalam akad hiwālah juga disyaratkan bahwa muhīl dan muhtāl harus mengetahui harta yang di-hiwālah-kan, baik secara ukuran ataupun ciri-cirinya. Sebagaimana penjelasan berikut:
[29](ويشترط العلم) أي علم كل من المحيل والمحتال (بما يحال به وعليه قدرا) كمائة (وصفة) معتبرة في السلم
Artinya: “Disyaratkan mengetahui, artinya mengetahui tiap-tiap muhīl dan muhtāl dengan harta yang di-hiwālah-kan, untuk itu harus diketahui secara kadar seperti seratus dan diketahui ciri-cirinya yang ditinjau dalam akad salam”.
Ketentuan ini juga kiranya telah terpenuhi dalam pembayaran zakat melalui aplikasi digital, dimana saat muzakki meng-hiwālah harta zakat tersebut untuk diambil kepada pihak bank, kedua belah pihak yaitu muzakki dan pihak pengelola aplikasi zakat sudah mengetahui kadar zakat yang dibayarkan serta sifat harta tersebut dalam bentuk rupiah. Di sisi lain, serah terima harta zakat yang dilakukan tidak secara taqābudh fī al-majlis (serah terima dalam majelis akad) juga tidak menjadi permasalahan dalam pembayaran zakat online dengan secara hiwālah kepada pihak bank, karena menurut pendapat kuat dalam mazhab Syāfi'i akad hiwālah tidak perlu adanya taqābudh fī al-majlis. Sebagaimana penjelasan berikut:
والأصح أنها بيع دين بدين جوز للحاجة، ولهذا لم يعتبر التقابض في المجلس[30]
Artinya: “Pendapat kuat menyatakan bahwa hiwālah sesungguhnya adalah menjual utang dengan utang yang dibolehkan karena hajat, karena ini maka tidak ditinjau taqābudh fī al-majlis (serah terima dalam majelis akad)”.
Berdasarkan keterangan ini dapat dipahami bahwa status transaksi pembayaran zakat melalui media digital dapat disahkan karena termasuk ke dalam akad hiwālah yang telah memenuhi syarat-syaratnya, dimana pihak muzakki telah terlebih dahulu menanamkan dana pada pihak bank, kemudian harta zakat yang seharusnya dibayarkan kepada pihak pengelola aplikasi zakat digital, di-hiwālah (dipalingkan) pengambilannya dengan cara transfer kepada pihak bank beserta kadar nominal zakat yang telah maklum, dalam hal ini pihak muzakki dan pengelola aplikasi telah sama-sama menyetujuinya dan mengetahui harta yang dizakatkan, baik itu kadarnya maupun sifatnya dalam bentuk rupiah.
d. Status Hukum Naql (Memindahkan) Zakat dalam Zakat Online
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa dalam pembayaran zakat melalui media digital, dana zakat diserahkan kepada pengelola aplikasi zakat yang berada di wilayah lain dan pengelola aplikasi menyerahkannya kepada mustahiq yang dikehendakinya yang tentu mustahiq tersebut juga berada di wilayah lain. Penyaluran zakat seperti ini termasuk ke dalam naql (memindahkan) zakat yang menurut pendapat kuat dalam mazhab Syāfi’i hukumnya tidak diperbolehkan. Sebagaimana yang dijelaskan Ibnu Hajar al-Haitami berikut:
(والأظهر) وإن نقل مقابله عن أكثر العلماء وانتصر له (منع نقل الزكاة) لغير الغازي [31]
Artinya: “(Menurut pendapat kuat) sekalipun lawan pendapat ini dikutip oleh mayoritas ulama dan dijadikan pegangan, (adalah tidak boleh memindahkan zakat) kepada selain tempat menunaikannya”.
Penjelasan ini juga didukung oleh keterangan Hasan ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Salim al-Kaf sebagai berikut:
والمشهور في مذهب الشافعي امتناع نقلها إذا وجد المستحقون لها في بلدها. ومقابل المشهور جواز النقل،[32]
Artinya: “Menurut pendapat masyhūr (populer) dalam mazhab Syāfi'imenyatakan tidak boleh memindahkan zakat bila terdapat mustahiq zakat di negeri tersebut, sedangkan lawan pendapat masyhūr membolehkan perpindahan tersebut.
Penjelasan ini menegaskan bahwa menurut pendapat kuat dalam mazhab Syāfi’i adalah tidak diperbolehkan naql (memindahkan) zakat kepadawilayah lain selama pada wilayah tempat menunaikan zakat masih ada mustahiq. Namun di dalam catatan pinggir “al-Taqrīrāt al-Syarīfah” yang dicetak dalam Fath al-Mu'īn, beserta I’ānah al-Thālibīn, Sayyid al-Bakri ditanya tentang pemindahan zakat harta dari wilayah Jawa ke Mekah dan Madinah dengan alasan mengharap pahala sedekah kepada para fakir tanah al-Haramain, beliau menjawab:
أنّ القول بالنقل يوجد فى مذهب الشافعي ويجوز تقليده والعمل بمقتضاه[33]
Artinya: “Sesungguhnya pendapat pemindahan (zakat dari satu daerah ke daerah lain) ditemukan dalam mazhab Syāfi’i dan boleh mengikuti pendapat ini dan melaksanakan ketentuannya”.
Lebih tegas Sayyid al-Bakri juga menjelaskan:
وفى المنهاج والتحفة للعلامة ابن حجر: والأظهر منع نقل الزكاة. وإن نقل مقبله أكثر العلماء، وانتصر له. انتهى. إذا تأملت ذلك علمت أن القول بالنقل يوجد في مذهب الإمام الشافعي، ويجوز تقليده والعمل بمقتضاه[34]
Artinya: “Dalam kitab al-Minhāj dan Tuhfah al-Muhtāj karya Ibnu hajar dijelaskan menurut pendapat kuat tidak boleh memindahkan zakat sekalipun lawan pendapat kuat tersebut dikutip oleh mayoritas ulama dan dijadikan pegangan. Bila kamu mencermati pendapat demikian maka kamu akan mengetahui bahwa sesungguhnya pendapat pemindahan (zakat dari satu daerah ke daerah lain) ditemukan dalam mazhab Syāfi’i dan boleh mengikuti pendapat ini dan melaksanakan ketentuannya”.
Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa menurut pendapat kuat dalam mazhab Syāfi'i tidak diperbolehkan memindahkan zakat ke wilayah lain selama di wilayah tempat harta zakat itu masih ada mustahiq yang berhak menerima zakat, namun terdapat beberapa keterangan ulama Syāfi'iyyah yang menegaskan akan adanya pendapat dalam mazhab Syāfi'i yang membolehkan naql zakat dan pendapat ini telah ditegaskan oleh beberapa ulama Syāfi'iyyah untuk boleh diamalkan. Berpijak dengan keterangan ini, maka pembayaran zakat melalui media digital yang termasuk naql zakat kiranya diperbolehkan dalam mazhab Syāfi'i.
C. Analisa Penulis dan Kesimpulan
Konsep penyaluran zakat dalam Tinjauan fiqih mensyaratkan beberapa ketentuan, yaitu disyaratkan adanya niat, tamlīk atau penyerahan dan tidak diperbolehkan naql (memindahkan) zakat. Niat zakat hanya cukup di dalam hati dan tidak diwajibkan adanya ijab kabul, sedangkan pada tamlīk atau penyerahan harta zakat disyaratkan harus adanya serah terima yang memenuhi standar qabadh menurut fiqih, baik itu secara hakiki maupun secara hukmi. Adapun terkait dengan naql (memindahkan) zakat, menurut pendapat kuat dalam mazhab Syāfi'i tidak diperbolehkan memindahkan zakat ke daerah lain selama di daerah tempat harta zakat itu masih ada mustahiq yang berhak menerima zakat.
Penyerahan harta zakat melalui aplikasi digital kiranya juga telah memenuhi kriteria tamlīk zakat dalam fiqih, diantaranya:
1. Penyerahan zakat dengan cara menyerahkan nilai atau saldo deposit dapat dibenarkan dan sah, karena saldo deposit termasuk bagian dari māl (harta) yang diakui dan berlaku bagi masyarakat umum
2. Telah terjadi penyerahan zakat secara transfer yang hal ini sudah diterima oleh ‘urf zaman sekarang sebagai media transaksi,
3. Pembayaran secara transfer menunjukkan hilangnya penguasaan pemilik awal terhadap dana zakat yang ditransfer,
4. Dana yang ditransfer memungkinkan untuk diambil oleh pemilik baru.
Status transaksi pembayaran zakat melalui media digital dapat disahkan karena termasuk ke dalam akad hiwālah yang telah memenuhi syarat-syaratnya, dimana pihak muzakki telah terlebih dahulu menanamkan dana pada pihak bank, kemudian harta zakat yang seharusnya dibayarkan kepada pihak pengelola aplikasi zakat digital, di-hiwālah (dipalingkan) pengambilannya dengan cara transfer kepada pihak bank beserta kadar nominal zakat yang telah maklum, dalam hal ini pihak muzakki dan pengelola aplikasi telah sama-sama menyetujuinya dan mengetahui harta yang dizakatkan, baik itu kadarnya maupun sifatnya dalam bentuk rupiah.
Foot Note:
[1]Laudon, K., Traver, C. 2009. E-Commerce: business, technology, society. Prentice Hall Higher Education, hm. 112
[2]Rohim. 2019. Rohim penghimpunan zakat melalui digital fundraising. Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi Vol. 4, No. 1 January- Optimalisasi June 2019, h. 59-90.
[3]Ade Nur Rohim, Optimalisasi Penghimpunan Zakat Melalui Digital, Al-Balagh: Jurnal Dakwah dan Komunikasi, Vol. 4, No. 1, (2019), h. 58.
[4]Badan Amil Zakat Nasional (BAZNAS), Cara Pembayaran Zakat Fitrah Digital, (2023), (online), https://baznas.jogjakota.go.id/detail/index/26713, diakses pada 03 September 2024.
[5]OCBC NISP, Cara Bayar Zakat Fitrah Online dan Simulasi Perhitungannya, (2023), (online), https://www.ocbc.id/id/article/2021/03/17/bayar-zakat-fitrah-online, diakses pada 03 September 2024.
[6]Dompet Dhuafa, Hukum Bayar Zakat Online, (2024), (Online), https://www.dompetdhuafa. org/bayar-zakat-online/, diakses pada 03 September 2024.
[7]Dompet Dhuafa, Hukum Bayar Zakat Online,(2024), (Online), https://www.dompetdhuafa. org/bayar-zakat-online/, diakses pada 03 September 2024.
[8]Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, Nihāyah al-Zain fī Irsyād al-Mubtadi'īn , (Beirut: Dar al Kutub al-islamiyah, 2008), h. 374.
[9]Syamsuddin Muhammad al-Ramli, Nihāyah al-Muhtāj Ilā Syarh al-Minhāj, Jld. III, (Beirut: Dar al-Fikri, 1984), h. 137
[10]Syamsyuddin Muhammad bin Ahmad al-Khatib al-Syarbaini, Mughnī al-Muhtāj, Jld. II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 1415), h. 131. Lihat juga Muhammad Nawawi bin Umar al-Jawi al-Bantani, Nihāyah al-Zain…, h. 374.
[11]Syekh Syarafuddin Yahya al-Nawawi al-Damasyqi, al-Majmū’, (Kairo: Dar al-Hadith, 2010), h. 425.
[12]Imam al-Nawawi, Al-Majmū’ Syarh al-Muhadzab, Juz. VII, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017), h. 278.
[13]Ahmad bin Muhammad al-‘Adawi al-Maliki, al-Syarh al-Kabir, Juz. I, (Beirut: Dar al- Kutub al-Ilmiah, 1996), h. 500
[14]Wahbah al-Zuhailī, Al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh…, h. 1811.
[15]Jalāluddīn al-Mahallī, Kanz al-Rāghibīn…, h. 55.
[16]Imam al-Nawawi, al-Majmū’ Syarh al-Muhadzab, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017), Juz. 6, h. 135.
[17]Zainuddin Abdurrahim bin al-Husain al-Iraqī al-Syāfi’ī, Tharhu al-Tatsrīb fī Syarh al-Taqrīb, Juz. IV, (Riyadh: Maktabah Nizar Mushthafa, 2005), h. 415.
[18]Yahya ibn Syaraf al-Nawawī, Raudhah al-Thālibīn wa ‘Umdah al-Muftīn, Juz. V, (Beirut: al-Maktab al-Islamī, 1991), h. 365.
[19]Yahya ibn Syaraf al-Nawawī, Raudhah al-Thālibīn, wa ‘Umdah al-Muftīn, Juz. III, (Beirut: al-Maktab al-Islamī, 1991), h. 365.
[20]Yahya ibn Syaraf al-Nawawī, Raudhah al-Thālibīn..., h. 520.
[21]Yahya ibn Syaraf al-Nawawī, Raudhah al-Thālibīn wa ‘Umdah al-Muftīn, Juz. III, (Beirut: al-Maktab al-Islamī, 1991), h. 520.
[22]Wahbah Al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu, Jld. IV, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyah, t.t), h. 242
[23]Kementrian Perwakafan dan Urusan Islamiah, Al-Mausū’ah al-Fiqhiyyah al-Quwaitiyyah, Juz. XXXVI, (Kuwait: Wizarah al-Auqaf wa al-Syu’un al-Islamiyyah, 2015), h. 32.
[24]Wahbah Al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu, Jld. IV, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyah, t.t), h. 2875.
[25]Wahbah Al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu…, h. 2875.
[26]Wahbah Al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu, Jld. IV, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyah, t.t), h. 2875.
[27]Abu Zakaria Yahya Ibn Syaraf al-Nawawī, Minhāj al-Thālibīn wa Umdah al-Mftīn, (Beirut: Dar al-Fikri, 2005), h.128.
[28]Muhammad bin Ahmad al-Khatīb al-Syarbainī, Mughnī al-Muhtᾱj ilā ma’rifah ma’ānī alfāz al-Minhāj, Jld. III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1994), h. 189..
[29]Muhammad bin Ahmad al-Khatīb al-Syarbainī, Mughnī al-Muhtᾱj…, h. 189..
[30]Muhammad bin Ahmad al-Khatīb al-Syarbainī, Mughnī al-Muhtᾱj ilā ma’rifah ma’ānī alfāz al-Minhāj, Jld. III, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1994), h. 189..
[31]Ahmad ibn Hajar al-Haitamī, Tuhfah al-Muhtāj fī Syarh al-Minhāj…, h. 173.
[32]Hasan ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Salim al-Kaf, Al-Taqrīrāt al-Sadīdāt fi Masā`il al-Mufīdah: Qism al-'Ibādah, (Riyāḍ: Dār al-‘Ilm wa al-Da’wah, 2003), h. 420.
[33]Al-Said Abu Bakr al-Dimyatī, Al-Taqrīrāt al-Syarīfah dalam Hāsyiyyah I’ānah al-Thālibīn, Jld.IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), h. 420.
[34]Al-Said Abu Bakr al-Dimyatī, Hāsyiyyah I’ānah al-Thālibīn, Jld.IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), h. 420.
Semoga bermanfaat...!!!
0 Response to "Hukum Membayar Zakat Melalui Aplikasi Digital (Kitabkuning90)"
Posting Komentar