Status Harta Bersama Suami Istri (Gonogini) Menurut Tinjauan Fiqh [Kitabkuning90]
![]() |
Harta Bersama Suami Istri (Gonogini) |
Deskripsi
Dalam kajian hukum Islam sering terdengan isu-isu yang diungkapkan oleh pemikir Islam yang keilmuannya hanya sebatas dari buku (tidak paham kitab-kitab mu'tabarah), bahwa dalam Islam tidak membahas harta gono-gini atau harta bersama suami istri. Padahal sebagai agama yang sempurna, Islam tidak mungkin tidak membahasnya.
A. Harta Pribadi Suami Istri Dalam Keluarga
Mengenai wujud harta pribadi itu sejalan dengan apa yang telah dijelaskan dalam Pasal 35 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan. Ketentuan ini sepanjang suami-istri tidak menentukan lain dalam perjanjian perkawinan sebelum akad nikah dilaksanakan.[5] Adapun harta yang menjadi milik pribadi suami atau istri adalah:
1. Harta bawaan, yaitu harta yang sudah ada sebelum perkawinan mereka laksanakan,
2. Harta yang diperoleh masing-masing selama perkawinan, tetapi terbatas pada perolehan yang berbentuk hadiah, hibah dan warisan. Di luar jenis ini semua harta langsung masuk menjadi harta bersama dalam perkawinan. [6]
a. Hadiah
Hadiah hampir sama dengan pemberian atas nama hibah dan shadaqah. Perbedaannya adalah bila pemberian tersebut diniatkan untuk mengharap pahala dinamakan shadaqah, bila diniatkan untuk memuliakan sipenerima, maka disebut hadiah, dan bila tiada niat tersebut maka itulah yang disebut hibbah. Sebagaimana yang diterangkan oleh Imam Al-Nawawi berikut:
التمليك بلا عوض هبة فإن ملك محتاجا لثواب الآخرة فصدقة فإن نقله إلى مكان الموهوب له إكراما له فهدية[7]
Artinya: “Kepemilikan tanpa disertai mengharap balasan/ganti adalah Hibbah, jika kepemilikan semata-mata mengharap pahala akhirat maka itu shadaqah, dan jika diberikan kepada sipenerima untuk memuliakannya maka disebut Hadiah”.
b. Hibah
Hibbah menurut kacamata Hukum Islam adalah memberikan sesuatu yang langsung dapat dimiliki, pada masa hidup dan dimutlakkan dalam bendanya serta tanpa mengharap balasan/ganti. Pengertian ini sejalan dengan pengertian yang dikemukakan oleh para ulama fiqh, diantaranya pandangan Al-Ghazi berikut:
وهي في الشرع تمليك منجز مطلق في عين حال الحياة بلا عوض ولو من الأعلى[10]
Artinya: “Menurut syara’ hibbah adalah memberikan sesuatu yang dilestarikan dan dimutlakkan dalam bendanya pada keadaan ketika masih hidup tanpa ada ganti, meskipun dari jenjang atas”.
Hibbah bersifat sukarela yang dalam fiqih Islam diistilahkan dengan tabarru’. Pengertian di atas secara istilah, terdapat pengertian tanpa imbalan dan diberikan selagi masih hidup si pemberi hibbah. Hibbah sifatnya sepihak yaitu penyerahan barang dari seseorang kepada orang lain tanpa adanya kembali penyerahan dari pihak kedua.
c. Warisan
Warisan berasal dari kata al-irṡ dalam bahasa Arab adalah bentuk mashdar dari kata wariṡa, yariṡu, irṡan. Bentuk masdarnya bebrupa kata irṡan, wirṡan, turāṡan, dan wirāṡatan. Kata-kata itu berasal dari kata wariṡa yang memiliki arti perpindahan kepemilikan harta peninggalan, atau perpindahan pusaka.[11]
Hukum kewarisan dalam Islam merupakan hukum sakral yang dijabarkan sendiri oleh Allah SWT dalam al-Qur’an al-Karim surat An-Nisa’ ayat 11 yang berbunyi:
“Allah SWT men-syari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak anakmu. Yaitu : bagian seorang anak lelaki sama dengan bagaian dua orang anak perempuan, dan jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, Maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan; jika anak perempuan itu seorang saja, Maka ia memperoleh separo harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak; jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga; jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian- pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak- anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana. (QS. An-Nisa’ [4]: 11).[15]
B. Harta Bersama Suami Istri Dalam Keluarga
Suatu hal yang mustahil, jika agama Islam (fikih) tidak mengatur tentang harta bersama suami istri dalam keluarga, karena hal-hal lain yang kecil-kecil saja diatur secara rinci dalam fikih dan ditentukan kadar hukumnya. Jika tidak disebutkan dalam Al-Qur’an, maka ketentuan itu diatur dalam hadis yang juga merupakan salah satu sumber hukum Islam juga.
Dalam hukum Islam, kendatipun harta bersama suami istri tidak disebutkan secara gamblang dalam kitab-kitab fiqih, namun adanya konsep harta bersama sebenarnya tersirat dari beberapa redaksi kitab fikih ulama klasik, diantaranya:
(وعليه) أي الزوج لزوجته (تمليكها) الطعام (حبا) سليما (وكذا) على الزوج أيضا (طحنه) وعجنه (وخبزه في الأصح) أي عليه مؤنة ذلك ببدل مال أو يتولاه بنفسه أو بغيره[16]
Artinya: “Wajib terhadap suami untuk istrinya menyerahkan makanan beras yang bagus. (Demikian juga) sang suami juga harus menggiling, menguleni, dan memasaknya menurut pendapat yang kuat, yaitu ia wajib membayar biaya tersebut dengan harta, atau ia mengurusnya sendiri atau orang lain.
Berdasarkan penjelasan tersebut, tampak bahwa tugas rumah tangga, memasak, menguleni dan menggiling makanan merupakan kewajiban suami, bila tugas tersebut dilakukan oleh orang lain (termasuk istri), maka suami wajib membayar biayanya. Hal ini mengisyarahkan bahwa tugas rumah tangga yang dikerjakan oleh istri di rumah merupakan pekerjaan yang wajib dilakukan oleh suami disamping bekerja mencari nafakah, oleh karena itu pekerjaan istri di rumah juga termasuk kerja sama membantu pekerjaan suami.
Atas dasar pertimbangan inilah Islam juga mengakui adanya konsep harta bersama antara suami istri. Sehingga sebagian ulama berpendapat bahwa harta peninggalan seorang suami ada baiknya dibagi terlebih dahulu dengan istri sebelum dibagi sebagai warisan, karena dalam harta tersebut ada hak istri yang statusnya sebagai harta bersama.
Footnote:
[5]Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35 ayat (2) tentang Perkawinan.
[6]Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 1 Tahun 1974 Pasal 35 tentang Perkawinan.
[7]Abu Zakaria Yahya ibn Syarf Al-Nawawi, Minhaj Al-Thalibin, (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) hal.171
[10]Muhammad ibn Qasim al-Ghazzi, Fath al-Qarib al-Mujib, (Semarang: Pustaka Alawiyah, t.th), hal. 39.
[15]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya…, hal.79.
[16]Muhammad Ibnu Ahmad Al-Khathib Al-Syarbini, Mughni Al-Muhtaj ila Ma’rifah Ma’ani Alfadz Al-Minhaj, Jld. V, (Beirut: Dar Al-Kutub Al-Ilmiyah, 1994), hal. 153.
Sekian...!!!
0 Response to "Status Harta Bersama Suami Istri (Gonogini) Menurut Tinjauan Fiqh [Kitabkuning90]"
Posting Komentar