Ketentuan Membayar Zakat Dalam Fiqih (Syarat Sah Zakat dan Hukum Membayar Zakat ke Kampung Halaman) // Kitabkuning90
![]() |
Syarat dan Ketentuan Membayar Zakat (Kitabkuning90) |
Deskripsi Masalah
Banyak beredar pertanyaan dalam masyarakat tentang ketentuan membayar zakat, diantaranya: Apa ijab kabul saat bayar zakat itu wajib?. Apakah boleh menyalurkan pembayaran zakat ke kampung lain (naqal zakat)?.
Terdapat beberapa hal yang perlu diperhatikan terkait konsep penyaluran zakat dalam fiqih, baik itu tentang syarat sah dalam pembayaran zakat maupun syarat dari tiap-tiap rukun terlaksananya zakat. Diantara syarat sah zakat yang terkait dengan penyalurannya atau pembayarannya adalah:
1. Disyaratkan Niat
Ulama fuqaha’ sepakat bahwa keabsahan dalam penyaluran atau pembayaran zakat disyaratkan beberapa perkara, diantaranya adalah disyaratkan adanya niat pada saat menunaikan zakat. Sebagaimana penjelasan berikut:
شروط صحة أداء الزكاة النية. اتفق الفقهاء على أن النية شرط في أداء الزكاة، تمييزا لها عن الكفارات وبقية الصدقات[1]
Artinya: “Syarat sah menunaikan zakat pertama adalah niat. Ulama fuqaha’ sepakat menyatakan bahwa niat merupakan syarat dalam menunaikan zakat sebagai pembeda zakat dengan kafarat dan sedekah lainnya. Kedua adalah penyerahan kepemilikan (tamlīk). Disyaratkan tamlīk untuk sah menunaikan zakat dengan cara memberinya kepada mustahiq. Maka tidak cukup dengan sekedar membolehkan atau dengan memberi makanan, kecuali dengan jalan tamlīk”.
Terkait niat pada zakat, Jalāluddīn al-Mahallī menjelaskan tata cara niat yang benar saat membayar zakat sebagai berikut:
(وتجب النية فينوي هذا فرض زكاة مالي أو فرض صدقة مالي ونحوهما) أي كزكاة مالي المفروضة، أو صدقة مالي المفروضة. وعبر في الروضة وأصلها وشرح المهذب بالصدقة المفروضة. ولو نوى الزكاة دون الفرضية أجزأه، وقيل: لا كما لو نوى صلاة الظهر، ورد بأن الظهر قد تقع نفلا كالمعادة. والزكاة لا تقع إلا فرضا.[2]
Artinya: “Diwajibkan niat pada zakat. Seseorang yang mengeluarkan zakat harus berniat: "ini adalah kewajiban zakat hartaku", atau "kewajiban sedekah hartaku", dan semisalnya. Artinya seperti: "zakat hartaku yang diwajibkan", atau "sedekah hartaku yang diwajibkan". Imam Nawawi mengungkapkan dalam Raudhah, Ashal Raudhah dan Syarh al-Muhazzab dengan sedekah yang difardhukan. Seandainya dia niat zakat saja tidak meniatkan fardhu maka cukup/memada. Menurut sebagian ulama tidak cukup, sama dengan jika dia niat shalat Zuhur. Pendapat ini ditolak dengan sesungguhnya Zuhur terkadang jatuh sebagai sunat, seperti Zuhur i'ādah (ulangan). Sedangkan kata zakat tidak terpahami melainkan hanya fardhu".
Penjelasan ini menegaskan bahwa dalam niat zakat seseorang harus meniatkan bahwa harta yang diberinya adalah zakat atau kata lain yang maknanya tertuju kepada zakat, seperti sedekah wajib atau sedekah fardhu. Penjelasan ini semakna dengan keterangan yang disampaikan oleh Imam al-Ramli dalam Nihāyah al-Muhtāj bahwa wajib niat pada zakat dan yang terpenting dari niat adalah harus tergores di dalam hati. Berikut penjelasan beliau:
(وتجب) (النية) في الزكاة للخبر المشهور والاعتبار فيها بالقلب كغيرها (فينوي هذا فرض زكاة مال أو فرض صدقة مالي أو نحوها)[3]
Artinya: “Wajib niat pada zakat karna terdapat hadits yang masyhur, dan yang ditinjau pada niat adalah dengan hati sama seperti selain zakat. Maka seseorang yang mengeluarkan zakat berniat: "ini adalah kewajiban zakat harta" atau "kewajiban sedekah hartaku" dan semisalnya”.
Penjelasan ini menegaskan bahwa niat zakat harus mampu menunjukkan secara terkhusus kepada zakat, maka tidak cukup niat dengan sesuatu yang bisa terpahami kepada umum, seperti: “ini adalah kewajiban dari hartaku", dan "sedekah dari hartaku". Sebagaimana redaksi dalam kitab Kanz al-Rāghibīn berikut:
(ولا يكفي هذا فرض مالي) لأنه يكون كفارة ونذرا (وكذا الصدقة) أي صدقة مالي (في الأصح) لأنها تكون نافلة[4]
Artinya: “Tidak memada seperti perkataan: "ini adalah kewajiban dari hartaku", karena kewajiban harta ada kafarah dan ada nazar. Begitu juga sedekah, artinya "sedekah dari hartaku", menurut pendapat Ashah, Karena sedekah ada yang sunat".
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa niat zakat harus mampu menunjukkan secara terkhusus kepada zakat, tidak cukup dengan niat yang umum. Apabila pembayaran zakat diserahkan melalui wakil atau ‘āmil zakat, maka cukup niat muzaki selaku orang yang mewakilkan pada saat menyerahkan zakat kepada wakil, dan wakil tidak perlu berniat lagi ketika menyerahkannya kepada mustahiq, tetapi yang lebih afdhalnya wakil juga ikut berniat. Sebagaimana penjelasan Jalāluddīn al-Mahallī berikut:
(وتكفي نية الموكل عند الصرف إلى الوكيل في الأصح والأفضل أن ينوي الوكيل عند التفريق أيضا) على المستحقين،[5]
Artinya: “Cukup niat orang yang mewakilkan ketika menyerahkan kepada wakil menurut Ashah. Yang afdhal adalah wakil juga meniatkan ketika membagikan kepada para mustahiq".
Penjelasan ini senada dengan keterangan yang terdapat dalam kitab Nihāyah al-Muhtāj sebagai berikut:
(وتكفي نية الموكل عند الصرف إلى الوكيل) ولا يحتاج الوكيل لنية عند صرف ذلك لمستحقه (في الأصح) لحصول النية ممن خوطب بها مقارنة لفعله.[6]
Artinya: “Cukup niat orang yang mewakilkan ketika menyerahkan kepada wakil, dan wakil tidak perlu berniat ketika menyerahkannya kepada mustahiq berdasarkan pendapat kuat. Karna sudah hasil niat dari orang yang dikhitabkan dengan zakat yang niat tersebut menyertai dengan perbuatannya.
Penjelasan ini menegaskan bahwa jika pembayaran zakat diserahkan melalui wakil, maka adanya niat muzaki pada saat menyerahkan zakat kepada wakil sudah cukup memenuhi syarat, sehingga wakil tidak perlu berniat lagi. Dalam hal ini yang bertindak sebagai wakil boleh jadi ‘āmil zakat, pemimpin atau orang lain yang diamanahkan untuk memberikan harta zakat kepada mustahiq, maka dalam semua bentuk perwakilan tersebut cukup dengan niat dari muzaki pada saat menyerahkan kepada wakil saja sebagai syarat sah zakat. Sebagaimana penjelasan berikut:
(ولو دفع) الزكاة (إلى السلطان كفت النية عنده) أي عند الدفع إليه وإن لم ينو السلطان عند القسم على المستحقين لأنه نائبهم فالدفع إليه كالدفع إليهم (فإن لم ينو) عند الدفع إليه (لم يجزئ على الصحيح وإن نوى السلطان) عند القسم عليهم كما لا يجزئ الدفع إليهم بلا نية،[7]
Artinya: “Jika dia menyerahkan zakat kepada penguasa/raja maka cukup niat ketika itu. Artinya ketika menyerahkan kepada penguasa. Meskipun penguasa tidak niat ketika membagi kepada para mustahiq. Karena penguasa adalah wakil para mustahiq. Maka menyerahkan kepada penguasa sama dengan menyerahkan kepada mereka. Jika dia tidak niat ketika menyerahkan kepada penguasa maka tidak cukup menurut Shahih, sekalipun penguasa niat ketika membagi kepada mereka para mustahiq. Sebagaimana tidak cukup menyerahkan kepada mereka tanpa niat”.
Imam al-Ramli juga memberikan keterangan yang senada dengan uraian di atas dalam karya beliau sebagai berikut:
ولو) (دفع) الزكاة (إلى السلطان كفت النية عنده) أي عند الدفع إليه وإن لم ينو السلطان عند الدفع
للمستحقين لأنه نائبهم فالدفع إليه كالدفع لهم بدليل أنها لو تلفت عنده الزكاة لم يجب على المالك شيء[8
Artinya: “Jika dia menyerahkan zakat kepada penguasa/raja, maka cukup niat ketika itu. Artinya ketika menyerahkan kepada penguasa. Meskipun penguasa tidak niat ketika membagi kepada para mustahiq. Karena penguasa adalah pengganti para mustahiq. Maka menyerahkan kepada penguasa sama dengan menyerahkan kepada mustahiq, dengan dalil jika harta zakat hilang disisi penguasa maka tidak wajib apapun di atas pemilik harta”.
Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa dalam pembayaran zakat yang diwakilkan kepada orang lain, baik itu ‘āmil zakat, pemimpin atau orang lain yang diamanahkan untuk memberikan harta zakat kepada mustahiq, maka niat dari muzaki pada saat menyerahkan zakat kepada wakil tersebut sudah cukup sebagai syarat sah zakat. Hal ini menunjukkan akan betapa pentingnya niat pada saat pembayaran zakat. Bahkan ulama dari kalangan mazhab lain juga yang turut membahas perihal permasalahan ini dan menurut mayoritas ulama mazhab bahwa niat merupakan syarat sah zakat yang menentukan keabsahan zakat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibnu Qudamah al-Muqdisi berikut:
ولا يجوز إخراج الزكاة إلا بنية.... مذهب عامة الفقهاء أن النية شرط في أداء الزكاة [9
Artinya, “Tidak dibenarkah (tidak sah) mengeluarkan zakat kecuali disertai niat… Menurut (pendapat) mayoritas ulama fuqaha’ menyatakan bahwa niat adalah syarat dalam mengeluarkan zakat”.
Kendatipun kedudukan niat dalam pembayaran zakat sangat penting dalam menentukan keabsahannya, namun menjadi sebuah kemudahan dalam pembayaran zakat disaat niat zakat tidak harus diucapkan. Sebagaimana yang dijelaskan Wahbah al-Zuhailī yang menegaskan pandangan ulama mazhab Syāfi’i bahwa dalam niat zakat tidak disyarat adanya pengucapan, niat cukup dengan hati. Berikut keterangannya:
وقال الشافعية: تجب النية بالقلب، ولا يشترط النطق بها، فينوي: «هذا زكاة مالي» ولو بدون ذكر الفرض؛ لأن الزكاة لا تكون إلا فرضًا، ونحو ذلك، كهذا فرض صدقة مالي أو صدقة مالي المفروضة، أو الصدقة المفروضة، أو فرض الصدقة[10].
Artinya: “Ulama Syāfi'iyyah berkata bahwa niat harus dengan hati, tidak disyaratkan pengucapannya. Orang yang berniat: "lni zakat hartaku”, meskipun tanpa menyebutkan kefardhuan. Sebab, zakat tidak ada selain fardhu. Dan sejenisnya seperti “ini adalah kefardhuan shadaqah hartaku” atau “shadaqah hartaku yang difardhukan” atau “shadaqah yang difardhukan” atau “kefardhuan shadaqah”.
Dari beberapa penjelasan di atas, dapat disimpulkan, bahwa niat merupakan salah satu syarat sah zakat, dalam mengeluarkan zakat sudah seharusnya untuk berhati-hati perihal niat. Sebab, tanpa niat zakat tidak akan sah menurut ulama Syāfi'iyyah. Hal itu tidak lain karena niat menjadi salah satu bagian paling penting di balik sahnya zakat. Namun apabila pembayaran zakat dilakukan secara paksa oleh petugas ‘āmil zakat terhadap orang-orang yang enggan membayar zakat, maka dalam hal ini perlu adanya penegasan niat dari pihak ‘āmil bahwa ia sedang menagih harta zakat. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Ibn Hajar al-Haitami berikut:
(و) الأصح (أن نيته) أي السلطان (تكفي) عن نية الممتنع باطنا؛ لأنه لما قهر قام غيره مقامه في التفرقة فكذا في وجوب النية وفي الاكتفاء بها كولي المحجور[11]
Artinya: “Menurut kendapat kuat bahwa niat penguasa memadai secara batin untuk menggantikan niat dari orang yang menegah zakat, karena ketika dia berkeras hati, maka berdirilah orang lain pada posisinya untuk membagikan zakat, begitu juga dalam hal kewajiban niat dan kesempurnaannya niat, sama seperti wali dari orang yang ditahan hartanya”.
Bahkan lebih tegas lagi penjelasan al-Khatīb al-Syarbainī yang menyatakan bahwa sultan atau penguasa wajib meniatkan zakat di saat mengutip zakat dari orang yang tidak mau bayar zakat. Berikut redaksinya:
والأصح أنه يلزم السلطان النية إذا أخذ زكاة الممتنع، وأن نيته تكفي[12]
Artinya: “Menurut pendapat kuat bahwa sultan atau pemimpin wajib niat bila mengambil zakat dari orang yang tidak mau bayar zakat dan niatnya tersebut memadai”.
Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami bahwa petugas ‘āmil zakat wajib meniatkan zakat di saat mengutip zakat secara paksa dari orang-orang yang enggan membayar zakat. Dengan demikian, ketika harta itu sudah diserahkan kepada petugas tersebut, maka kedudukan penyerahannya sudah terhitung sebagai niat.
2. Disyaratkan Tamlīk (Penyerahan) dari orang yang Membayar Zakat
Syarat sah zakat yang kedua adalah adanya penyerahan kepemilikan (tamlīk) saat pembayaran zakat. Sebagaimana penjelasan berikut:
و التمليك، يشترط التمليك لصحة أداء الزكاة بأن تعطى للمستحقين، فلا يكفي فيها الإباحة أو الإطعام إلا بطريق التمليك[13]
Artinya: “Syarat kedua adalah penyerahan kepemilikan (tamlīk). Disyaratkan tamlīk untuk sah menunaikan zakat dengan cara memberinya kepada mustahiq. Maka tidak cukup dengan sekedar membolehkan atau dengan memberi makanan, kecuali dengan jalan tamlīk”.
Tamlīk menjadi syarat sahnya pelaksanaan zakat dengan cara harta zakat diserahkan kepada mustahiq, wakil, atau pengelola zakat/’āmil, walaupun orang yang menerima harta zakat tersebut tidak mengetahui yang bahwa itu adalah harta zakat. Sebagaimana penjelasan dari Ibn Hajar al-Haitamī dalam kitab Tuhfah al-Muhtāj berikut:
يجوز دفعها لمن لم يعلم أنها زكاة، لأن العبرة بنية المالك محله عند عدم الصارف من الأخذ أما معه كأن قصد بالأخذ جهة أخرى فلا[14]
Artinya: “Para ulama berpendapat boleh menyerahkan zakat kepada orang yang tidak tahu bahwa itu sesungguhnya adalah zakat, karena yang ditinjau adalah niat dari pemilik harta. Kedudukan hukum ini di saat tidak ada maksud lain yang memalingkan dari niat mengambil. Jika disertai adanya maksud lain seperti mengambil karena tujuan lain, maka tidak boleh”.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa dalam pembayaran zakat hal yang terpenting adalah adanya kejelasan niat dan penyerahan (tamlīk) dari sisi muzaki saja, baik beserta diketahui oleh penerima zakat atau tanpa diketahui. Hal ini dibolehkan karena dalam pembayaran zakat tidak disyaratkan adanya ijab kabul secara lafaz. Sebagaimana keterangan Al-Nawawī berikut:
إذا دفع المالك أو غيره الزكاة الي المستحق ولم يقل هي زكاة ولا تكلم بشئ أصلا أجزأه ووقع زكاة هذا هو المذهب الصحيح المشهور الذى قطع به الجمهور [15]
Artinya: “Bila pemilik harta atau lainnya menyerahkan zakat kepada mustahiq, dan ia tidak mengatakan ini adalah zakat, tidak pula berkata apapun, maka mencukupi dan sah sebagai zakat. Demikian menurut pendapat yang sahih yang dipastikan (disepakati) oleh mayoritas ulama”.
Penyaluran zakat yang dilakukan tanpa adanya ijab kabul dalam keterangan tersebut disahkan, karena berpijak kepada syarat sah zakat hanyalah niat dan penyerahan (tamlīk). Kemudian melalui redaksi “idzā dafa’a al-mālik au ghairuh” (bila pemilik harta atau lainnya menyerahkan zakat) menunjukkan bahwa dalam penyaluran zakat, muzakki juga boleh mewakilkan tamlīk (penyerahannya) kepada imam ataupun kepada petugas ‘āmil zakat. Alasan kebolehan diwakilkan karena pembayaran zakat itu menyerupai pembayaran hutang. Sebagaimanma penjelasan dalam kitab al-Majmū’ sebagai berikut:
له أن يوكل في صرف الزكاة التي له تفريقها بنفسه ، فإن شاء وكل في الدفع إلى الإمام والساعي ، وإن
شاء في التفرقة على الأصناف وكلاهما جائز بلا خلاف ، وإنما جاز التوكيل في ذلك مع أنها عبادة ; لأنها تشبه قضاء الديون[16]
Artinya: “Seseorang boleh mewakilkan dalam penyerahan zakat yang padahal merupakan haknya untuk dibagikan sendiri. Jika ia berkenan, ia boleh mewakilkan pembayarannya kepada imam dan pengutip zakat, atau jika ia berkenan, ia boleh langsung memberikan kepada golongan-golongan yang berhak menerima zakat. Keduanya boleh tanpa ada perselisihan. Namun diperbolehkan mewakilkan hal ini meskipun itu merupakan suatu ibadah, karena sama halnya dengan melunasi hutang”.
Penjelasan ini menunjukkan bahwa dalam konsep tamlīk pada saat penyaluran zakat tidak mengharuskan terlibat muzakki dan mustahiq secara langsung, melainkan dapat dilakukan melalui perwakilan orang lain, baik itu sultan/pemerintah ataupun petugas amil zakat, namun penyaluran zakat tersebut harus memenuhi standarisasi tamlīk yang ditetapkan dalam fiqh, diantaranya terjadi serah terima yang menunjukkan akan perpindahan kepemilikan barang kepada orang lain, baik itu secara hakiki maupun secara hukmi. Sebagaimana yang dijelaskan dalam keterangan berikut:
القبض في المعاملات إما حقيقي وإما حكمي: أما القبض الحقيقي فيتم بنحو حسي ملموس بالأخذ باليد، أو الكيل، أو الوزن في الطعام، أو النقل والتحويل إلى حوزة القابض وأما القبض الحكمي فهو كل ما تتحقق به الحيازة والتمكن من التصرف، بحسب العرف السائد، من غير تناول باليد أو قبض حسي[17]
Artinya, “Qabadh (serah terima) dalam transaksi, adakalanya haqiqi dan adakalanya hukmi. Qabadh al-haqiqi adalah sempurnanya perpindahan kepemilikan barang melalui jalan menyentuh, menerima dengan tangan, menakar, menimbang suatu makanan, memindah atau membawa kepada penguasaan penerima. Sementara qabadh al-hukmi adalah segala sesuatu yang menyatakan terjadinya perpindahan hak milik atau hak kelola harta menurut ‘urf yang berlaku tanpa keterlibatan unsur tangan atau menerima secara sentuhan”.
Berdasarkan keterangan ini dapat disimpulkan bahwa konsep penyaluran zakat dalam fiqh Syāfi'iyyah mensyaratkan dua ketentuan utama sebagai syarat keabsahan zakat tersebut, yaitu adanya niat dan tamlīk, tidak disyaratkan ijab dan kabul, maka penyerahan zakat tanpa adanya lafaz ijab dan kabul hukumnya sah selama ada niat. Dalam hal ini niat disyaratkan harus dapat menunjukkan secara khusus kepada pembayaran zakat dan tidak diwajibkan adanya ijab kabul. Sedangkan dalam hal perpindahan kepemilikan tamlīk disyaratkan harus adanya serah terima yang memenuhi standar menurut fiqh, baik itu secara hakiki, seperti menyerahkan langsung dengan tangan atau dengan memindahkan barang, ataupun secara hukmi yaitu tamlīk (perpindahan kepemilikan) yang dilakukan tidak secara langsung antara dua orang yang sedang serah terima, namun dengan cara yang sudah diakui oleh tradisi zaman.
3. Hukum membayar Zakat ke Wilayah Lain (Naqal Zakat)
Istilah muzakki dan mustahiq memiliki keterkaitan yang sangat besar dalam pelaksanaan zakat. Muzakki memiliki pengertian seseorang yang wajib membayar zakat, sedangkan mustahiq yaitu orang yang berhak menerima zakat. Sebagaimana diketahui, dalam menunaikan zakat, baik itu zakat fitrah maupun zakat mal, harus diterima oleh orang yang berhak menerimanya. Sedangkan mustahiqqin atau al-ashnāf al-tsamāniyah (delapan golongan yang berhak menerima zakat) harus memenuhi tiga syarat, yaitu Islam, bukan orang yang wajib dinafaqahi oleh orang lain bila atas nama fakir miskin dan bukan dari golongan Bani Hasyim atau Bani Muththalib. Disamping itu, menurut pendapat kuat dalam mazhab Syāfi’i, mustahiq zakat disyaratkan juga harus orang-orang yang berada di balad (tempat) zakat. Sebagaimana keterangan berikut:
والمشهور في مذهب الشافعي امتناع نقلها إذا وجد المستحقون لها في بلدها. ومقابل المشهور جواز النقل، وهو مذهب الإمام أبي حنيفة - رضي الله عنه - وكثير من المجتهدين، منهم الامام البخاري، فإنه نرجم المسألة بقوله: باب أخذ الصدقة من الاغنياء - وترد على الفقراء حيث كانوا. [18]
Artinya: “Menurut pendapat masyhūr (populer) dalam mazhab Syāfi'imenyatakan tidak boleh memindahkan zakat bila terdapat mustahiq zakat di negeri tersebut, sedangkan lawan pendapat masyhūr membolehkan perpindahan tersebut. Ini merupakan mazhab Imam Abu Hanifah ra dan mayoritas ulama mujtahid, sebagian mereka adalah Imam al-Bukhari, baliau membuat judul permasalahan dengan narasinya “Bab mengambil sedekah dari orang kaya dan menyerahkannya kepada orang fakir di mana saja keberadaan mereka”.
Penjelasan ini menerangkan bahwa pendapat yang masyhūr (populer) dalam mazhab Syāfi'i menyatakan ketidakbolehan memindah zakat dari satu daerah ke daerah lainnya. Zainuddin al-Malibarī dalam kitab Fath al-Mu'īn menegaskan hal yang serupa sebagai berikut:
ولا يجوز لمالك نقل الزكاة عن بلد الْمال ولوْ إلى مسافة قريبة، ولا تجزِئ [19]
Artinya: “Tidak diperbolehkan bagi pemilik harta zakat memindahkan zakat dari daerah harta itu, sekalipun ke daerah yang berdekatan dan zakat tidak tersebut dapat memada (tidak sah)”.
Namun, ternyata ada juga pendapat dalam mazhab Syāfi’i yang membolehkan pemindahan zakat dari satu daerah ke daerah lainnya. Sayyid al-Bakry mengutip pendapat Ibn 'Ujail menuliskan bahwa ada tiga masalah tentang fatwa zakat yang menyelisihi pendapat dalam mazhab Syāfi’i, diantaranya adalah tentang (kebolehan) pemindahan zakat (dari satu daerah ke daerah lainnya). Mengutip pendapat Ibn 'Ujail, Sayyid al-Bakri menuliskan:
قال ابن عجيل اليمني ثلاث مسائل في الزكاة يفتى فيها على خلاف المذهب، نقل الزكاة، ودفع زكاة واحد إلى واحد، ودفعها إلى صنف واحد[20]
Artinya: “Ibn 'Ujail al-Yamanī berkata ada tiga masalah tentang zakat yang difatwakan ulama menyalahi mazhab Syafi’i, yaitu memindahkan zakat, menyerahkan zakat seseorang kepada satu orang dan menyalurkannya kepada satu kelompok mustahiq”.
Penjelasan ini menerangkan bahwa dalam mazhab Syāfi’i ada pendapat yang membolehkan pemindahan zakat dari satu daerah ke daerah lainnya, namun pendapat tersebut dianggap menyalahi dari mazhab Syāfi’I sendiri. Syekh Hasan ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Salim al-Kaf juga menegaskan hal yang sama sebagai berikut:
قال الإمام ابن عُجيل رحمه الله: ثلاث مسائلَ يفتى بها على غير المشهور فى مذهب الإمام الشافعي، وهي......جواز نقل الزّكاة من موضعها إلى بلد آخر[21]
Artinya: "Imam Ibn 'Ujail berkata: Ada tiga masalah yang difatwakan dalam pendapat yang tidak populer (ghair al-masyhūr) dalam mazhab Imam Syāfi’i, yaitu (di antaranya adalah).... kebolehan memindahkan zakat dari tempat asalnya ke daerah lainnya”.
Keterangan ini menjelaskan bahwa dalam mazhab Syāfi’i terdapat pendapat yang tidak populer (ghair al-masyhūr) dalam mazhab Imam Syāfi’i yang membolehkan pemindahan zakat dari satu daerah ke daerah lainnya. Sedangkan pendapat yang populer (al-masyhūr) dalam mazhab Syāfi’i menegaskan bahwa zakat tidak boleh disalurkan kepada mustahiq yang berada di wilayah lain. Namun syarat ini hanya berlaku bagi mālik (pemilik harta zakat) saja, tidak pada pemerintah yang bertindak selaku āmil zakat. Sebagaimana penjelasan Ibnu Hajar al-Haitamī berikut:
والكلام في المالك المقيم ببلد، أو بادية أما الإمام فله نقلها مطلقا لما مر أن الزكوات كلها في يده كزكاة واحدة، وكذا الساعي[22]
Artinya: “Pembahasan ini hanya berlaku pada mālik (pemilik harta zakat) yang menetap di satu negeri atau desa. Adapun imam, maka boleh baginya memindahkan zakat secara mutlak, karena alasan yang telah lalu yaitu semua zakat di tangannya seperti satu zakat, begitu juga pihak pengutip zakat”.
Berdasarkan keterangan ini dapat dipahami bahwa menurut pendapat populer (al-masyhūr) dalam mazhab Syāfi’i zakat tidak boleh disalurkan kepada mustahiq yang berada di wilayah lain, dalam arti kata mālik (pemilik harta zakat) tidak boleh memindahkan zakat dari satu daerah ke daerah lain. Dalam mazhab Syāfi’i terdapat pula pendapat yang membolehkan pemindahan zakat dari satu daerah ke daerah lainnya, namun pendapat tersebut dianggap ghair al-masyhūr (tidak populer).
Berdasarkan keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa konsep penyaluran zakat dalam perspektif Syāfi’iyyah mensyaratkan beberapa ketentuan, yaitu disyaratkan adanya niat, tamlīk atau penyerahan dan tidak diperbolehkan naql (memindahkan) zakat. Niat zakat hanya cukup di dalam hati dan tidak diwajibkan adanya ijab kabul, sedangkan pada tamlīk atau penyerahan harta zakat disyaratkan harus adanya serah terima yang memenuhi standar qabadh menurut fiqh Syāfi’iyyah, baik itu secara hakiki maupun secara hukmi. Adapun terkait dengan naql (memindahkan) zakat, menurut pendapat kuat dalam mazhab Syāfi'i tidak diperbolehkan memindahkan zakat ke daerah lain selama di daerah tempat harta zakat itu masih ada mustahiq yang berhak menerima zakat.
[1]Wahbah al-Zuhailī, Al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh, Juz. III, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyah, t.t), h. 1811.
[2]Jalāluddīn al-Mahallī, Kanz al-Rāghibīn; Syarh Minhāj al-Thālibīn, Juz. II, (Beirut, Darul Fikr: 1995), h. 54
[3]Syamsuddin Muhammad al-Ramli, Nihāyah al-Muhtāj Ilā Syarh al-Minhāj, Jld. III, (Beirut: Dar al-Fikri, 1984), h. 137
[4]Jalāluddīn al-Mahallī, Kanz al-Rāghibīn; Syarh Minhāj al-Thālibīn, Juz. II, (Beirut, Darul Fikr: 1995), h. 54
[5]Jalāluddīn al-Mahallī, Kanz al-Rāghibīn…, h. 55.
[6]Syamsuddin Muhammad al-Ramli, Nihāyah al-Muhtāj Ilā Syarh al-Minhāj…, h. 138.
[7]Jalāluddīn al-Mahallī, Kanz al-Rāghibīn…, h. 55.
[8]Syamsuddin Muhammad al-Ramli, Nihāyah al-Muhtāj Ilā Syarh al-Minhāj, Jld. III, (Beirut: Dar al-Fikri, 1984), h. 139
[9]Ibnu Qudamah, Al-Mughni asy-Syarhi al-Kabir, (Beirut, Darul Fikr: 1405), juz II, h. 502.
[10]Wahbah al-Zuhailī, Al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh, Juz. III, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyah, t.t), h. 1811.
[11]Ahmad ibn Hajar al-Haitamī, Tuhfah al-Muhtāj fī Syarh al-Minhāj, Jld. III, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2009), h. 351.
[12]Muhammad bin Ahmad al-Khatīb al-Syarbainī, Mughnī al-Muhtᾱj ilā ma’rifah ma’ānī alfāz al-Minhāj, Jld. II, (Beirut: Dar al-Kutub al-Islamiyah, 1994), h.132.
[13]Wahbah al-Zuhailī, Al-Fiqh al-Islām wa Adillatuh…, h. 1811.
[14]Ahmad ibn Hajar al-Haitamī, Tuhfah al-Muhtāj fī Syarh al-Minhāj, Jld. III, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2009), h. 242.
[15]Yahya ibn Syaraf al-Nawawī al-Damasyqī, Al-Majmū’ Syarh al-Muhazzab, (Kairo: Dār al-Hadith, 2010), h.425.
[16]Imam al-Nawawi, al-Majmū’ Syarh al-Muhadzab, Juz. VI, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyyah, 2017), h. 135.
[17]Wahbah Al-Zuhailī, al-Fiqh al-Islāmi wa Adillatuhu, Jld. IV, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyah, t.t), h. 242
[18]Hasan ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Salim al-Kaf, Al-Taqrīrāt al-Sadīdāt fi Masā`il al-Mufīdah: Qism al-'Ibādah, (Riyāḍ: Dār al-‘Ilm wa al-Da’wah, 2003), h. 420.
[19]Zainuddīn al-Malibarī, Fath al-Mu’īn bi Muhimmah al-dīn, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), h. 198.
[20]Al-Said Abu Bakr al-Dimyatī, Hāsyiyyah I’ānah al-Thālibīn, Jld.IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-Ilmiyah, 2004), h. 32.
[21]Hasan ibn Ahmad ibn Muhammad ibn Salim al-Kaf, Al-Taqrīrāt al-Sadīdāt fi Masā`il al-Mufīdah: Qism al-'Ibādah, (Riyāḍ: Dār al-‘Ilm wa al-Da’wah, 2003), h. 420.
[22]Ahmad ibn Hajar al-Haitamī, Tuhfah al-Muhtāj fī Syarh al-Minhāj, Jld. VII, (Beirut: Dar Al-Fikr, 2009), h. 173.
0 Response to "Ketentuan Membayar Zakat Dalam Fiqih (Syarat Sah Zakat dan Hukum Membayar Zakat ke Kampung Halaman) // Kitabkuning90"
Posting Komentar