Hak Waris Anak dalam Kandungan Berdasarkan Tafsir Surat An-Nisa’ ayat 11 || Kitabkuning90
![]() |
Tafsir Al-Qur'an Surat An-Nisa' ayat 11 |
Ketentuan Hak Waris Anak dalam Kandungan Menurut Tafsir Surat An-Nisa’ ayat 11
A. Asbāb Al-Nuzūl Surat An-Nisa’ ayat 11 Tentang Hak Waris Anak
Terkait dengan konsep hak-hak warisan bagi anak telah secara jelas ditetapkan Allah SWT dalam firman-Nya pada surat An-Nisa’ ayat 11 sebagai berikut:
“Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Yaitu: bahagian seorang anak lelaki sama dengan bagahian dua orang anak perempuan. Jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan, jika anak perempuan itu seorang saja, maka ia memperoleh separuh harta. dan untuk dua orang ibu-bapa, bagi masing-masingnya seperenam dari harta yang ditinggalkan, jika yang meninggal itu mempunyai anak, jika orang yang meninggal tidak mempunyai anak dan ia diwarisi oleh ibu-bapanya (saja), Maka ibunya mendapat sepertiga, jika yang meninggal itu mempunyai beberapa saudara, Maka ibunya mendapat seperenam. (Pembagian-pembagian tersebut di atas) sesudah dipenuhi wasiat yang ia buat atau (dan) sesudah dibayar hutangnya. (Tentang) orang tuamu dan anak-anakmu, kamu tidak mengetahui siapa di antara mereka yang lebih dekat (banyak) manfaatnya bagimu. ini adalah ketetapan dari Allah. Sesungguhnya Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. An-Nisa` [4]: 11). [1]
Syaikh Wahbah al-Zuhailī menjelaskan setidaknya terdapat dua riwayat hadis yang menjelaskan tentang asbāb al-nuzūl dari ayat ini. Pertama, ayat ini turun berkaitan dengan harta warisan Jabir bin Abdillah ra sebagai berikut:
أخرج الأئمة الستة عن جابر بن عبد الله قال: عادني رسول الله صلى الله عليه وسلم وأبو بكر في بني سلمة ماشيين، فوجدني النبي صلى الله عليه وسلم لا أعقل شيئا، فدعا بماء فتوضأ، ثم رش علي، فأفقت، فقلت: ما تأمرني أن أصنع في مالي، فنزلت: يوصيكم الله في أولادكم. [2]
Artinya, “Imam hadis yang enam meriwayatkan hadis dari Jabir ra, ia berkata: Nabi SAW dan Abu Bakar ra menjengukku di kampung bani Salamah dengan berjalan kaki, lalu Nabi SAW menemuiku dalam kondisi tidak sadarkan diri. Lalu ia meminta diambilkan air, berwudhu, memercikkan air kepadaku, kemudian aku sembuh. Akupun kemudian berkata kepadanya: “Apa yang Anda perintahkan untuk aku lalukan pada harta warisanku wahai Rasulullah?”. Kemudian turunlah ayat: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu”.
Riwayat ini menjelaskan bahwa yang melatarbelakangi turunnya surat An-Nisa’ ayat 11 adalah pertanyaan dari Jabir ibn Abdillah yang merasa cemas dalam pembagian harta warisan sehingga dirinya jatuh pingsan dan tak sadarkan diri, ketika Nabi dan Abu Bakar datang menjenguknya lantas Allah Swt berfirman memberi penjelasan tentang konsep hak-hak warisan yang didapat oleh setiap ahli waris.
Kedua, ayat di atas turun berkaitan dengan harta warisan Sa’d bin al-Rabi’ ra yang meninggalkan ahli waris dua orang anak, seorang saudara laki-laki dan seorang istri yang dijelaskan dalam hadis riwayat Jabir sebagai berikut:
وأخرج أحمد وأبو داود والترمذي والحاكم عن جابر قال: جاءت امرأة سعد بن الربيع إلى رسول الله صلى الله عليه وسلم، فقالت: يا رسول الله، هاتان ابنتا سعد بن الربيع، قتل أبوهما معك في أحد شهيدا، وإن عمهما أخذ مالهما، فلم يدع لهما مالا، ولا تنكحان إلا ولهما مال، فقال: يقضي الله في ذلك، فنزلت آية الميراث: يوصيكم الله في أولادكم فأرسل رسول الله صلى الله عليه وسلم إلى عمهما فقال: «أعط بنتي سعد الثلثين، وأمهما الثمن، وما بقي فهو لك».[3]
Artinya, “Imam Ahmad, Abi Daud, Imam al-Tirmidzi dan Hakim dari riwayat Jabir bin Abdillah ra, Ia berkata: Telah datang seorang perempuan dengan dua anaknya, lalu berkata: Wahai Rasulullah, ini dua anak Tsabit bin Qais, atau ia berkata: ‘ini dua anak Sa’d bin al-Rabi’, yang mati bersamamu saat perang Uhud, sementara pamannya telah merampas harta dan warisan mereka, lalu tidak meninggalkan harta sedikitpun bagi mereka kecuali diambilnya; maka bagaimana menurutmu wahai Rasulullah?. Maka demi Allah mereka tidak akan dinikahi selamanya kecuali mereka punya harta. Lalu Rasulullah SAW bersabda: Allah akan memutuskan urusan itu. Lalu turunlah ayat tentang warisan: Allah mensyari'atkan bagimu tentang (pembagian pusaka untuk) anak-anakmu. Kemudian Rasulullah Saw bersabda kepadaku: Panggilkan kepadaku perempuan itu dan temannya. Lalu Rasulullah Saw bersabda kepada paman dua anak perempuan itu: Berilah mereka berdua dua pertiga, berilah ibunya sepertiga, dan sisinya maka untukmu”.
Riwayat ini menjelaskan bahwa asbāb al-nuzūl yang melatarbelakangi turunnya surat An-Nisa’ ayat 11 adalah tentang hak warisan isri dan kedua anak Sa’d bin al-Rabi’ yang dirampas oleh saudara laki-lakinya, sehingga masalah ini diadukan kepada Rasulullah Saw dan turunlah surat An-Nisa’ ayat 11 sebagai penjelasan terkait hak warisan tiap-tiap ahli waris tersebut. Berdasarkan dua riwayat hadis ini, Syaikh Wahbah al-Zuhailī menegaskan bahwa ayat ini turun berkaitan dengan kedua kisah di atas, dan kemungkinan, awal ayat ini turun berkenaan dengan kisah dua putri Sa'd bin Jabir, sedangkan bagian akhir ayat, turun berkenaan dengan kisah Jabir bin Abdullah di atas yang menjelaskan tentang al-kalālah. [4]
Surat An-Nisa ayat 11 turun sebagai penjelas ayat sebelumnya yang masih bersifat umum (mujmal), yaitu ayat 7 yang secara umum menunjukkan bahwa laki-laki dan perempuan sama-sama mempunyai bagian waris. Kemudian ayat 11 mulai menjelaskan detail masing-masing bagian waris mereka.
B. Ketentuan Hak Waris Anak Menurut Tafsir Surat An-Nisa’ ayat 11
Diawal ayat 11 surat An-Nisa’, Allah Swt menjelaskan bahwa Dia memerintahkan dan mewajibkan atas kalian tentang hak waris anak-anak kalian dari harta pusaka yang kalian tinggalkan dengan berdasarkan kaidah bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Maksudnya adalah bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan, sebagaimana keterangan berikut:
إذا مات الميت، وترك ذكورا وإناثا، فللذكر ضعف الأنثى لأن الرجل مطالب بالنفقة وبالعمل والتكسب وتحمل المشاق ودفع مهر زوجته، ولا تطالب المرأة بالإنفاق على أحد، سواء أكانت بنتا أم أختا أم أما أم زوجة أم عمة أم خالة، وإنما بعد الكبر أو البلوغ تنفق على نفسها إن لم تكن زوجة.[16]
Artinya: “Apabila ada seseorang meninggal dunia dengan meninggalkan beberapa anak laki-laki dan beberapa anak perempuan, maka bagian anak laki-laki sama dengan bagian dua anak perempuan. Karena laki-laki memiliki kewajiban memberi nafkah, bekerja, menanggung berbagai tanggungan yang berat dan membayar mahar. Sedangkan perempuan sama sekali tidak dibebani kewajiban memberi nafkah kepada siapa pun, baik ia sebagai anak perempuan, saudara perempuan, ibu, istri atau bibi. Perempuan hanya menafkahi dirinya sendiri setelah ia besar atau sudah baligh jika memang ia belum bersuami”.
Namun apabila yang ditinggalkan hanya para ahli waris perempuan, baik anak-anak perempuan atau para saudara perempuan lebih dari dua, maka bagi keduanya mendapatkan bagian dua pertiga dari harta pusaka yang ditinggalkan. Namun, jika ahli waris perempuan yang ada hanya satu saja dan tidak ada ahli waris laki-laki yang menyebabkannya mendapatkan bagian ‘aṣābah, maka ia mendapatkan setengah. Terjadi perbedaan pendapat seputar bagian dua anak perempuan jika tidak ada saudara laki-laki:
فقال ابن عباس: حكمهما كالبنت الواحدة، لهما النصف، لظاهر الآية: فإن كن نساء فوق اثنتين، فلهن ثلثا ما ترك. وقال الجمهور: البنتان كالأختين لهما الثلثان، قياسا لهما على الأختين اللتين قال الله فيهما: فإن كانتا اثنتين فلهما الثلثان مما ترك،[17]
Artinya: “Ibnu Abbas r.a mengatakan bahwa hukumnya sama dengan satu anak perempuan, yaitu mendapatkan bagian setengah, karena berdasarkan żahir ayat; “Jika anak itu semuanya perempuan lebih dari dua, maka bagi mereka dua pertiga dari harta yang ditinggalkan”. Sedangkan mayoritas ulama berpendapat bahwa hukumnya seperti dua saudara perempuan, yaitu mendapatkan bagian dua pertiga dengan meng-qiyas-kannya dengan bagian dua saudara perempuan, yaitu dua pertiga yang dijelaskan di dalam ayat; “jika saudara perempuan itu dua orang, maka bagi keduanya dua pertiga dari harta yang ditinggalkan oleh yang meninggal”.
Intinya adalah dalam konsep hak warisan bagi anak dapat diklasifkasikan kepada beberap kondisi sebagai berikut:
1. Jika pada ahli waris yang ditinggalkan terdapat seorang anak laki-laki dan anak-anak perempuan, maka bagian satu laki-laki adalah dua kali lipat bagian satu perempuan atau dengan kata lain sama dengan bagian dua perempuan.
2. Apabila anaknya hanya satu perempuan saja, maka ia mendapatkan bagian setengah, namun jika dua perempuan atau lebih, maka mereka mendapatkan bagian dua pertiga menurut pendapat mayoritas ulama.
3. Jika anaknya hanya satu anak laki-laki, maka ia mendapatkan seluruh harta pusaka yang ada. Namun jika anaknya adalah laki-laki lebih dari satu, maka harta pusaka yang ada dibagi sama antara mereka.
C. Kedudukan Hak Waris Anak dalam Kandungan Menurut Mufassir
Status seseorang sebagai ahli waris hanya timbul, apabila ada hubungan kewarisan, dan hubungan kewarisan hanya timbul karena adanya hubungan darah atau nasab, dan hubungan perkawinan, begitupun status hak waris anak dalam kandungan. Secara umum Syaikh Wahbah al-Zuhailī menegaskan bahwa anak dalam kandungan memiliki hak waris yang dipahami melalui keumuman kata “aulādikum” dalam surat An-Nisa’ ayat 11 sebagai berikut:
لما قال تعالى: في ”أولادكم “ يتناول كل ولد كان موجودا أو جنينا في بطن أمه،[18]
Artinya: “Manakala Allah befirman: “terhadap anak-anak kalian”, maka mencakup semua anak, baik itu yang sudah ada atau yang masih berupa janin dalam kandungan ibunya”.
Namun, dalam menetapkan status hak waris anak dalam kandungan masih perlu meninjau beberapa syaratnya, karena dengan dukungan teknologi yang modern di zaman era digital sekarang ini, kehamilan dapat dihasilkan dengan bermacam-macam cara, selain dengan hubungan suami istri, kehamilan juga dapat diperoleh dengan cara bayi tabung yang berdampak pada status kedudukan nasabnya dengan ayah biologis selaku pewaris. Oleh karena itu, dalam meneliti kedudukan hak waris anak dalam kandungan, penulis membagi kepada tiga sub, yaitu: tinjauan nasab anak dalam kandungan dengan pewaris, tinjauan wujud anak dalam kandungan saat meninggal pewaris, dan cara penyelesaian hak waris anak dalam kandungan.
1. Tinjauan nasab anak dalam kandungan dengan pewaris
Status hak waris anak dalam kandungan ditentukan dengan status nasab anak tesebut dengan pewarisnya, bila anak tersebut merupakan anak hasil dari hubungan suami isti dalam nikah yang sah, maka sudah tentu terjalin hubungan nasab dan berhak menerima warisan dari orang tuanya, namun bila anak tersebut merupakan anak hasil dari hubungan perzinaan, maka sudah tentu terputus nasab dan tidak mempunyai hak kewarisan dengan orang tuanya.
Namun para ulama berselisih pendapat dalam menetapkan hukum nasab anak hasil bayi tabung dengan menggunakan rahim wanita lain yang tidak halal. Sebagaian ulama berpendapat tetap dianggap bersambung nasab dengan ayah sang pemilik benih sperma, dan sebagian ulama berpendapat tidak bersambung nasab dengan ayahnya biologisnya. Penyebab terjadinaya perbedaan pendapat para ulama tersebut karena berbeda dalam memahami kata nikah dalam surat An-Nisa’ ayat 22-23. Sebagaian ulama mengartikan “terhubung nasab melalui nikah” dengan arti persetubuhan/ penanaman benih sperma dan sebagian ulama mengartikan akad. Sebagaimana penjelasan Wahbah al-Zuhailī berikut:
وسبب الخلاف: الاشتراك في لفظ النكاح، فهو يطلق على الوطء وعلى العقد، فمن قال: إن المراد به في الآية الوطء، حرم من وطئت ولو بزنا[19]
Artinya: “Sebab terjadinya khilaf adalah makna ganda pada lafadz nikah, karena lafadz nikah dapat digunakan pada makna persetubuhan dan dapat digunakan juga pada makna akad, Ulama yang berpendapat maksud dari nikah dalam ayat tersebut bermakna bersetubuhan, maka terjalinlah hubungan mahram dengan siapa saja yang di setubuhinya, walaupun dengan cara zina”.
Tampak bahwa metode istidlāl sebagian ulama dalam memahami hukum status nasab anak adalah melalui pemaknaan lafadz nikah yang dimaknai dengan persetubuhan atau penanaman benih sperma, sehingga ketentuan sebutnya mahram dan nasab adalah dengan terjadinya persetubuhan atau penanaman benih sperma tersebut. Maka siapa saja yang telah terjalin hubungan intim atau penanaman benih sperma, walaupun dengan cara terlarang, maka anak hasil dari perbuatan tersebut akan tetap terhubung nasab dengan kedua orang tuanya. Syekh Wahbah Al-Zuhailī juga menjelaskan sisi pandang ulama mazhab Hanafi yang menguatkan pendapat tersebut dalam uraian beliau berikut:
أن الراجح أن يكون المراد بالنكاح في الآية الوطء لأن النكاح حقيقة في الوطء مجاز في العقد، والحمل على الحقيقة أولى، وإذا كان المراد به الوطء، فلا فرق بين الوطء الحلال والوطء الحرام. [20]
Artinya: “Sesungguhnya pendapat yang kuat bahwa maksud dari lafadz nikah dalam ayat tersebut adalah persetubuhan, karena nikah pada hakikat adalah persetubuhan dan secara majaz bermakna akad, sehingga mengartikan sebuah lafadz dengan makna hakikatnya tentu lebih utama. Disaat itu bila lafadz nikah diartikan dengan persetubuhan, maka tentu tidak ada perbedaan hukum nasab antara terjadi melalui cara yang halal atau dengan cara yang haram”.
Berdasarkan penjelasan tersebut maka dapat dipahami bahwa menurut ulama mazhab Hanafi terkait status nasab anak yang hasil dengancara terlarang tetap terhubung nasabnya dengan ayah biologis, karena memandang ketentuan untuk dapat dihubungkan status nasab hanyalah meninjau pada terjadinya persetubuhan atau penanaman benih sperma, sebagaimana penegasan berikut:
فعلمنا أن وجود الوطء علة لإيجاب التحريم، فكيفما وجد ينبغي أن يحرم، سواء كان مباحا أو محظورا[21]
Artinya: “Kami telah meyakini bahwa adanya perbuatan memasukkan benih sperma merupakan alasan dalam ketetapan hubungan mahram, kapan saja terjadi tindakan penanaman benih sperma, maka patutlah di ketika itu dihukumkan mahram. Baik itu dengan cara yang dibolehkan atau dengan cara yang terlarang”.
Para ulama Hanafiyah yang berpendapat bahwa anak yang hasil dengan cara terlarang (dalam hal ini adalah anak hasil bayi tabung dari rahim wanita yang tidak halal) tetap bersambung nasab dengan ayah biologisnya. Berdasarkan pendapat ini maka tindakan menanamkan benih sperma seorang laki-laki ke dalam rahim perempuan dapat menyebabkan terhubungnya nasab anak yang terlahir dari perbuatan tersebut dengan ayah biologisnya, sekalipun tindakan tersebut dilakukan dengan secara terlarang, karena tinjauan dalam terjalinnya hubungan mahram menurut ulama Hanafiyah ini adalah meninjau siapa pemilik benih sperma yang masuk ke dalam rahim.
Namun berbeda dengan pandangan ulama mazhab Syafi’i yang menegaskan bahwa hubungan darah antara anak hasil dari cara yang terlarang terputus hubungan dengan ayah biologisnya, baik itu terkait hukum nasab, hukum kewarisan ataupun nafakah, sebagaimana yang dijelaskan Imam al-Ramli berikut:
دليلنا: أنها منفية عنه قطعا، بدليل: أنه لا يثبت بينهما التوارث ولا حكم من أحكام الولادة،[22]
Artinya: “Dalil kami tentang hubungan darah antara anak terlarang dan ayah biologisnya terputus seutuhnya dengan dalil tidak berlaku antara keduanya hukum waris dan tidak berlaku hukum-hukum kelahiran”.
Imam Fakhruddin al-Razi salah seorang pakar tafsir dari mazhab Syᾱfi‘ȋ mengomentari pandangan ulama mazhab Hanafi yang memahami secara umum akan potongan surat An-Nisa ayat 23:
وذلك لأن هذه الآية مختصة بالمنكوحة لدليلين: الأول: أن هذه الآية إنما تناولت امرأة كانت من نسائه قبل دخوله بها والمزني بها ليست كذلك،[23]
Artinya: “Alasan terputusnya hubungan nasab dan kewarisan demikian dikarenakan ayat ini terkhusus pada wanita yang sudah menikah, karena berdasarkan dua dalil: yang pertama bahwa sungguh ayat ini hanya mencakup kepada perempuan yang merupakan isterinya, sebelum terjadi hubungan badan dengannya. Sedangkan wanita yang dizinahi tidak demikian, maka wanita yang dizinahi tidak termasuk dalam ayat ini”.
Penjelasan ini memberi gambaran bahwa mafhum surat An-Nisa ayat 23 hanya dapat dipahami secara khusus, yaitu perempuan yang didukhul/disenggama dalam nikah yang sah, maka tidak termasuk perempuan yang disenggama dalam perzinaan atau hamil karena penanaman benih sperma dengan cara yang tidak halal, sehingga tidak berlaku hubungan maharam. Dalam hal kewarisan bagi anak dalam kandungan, kiranya sudah jelas berdasarkan penjelasan di atas bahwa bila anak tersebut merupakan anak hasil dari pernikahan yang sah atau dengan cara yang halal, seperti wata’ syubhat atau bayi tabung dengan rahim istri, maka anak tersebut berhak mendapat warisan dari ayahnya. Namun bila anak tersebut merupakan anak hasil perzinaan atau dengan cara yang haram, seperti bayi tabung dengan rahim wanita yang tidak halal, maka anak tersebut terputus hubungan nasab dengan ayahnya dan tidak mendapat hak warisan.
Disamping itu, dalam tinjauan status nasab anak dalam kandungan perlu juga memperhatikan usia kandungan. Batas waktu minimal terbentuknya janin dalam keadaan hidup berhubungan erat dengan status nasab anak tersebut dengan orang tuanya (ayah). Karena hubungan nasab anak tersebut adalah melalui pernikahan kedua orang tuanya, maka dalam menentukan terbentuknya janin dalam pernikahan yang sah, dapat diketahui dari jarak seorang anak lahir setelah terjadinya akad perkawinan. Dalam hal ini para ulama sepakat bahwa waktu batas waktu sekurang-kurangnya seorang wanita mengandung sampai dengan melahirkan adalah 6 (enam) bulan. Sebagaimana yang dijelaskan oleh Wahbah al-Zuhailī berdasarkan tafsir surat Al-Baqarah ayat 233:
واستنبط العلماء من هذه الآية ومن قوله تعالى: وحمله وفصاله ثلاثون شهرا أقل مدة الحمل، فإنه إذا أسقطت مدة الرضاع من ثلاثين شهرا، يكون الباقي ستة أشهر، وهي أقل المدة[24]
Artinya: “Para ulama meng-istinbat masa sekurang-kurang hamil berdasarkan ayat tersebut dan berdasarkan firman Allah Swt: “masa hamil dan sapih persusuannya adalah 30 bulan”. Bila masa menyusui mengurangi dari masa 30 bulan, maka sisanya adalah enam bulan, dan itu itu adalah sekurang-kurang hamil masa”.
Bila anak dalam kandungan terlahir di bawah masa enam bulan setelah pernikahan, maka dapat dipastikan bahwa anak tersebut adalah anak di luar nikah dan statusnya terputus hubungan nasab dengan sang ayah dan tidak berhak mendapat warisan.
2. Tinjauan wujud anak dalam kandungan saat meninggal pewaris
Disamping meninjau status nasab anak dengan pewaris, perlu juga ditinjau kepastian status wujudnya anak tersebut pada saat pewaris meninggal. Dalam hal ini, diperlukan dua syarat agar anak dalam kandungan mempunyai hak kewarisan dengan pewaris, yaitu:
a) Bayi telah wujud (ada) pada saat pewaris meninggal dunia.
b) Bayi tersebut harus dilahirkan dalam keadaan hidup.
Keterangan ini penulis pahami melalui penjelasan Wahbah al-Zuhailī dalam kitab Tafsīr al-Munīr sebagai berikut:
إذا مات الرجل وترك زوجته حبلى. فإن خرج ميتا لم يرث، وإن خرج حيا يرث ويورث.[25]
Artinya: “Apabila mati seorang laki-laki dan meninggalkan seorang istri yang sedang hamil, jika anak dalam kandungan tersebut terlahir dalam keadaan mati, maka dia tidak mendapat hak waris dan jika anak tersebut terlahir dalam keadaan hidup, maka dia mendapat hak waris dan mewarisi harta”.
Penjelasan ini kiranya tegas menyatakan bahwa anak dalam kandungan mempunyai hak waris, namun hak tersebut baru dapat dipastikan Apabila anak itu terlahir dalam keadaan hidup. Hal ini dipahami oleh Wabah Ali Zuhailī berdasarkan keumuman kata “aulādikum” dalam surat an-Nisa ayat 11:
لما قال تعالى: في ”أولادكم “ يتناول كل ولد كان موجودا أو جنينا في بطن أمه،[26]
Artinya: “Manakala Allah befirman: “terhadap anak-anak kalian”, maka mencakup semua anak, baik itu yang sudah ada atau yang masih berupa janin dalam kandungan ibunya”.
Penjelasan ini juga didukung oleh Imam Al-Qurṭūbī yang mengutip pendapat Qāḍī Ismā‘īl menjelaskan bahwa berdasarkan ayat ‘iddah, status anak berhak menerima warisan, baik anak tersebut masih dalam bentuk janin, sudah terlahir atau masih dalam kandungan. Berikut kutipannya:
قال الله تعالى:" وأولات الأحمال أجلهن أن يضعن حملهن". قال القاضي إسماعيل: والدليل على ذلك أنه يرث أباه، فدل على وجوده خلقا وكونه ولدا وحملا.[27]
Artinya: “Allah SWT berfirman: “Dan bagi wanita hamil, masa ‘iddah mereka adalah sampai terlahir kehamilannya”. Qāḍī Ismā‘īl berpendapat dalil yang menunjukkan hal demikian bahwa anak dalam kandungan tersebut mewarisi harta ayahnya, maka ayat tersebut menunjukkan kepada wujud anak dalam kandungan, baik dalam bentuk segumpal daging, sudah terlahir berupa anak, atau masih dalam kandungan”.
Keterangan Wahbah Al-Zuhailī di atas juga senada dengan pendapat Imam Al-Qurṭūbī yang menjelaskan lebih rinci terkait batasan seorang anak yang dapat digolongkan terlahir dalam keadaan hidup. Berikut penjelasan beliau:
وروى أبو داود عن أبي هريرة رضي الله عنه عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:" إذا استهل المولود ورث". الاستهلال: رفع الصوت، فكل مولود كان ذلك منه أو حركة أو عطاس أو تنفس فإنه يورث لوجود ما فيه من دلالة الحياة. وإلى هذا ذهب سفيان الثوري والأوزاعي والشافعي. قال الخطابي: وأحسنه قول أصحاب الرأي. وقال مالك: لا ميراث له وإن تحرك أو عطس ما لم يستهل صارخا[28]
Artinya: “Abu Daud meriwayatkan sebuah hadis dari Abu Hurairah Ra dari Nabi SAW beliau bersabda: “apabila menjeritlah anak yang baru lahir, maka dia mempunyai hak warisan. Istihlāl adalah meninggikan suara, maka setiap anak yang terlahir dalam keadaan demikian atau bergerak atau bersin atau bernafas, maka anak itu mempunyai hak warisan, karena terdapat tanda-tanda padanya yang menunjukkan kehidupan. Kemudian pendapat ini juga didukung oleh Imam Sufyān al-Ṡaurī, al-Auzā‘ī dan Imam Syāfi‘ī. Namun Al-Khaṭābī berpendapat yang paling bagus adalah pendapat aṣḥāb al-ra'yi, sedangkan Imam Malik berpendapat anak yang baru lahir tidak memiliki hak waris baginya sekalipun sudah bergerak atau bersin, selama dia tidak menjerit berteriak”.
Para ulama juga berbeda pendapat dalam menetapkan status anak dalam kandungan yang dihitung sudah wujud dan terikat dengan hukum syariat, sebagaimana penjelasan Wahbah Al-Zuhailī berikut:
ولا يتعلق بها حكم إذا ألقتها المرأة إذا لم تجتمع في الرحم، كما لو كانت في صلب الرجل، فإذا طرحته علقة، فقد تحققنا أن النطفة قد استقرت واجتمعت واستحالت إلى أول أحوال وجود الولد، فيكون وضع العلقة فما فوقها من المضغة وضع حمل[29]
Artinya: “Janin tidak dikaitkan dengan hukum syariat, diketika janin itu gugur dari seorang wanita, dan belum terkumpul di dalam rahim, sebagaimana saat berada pada tulang sulbi laki-laki. Jika rahim mengeluarkan gumpalan darah, maka dapat kita pastikan bahwa mani tersebut telah menetap dan berkumpul dan berubah menjadi keadaan pertama bagi keberadaan anak tersebut, maka kedudukan gumpalan darah dan gumpalan daging sesudahnya adalah merupakan kedudukan kehamilan”.
Keberadaan anak dalam kandungan belum dapat dipastikan bila janin tersebut masih berupa segumpal mani yang masuk ke dalam rahim, oleh karena itu status janin dalam kandungan belum dapat dikaitkan dengan hukum bila masih berupa segumpal mani, bahkan Ibnu Arabi menegaskan:
وقال ابن العربي: ولا يرتبط به شيء من الأحكام، إلا أن يكون مخلقا لقوله تعالى: فإنا خلقناكم من تراب ثم من نطفة، ثم من علقة، ثم من مضغة مخلقة، وغير مخلقة[30]
Artinya: “Ibnu ‘Arabi berkata: janin tidak dapat dikaitkan dengan hukum apapun kecuali keadaannya sudah terbentuk, berdasarkan firman Allah Swt: “Sesungguhnya kami menciptakan kalian dari tanah, kemudian dari segumpal mani, kemudian dari segumpal darah, kemudian dari segumpal daging yang terbentuk dan yang belum terbentuk”.
Penjelasan ini menegaskan bahwa untuk dapat dikaitkan dengan suatu hukum syariat, setidaknya keadaan janin harus sudah terbentuk di dalam rahim, ini berarti menurut pendapat Ibnu ‘Arabi, status anak dalam kandungan baru dapat dipastikan wujudnya harus sudah dalam keadaan berbentuk, bukan hanya sekedar setetes mani yang baru masuk ke dalam rahim. Dalam hal ini Imam Al-Qurṭūbī juga sependapat dengan Wahbah Al-Zuhailī yang menegaskan bahwa status janin dalam kandungan belum dapat terikat dengan hukum syariat bila masih dalam bentuk setetes mani, akan tetapi janin tersebut paling tidak sudah terbentuk dalam bentuk segumpal darah, ataupun segumpal daging dan seterusnya. Berikut penjelasan beliau:
النطفة ليست بشيء يقينا، ولا يتعلق بها حكم إذا ألقتها المرأة إذا لم تجتمع في الرحم، فهي كما لو كانت في صلب الرجل، فإذا طرحته علقة فقد تحققنا أن النطفة قد استقرت واجتمعت واستحالت إلى أول أحوال يتحقق به أنه ولد. وعلى هذا فيكون وضع العلقة فما فوقها من المضغة وضع حمل[31]
Artinya: “Setetes mani belum memiliki suatu kepastian untuk dapat diyakini dan tidak dapat dikaitkan dengan hukum syariat apabila setetes mani gugur dari seorang wanita dalam keadaan belum terkumpul di dalam rahim, maka kedudukannya sama seperti pada saat di dalam sulbi laki-laki. Namun apabila seorang wanita gugur mengeluarkan segumpal darah, maka saat itu dapat dipastikan bahwa setetes mani telah tetap, berkumpul dan berubah ke tahap awal dari keadaan yang memastikan akan kejadiannya sebagai anak. Berdasarkan penjelasan ini, maka kedudukan segumpal darah dan seterusnya, yaitu segumpal daging, merupakan kedudukan kehamilan”.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat dipahami bahwa untuk dapat dipastikan wujud anak dalam kandungan harus sudah berbentuk sekurang-kurangnya menjadi segumpal darah dan saat anak tersebut terlahir, harus dalam keadaan hidup yang ditandai dengan adanya suara tangisan, bergerak, bersin atau bernafas. Apabila anak yang terlahir tersebut terlahir tanpa mengeluarkan tanda-tanda kehidupan, maka anak tersebut tidak memiliki hak waris dari ayahnya.
3. Cara penyelesaian hak waris anak dalam kandungan
Sebagaimana penjelasan sebelumnya bahwa Syaikh Wahbah al-Zuhailī telah secara tegas menyatakan kedudukan anak dalam kandungan memiliki hak warisan, hal ini berdasarkan keumuman kata auladikum dalam surat An-Nisa’ ayat 11 yang menyatakan hak warisan anak secara umum, baik anak itu sudah terlahir, maupun anak yang masih dalam kandungan. Berikut penjelasan beliau:
لما قال تعالى: في أولادكم يتناول كل ولد كان موجودا أو جنينا في بطن أمه، من الطبقة الأولى أو بعدها، من الذكور أو الإناث ما عدا الكافر [32]
Artinya: “Manakala Allah befirman: “terhadap anak-anak kalian”, maka mencakup semua anak, baik itu yang sudah ada atau yang masih berupa janin dalam kandungan ibunya, dari fase kehamilan yang pertama maupun fase sesudahnya, berjenis kelamin laki-laki maupun perempuan, selama bukan kafir”.
Keterangan ini juga dipertegas oleh Imam al-Qurṭūbī dalam karya tafsir beliau berikut:
لما قال تعالى: (في أولادكم) يتناول كل ولد كان موجودا أو جنينا في بطن أمه، دنيا أو بعيدا، من الذكور أو الإناث ما عدا الكافر[33]
Artinya: “Manakala Allah befirman: “terhadap anak-anak kalian”, maka mencakup semua anak, baik itu yang sudah ada atau yang masih berupa janin dalam kandungan ibunya, dekat atau jauh, laki-laki atau perempuan, selama bukan kafir”.
Namun, hak warisan bagi anak dalam kandungan tentu tidak dapat dibagikan segera sebelum anak tersebut terlahir, karena banyak kemungkinan yang akan timbul dan berdampak kepada berbedanya hak warisana yang akan diterima anak tersebut, seperti anak laki-laki yang akan menerima warisan sebagai ashabah dan dua kali bagian perempuan, begitu juga kemungkinan hidup atau matinya yang sangat menentukan hak warisan itu berhak atau tidak. Maka dalam hal ini, Wahbah al-Zuhailī menegaskan bila diantara ahli waris terdapat anak yang masih dalam kandungan, maka pembagian harta warisan harus ditunda dan ditangguhkan hingga lahir anak tersebut, untuk melihat kondisi anak tersebut:
إذا مات الرجل وترك زوجته حبلى، فإن المال يوقف حتى يتبين ما تضع. فإن خرج ميتا لم يرث، وإن خرج حيا يرث ويورث. أما الخنثى وهو الذي له فرجان فأجمع العلماء على أنه يورث من حيث يبول [34]
Artinya: “Apabila mati seorang laki-laki dan meninggalkan seorang istri yang sedang hamil, maka harta peninggalannya harus ditangguhkan hingga nyata keadaan anak tersebut saat terlahir. Jika anak dalam kandungan tersebut terlahir dalam keadaan mati, maka dia tidak mendapat hak waris dan jika anak tersebut terlahir dalam keadaan hidup, maka dia mendapat hak waris dan mewarisi harta”.
Terkait tanda kehidupan yang menentukan anak dalam kandungan berhak atau tidak mendapat warisan juga telah dijelaskan sebagai berikut:
عن النبي صلى الله عليه وسلم قال:" إذا استهل المولود ورث". الاستهلال: رفع الصوت، فكل مولود كان ذلك منه أو حركة أو عطاس أو تنفس فإنه يورث لوجود ما فيه من دلالة الحياة.[35]
Artinya: “Dari Nabi SAW beliau bersabda: “apabila menjeritlah anak yang baru lahir, maka dia mempunyai hak warisan. Istihlāl adalah meninggikan suara, maka setiap anak yang terlahir dalam keadaan demikian atau bergerak atau bersin atau bernafas, maka anak itu mempunyai hak warisan, karena terdapat tanda-tanda padanya yang menunjukkan kehidupan”.
Berdasarkan penjelasan ini dapat disimpulkan bahwa anak dalam kandungan berhak menerima warisan berdasarkan keumuman surat An-Nisa’ yang menjelaskan tentang warisan bagi anak yang mencakup kepada anak dalam kandungan. Hak waris anak dalam kandungan dapat ditetapkan dengan syarat anak tersebut memang terbukti bersambung nasab dengan pewaris, sudah wujud dalam rahim dan terlahir dalam keadaan hidup. Dengan adanya anak dalam kandungan sebagai salah satu ahli waris, maka menuntut untuk ditundanya pembagian harta warisan hingga anak tersebut terlahir, untuk melihat keadaan anak tersebut terlahir sebagai laki-laki atau perempuan, hidup atau mati.
Foot Note:
[1]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, (Bandung: Diponegoro, 2019) h. 231.
[2]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 271.
[3]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 271-272.
[4]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 272.
[5]Imam Niżāmuddīn al-Ḥasan bin Muḥammad al-Naisaburī, Garāib al-Qur’ān wa Ragāib al-Furqān, cet.1, juz II, (Beirut, Darul Kutub al-‘Ilmiyyah: 1416 H/1996 M), h. 355.
[6]Imam Niżāmuddīn, Garāib al-Qur’ān wa Ragāib al-Furqān…, h. 355.
[7]Jalāluddīn al-Mahalli dan Jalāluddīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Jalālain, jld.I, (Kairo: Dar al-Hadis, tth), h. 100.
[8]Imam Niżāmuddīn al-Naisaburī, Garāib al-Qur’ān wa Ragāib al-Furqān…, h.355
[9]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 273.
[10]Abdullah ibn Umar al-Baiḍawī, Anwār al-Tanzīl wa Asrār al-Ta’wīl. Jld.II, (Beirut: Dar al-Ihya’ Turats al-Arabiya, 1418 H), h. 62.
[11]Muhammad Mutawalli Al-Sya‘rawī, Tafsīr al-Sya‘rawī, Jld.IV, (tp: Mathab’ akhbar al-Yaum, t.t), h. 2025.
[12]Imam Niżāmuddīn al-Naisaburī, Garāib al-Qur’ān wa Ragāib al-Furqān…, h. 355.
[13]Imam Niżāmuddīn al-Naisaburī, Garāib al-Qur’ān wa Ragāib al-Furqān…, h. 355.
[14]Jalāluddīn al-Maḥallī dan Jalāluddīn al-Suyūṭī, Tafsīr al-Jalālain, Jld.I, (Kairo: Dar al-Hadis, t.t), h.100.
[15]Imam Niżāmuddīn al-Naisaburī, Garāib al-Qur’ān wa Ragāib al-Furqān…, h. 355.
[16]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 273.
[17]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 274.
[18]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 282
[19]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 317.
[20]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 317.
[21]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h.317.
[22]Abu al-Husin Yahya Ibn Abu al-Khair al-Imrani, Al-Bayan fi Mazhab Al-Imam al-Syᾱfi‘ȋ, Jld.IX, (Jeddah: Dârul Minhaj, 2000), h. 257.
[23]Fakhruddin Muhammad Ar-Razi, Tafsir al-Razi: Mafatih al-Ghaib …, h. 29.
[24]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.II, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 364.
[25]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 283.
[26]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 282.
[27]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn, Jld.XII, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 9.
[28]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn…, h. 9.
[29]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld.XVII, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 162
[30]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 162.
[31]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn, Jld.XII, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 8.
[32]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 282.
[33]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn, Jld.V, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 61.
[34]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 283.
[35]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn…, h. 9.
Sekian...!!
Penulis: Inan.id
#_p.rahmanita1008_ #Beutsemubeut
#Tafsir #Al-Qur'an
0 Response to "Hak Waris Anak dalam Kandungan Berdasarkan Tafsir Surat An-Nisa’ ayat 11 || Kitabkuning90"
Posting Komentar