Perluasan Makna Riqab sebagai Penerima Zakat Menurut Tafsir Surat at-Taubah ayat 60 || Kitabkuning90
![]() |
Tafsir Al-Qur'an || Kitabkuning90 |
Tafsir Makna Riqāb Sebagai Mustaḥiq Zakat menurut Imam Al-Qurṭubī dan Quraish Shihab
1. Tafsir Makna Riqāb Sebagai Mustaḥiq Zakat menurut Imam Al-Qurṭubī
Al-Qur’an surat At-Taubah ayat 60 merupakan ayat yang secara tegas menjelaskan tentang kelompok-kelompok yang berhak menerima zakat. Allah Swt berfirman:
“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah [9]: 60).[1]
Sedekah yang dimaksud dalam ayat ini maksudnya adalah sedekah wajib atau yang disebut zakat. Hal ini terpahami dari kaidah keumuman penggunaan lafaz “ṣadaqah” yang dimaksudkan kepada sedekah wajib. Sebagaimana penjelasan Imam Al-Qurṭubī berikut:
والصدقة متى أطلقت في القرآن فهي صدقة الفرض[2]
Artinya: “Kata “ṣadaqah” bila disebutkan secara umum dalam Al-Qur’an, maka maksudnya adalah sedekah wajib (zakat)”.
Adapun dalam menafsirkan kata “fī al-riqāb” pada surat At-Taubah ayat 60 di atas, Imam Al-Qurṭubī mengutip pendapat Imam Mazhab, diantaranaya pendapat Imam Malik yang menjelaskan maksud “fī al-riqāb” adalah “untuk membebaskan hamba sahaya”. Artinya terdapat kata yang dihilangkan dari kalimat ini. Berikut keterangan beliau:
قوله تعالى: (وفي الرقاب) أي في فك الرقاب، قاله ابن عباس وابن عمر، وهو مذهب مالك وغيره. فيجوز للإمام أن يشتري رقابا من مال الصدقة يعتقها عن المسلمين، ويكون ولاؤهم لجماعة المسلمين[3]
Artinya: “Firman Allah Swt: “fī al-riqāb” maksudnya untuk membebaskan hamba sahaya. Ini merupakan pendapat Ibnu Abbas r.a. dan Ibnu Umar r.a. Pendapat ini juga merupakan pendapat Imam Malik dan lainnya. Maka seorang imam yang membagi zakat, boleh membeli hamba sahaya dari harta zakat, kemudian memerdekakannya atas nama orang-orang Islam. Maka wewenang perwaliannya adalah bagi jama’ah muslimin”.
Imam Al-Qurṭubī mengutip pendapat Ibnu Abbas dan Ibnu Umar yang merupakan pendapat mazhab Maliki, bahwa penyaluran zakat atas nama riqāb maksudnya adalah untuk membebaskan hamba sahaya, bukan semata-mata diberikan untuk hamba tersebut. [4] Atas dasar pemahaman ini, maka dibolehkan penyaluran zakat untuk memerdekakan hamba sahaya secara umum, baik itu untuk memerdekakan qin (hamba sahaya sepenuhnya), maupun memerdekakan hamba sahaya yang berstatus mukatab, yaitu hamba yang melakukan akad dengan sayidnya untuk menembus dirinya sendiri dengan sejumlah harta. Pemahaman makna riqāb yang umum kepada seluruh macam hamba ini didasari dengan dalil qiyas kepada makna fī sabīlillāh yang diperuntukkan untuk membeli kuda sebagai perlengkapan berperang. Berikut penjelasan Imam Al-Qurṭubī:
الله عز وجل قال:" وفي الرقاب" فإذا كان للرقاب سهم من الصدقات كان له أن يشتري رقبة فيعتقها. ولا خلاف بين أهل العلم أن للرجل أن يشتري الفرس فيحمل عليه في سبيل الله. فإذا كان له أن يشتري فرسا بالكمال من الزكاة جاز أن يشتري رقبة بالكمال، لا فرق بين ذلك[5]
Artinya: “Allah SWT berfirman: “dan untuk memerdekakan hamba”. Apabila terdapat bagian untuk hamba sahaya dari zakat, maka dibolehkan bagi orang yang membagi zakat untuk membeli seorang hamba, kemudian memerdekakannya, karena tidak ada khilaf antara ahli ilmu tentang hukum seorang laki-laki membeli kuda, kemudian dimaksudkan atasnya hak fī sabīlillāh. Jika seseorang dibolehkan membeli kuda secara keseluruhan dari harta zakat, maka tentu dibolehkan juga membeli seorang hamba sahaya dengan secara penuh, karena tidak ada perbedaan antara hal demikian”.
Di tempat lain Imam Al-Qurṭubī juga menegaskan pendapat ini, yang menyatakan bahwa maksud dari firman Allah Swt “fī al-riqāb” adalah memerdekakan hamba sahaya secara umum. Berikut penjelasan beliau:
قوله تعالى: (وفي الرقاب) الأصل في الولاء، قال مالك: هي الرقبة تعتق وولاؤها للمسلمين[6]
Artinya: “Firman Allah ta'ala: “fī al-riqāb”, pada dasarnya bermakna memerdekakan budak. Imam Malik berpendapat; maksudnya adalah hamba sahaya yang dimerdekakan dan perwaliannya untuk seluruh muslim”.
Namun di samping itu, Imam Al-Qurṭubī juga mengutip beberapa pendapat lain dari ulama mazhab yang menyatakan tentang penggunaan kata riqābsebagai mustahiq zakat, apakah terkhusus hanya kepada hamba sahaya yang mukatab atau dapat diartikan secara umum. Berikut penjelasan beliau:
واختلف هل يعان منها المكاتب، فقيل لا. روي ذلك عن مالك، لأن الله عز وجل لما ذكر الرقبة دل على أنه أراد العتق الكامل، وأما المكاتب فإنما هو داخل في كلمة الغارمين بما عليه من دين الكتابة، فلا يدخل في الرقاب[7]
Artinya: “Para ulama berbeda pendapat tentang apakah “riqāb” dimaksudkan untuk hamba sahaya yang mukatab?. Maka sebagian ulama berpendapat tidak. Pendapat ini diriwayatkan dari Imam Malik, karena sesungguhnya Allah SWT manakala menyebut “raqabah” menunjukkan bahwa maksudnya adalah memerdekakan secara penuh. Adapun hamba sahaya yang mukatab, maka hanya masuk dalam kategori orang-orang yang berhutang dengan sebab apa yang terjadi pada dirinya, yaitu hutang kitabah, maka hamba mukatab tidak termasuk dalam kategori riqāb”.
Penjelasan ini menegaskan bahwa pendapat yang memaknai hak “riqāb” sebagai hak memerdekakan hamba secara penuh merupakan pendapat yang dipelopori oleh Imam Malik. Namun terdapat pula sebuah riwayat lain yang menyatakan bahwa dalam sebagian pendapat mazhab Maliki juga terdapat pandangan bahwa arti dari “riqāb” sebagai mustaḥik zakat juga termasuk hamba mukatab dengan meninjau pada akhir tebusan kemerdekaannya, yaitu tebusan untuk memerdekakan dirinya:
وقد روي عن مالك من رواية المدنيين وزياد عنه: أنه يعان منها المكاتب في آخر كتابته بما يعتق [8]
Artinya: “Sungguh diriwayatkan dari Imam Malik dari riwayat al-mudniyīn dalam mazhab Maliki dan Ziyad dari mazhab Maliki menyatakan bahwa maksud dari riqāb sebagiannya adalah hamba mukatab pada akhir perjanjian kitabah-nya dengan memberi tebusan yang dapat memerdekakannya”.
Pendapat kedua ini merupakan pendapat yang dipegang oleh mayoritas ulama mazhab dalam menafsirkan firman Allah tentang makna riqāb. Imam Al-Qurṭubī menjelaskan:
وعلى هذا جمهور العلماء في تأويل قول الله تعالى:" وفي الرقاب". وبه قال ابن وهب والشافعي والليث والنخعي وغير هم[9]
Artinya: “Mayoritas ulama mazhab berpegang atas pendapat ini dalam menafsirkan firman Allah SWT “wa fī al-riqāb”. Pendapat ini dipegang oleh Ibn Wahab, Imam Syāfi‘ī, Imam Hanafi, Imam al-Lais, dan lainnya”.
Bahkan salah seorang ulama mazhab Hanafi menghikayahkan terjadinya ijma’ dalam memaknai “fī al-riqāb” dengan maksud hamba sahaya yang mukatab, berikut keterangannya:
وحكى علي بن موسى القمي الحنفي في أحكامه: أنهم أجمعوا على أن المكاتب مراد[10]
Artinya: “Ali ibn Musa al-Qummi al-Hanafi menghikayah dalam kitab Aḥkām-nya bahwa para ulama telah ijma’/ sepakat bahwa hamba mukatab merupakan maksudnya”.
Keterangan ini menggambarkan akan pandangan Imam Al-Qurṭūbī bahwa sekalipun beliau memahami arti “fī al-riqāb” dalam surat at-Taubah ayat 60 sebagai konteks memerdekakan hamba sahaya, sebagaimana pendapat Imam Malik, namun dalam pengaplikasiannya sebagai mustaḥiq zakat, beliau cenderung mengikuti pandangan mayoritas ulama mazhab, yaitu Imam Syāfi‘ī, Imam Hanafi. Imam al-Lais, dan lainnya yang menyatakan bahwa maksud “fī al-riqāb” sebagai mustaḥiq zakat dalam surat at-Taubah ayat 60 hanya khusus diberikan untuk membantu memerdekakan hamba sahaya yang mukatab. [11] Imam Al-Qurṭūbī meng-istidlāl pengkhususan makna ini melalui syarat tamlīk dalam zakat. Berikut penjelasan beliau:
إن العتق إبطال ملك وليس بتمليك، وما يدفع إلى المكاتب تمليك، ومن حق الصدقة ألا تجزي إلا إذا جرى فيها التمليك. وقوى ذلك بأنه لو دفع من الزكاة عن الغارم في دينه بغير أمره لم يجزه من حيث لم يملك فلأن لا يجزي ذلك في العتق أولى[12]
Artinya: “Sesungguhnya memerdekakan hamba adalah perbuatan membatalkan kepemilikan dan dia bukan memberi kepemilikan, sedangkan yang diserahkan kepada hamba mukatab adalah memberi kepemilikan. Adapun sedekah yang sebenarnya bahwa tidak cukup kecuali apabila diterapkan kepemilikan padanya. Hal demikian dikuatkan dengan perbandingan jika harta zakat diberikan untuk orang yang berutang untuk membayar utangnya tanpa perintah darinya, maka tidak memadai karena tidak ada pemberian kepemilikan, maka sungguh tidak memadai hal demikian pada memerdekakan hamba terlebih utama”.
Penjelasan ini menegaskan bahwa zakat merupakan sedekah yang wajib, maka dalam konsep sedekah harus terdapat tamlīk di dalamnya, oleh karena itu dalam zakat juga disyaratkan adanya tamlīk, yaitu penyerahan zakat kepada mustaḥik yang menunjukkan perpindahan kepemilikan harta zakat tersebut. Sebagai bandingan, Imam Al-Qurṭūbī menjelaskan konsep tamlīk pada zakat yang diberikan untuk orang yang berutang, jika utang tersebut dibayarkan dengan harta zakat tanpa izin dari mustahik yang berutang, maka tidak sah, karena tidak adanya tamlīk. Konsep tamlīk dalam pemberian zakat untuk memerdekakan hamba sahaya tentu lebih utama. Namun dalam hal ini, Imam Al-Qurṭūbī melalui petunjuk hadis memberikan solusi sebagai berikut:
قد ورد حديث ينص على معنى ما ذكرنا من جواز عتق الرقبة وإعانة المكاتب معا أخرجه الدارقطني عن البراء قال: جاء رجل إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: دلني على عمل يقربني من الجنة ويباعدني من النار. قال: (لئن كنت أقصرت الخطبة لقد أعرضت المسألة أعتق النسمة وفك الرقبة). فقال: يا رسول الله، أو ليستا واحدا؟ قال: (لا، عتق النسمة أن تنفرد بعتقها وفك الرقبة أن تعين في ثمنها) [13]
Artinya: “Telah warid Hadis yang menegaskan tentang makna yang telah kami jelaskan, yaitu boleh memerdekakan hamba sahaya dan menolong hamba mukatab secara bersamaan. Hadis tersebut diriwayatkan oleh al-Darāquṭnī diambil dari Al-Barra’, beliau berkata: Datang seorang laki-laki kepada Nabi Saw, dia berkata: Berikan petunjuk kepadaku tentang amalan yang dapat mendekatkanku kepada surga dan menjauhkanku dari neraka. Rasululah menjawab: Sekiranya aku mempersingkat khutbah, sungguh aku akan membahas masalah ini, merdekakanlah jiwa dan bebaskanlah hamba sahaya. Maka dia berkata: Wahai Rasulullah, bukankah keduanya sama?. Rasulullah menjawab: Tidak, merdekakan jiwa maksudnya adalah engkau sendiri memerdekakannya dan bebaskanlah hamba sahaya, maksudnya engkau tolong pada harganya”.
Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami bahwa menurut Imam Al-Qurṭūbī, pemberian zakat kepada hak riqāb hanya terkhusus pada konsep perbudakan, di mana terdapat dua pendapat yang mu’tabar dalam menafsirkan makna riqāb, yaitu pendapat Imam Malik yang menyatakan maksud memberi zakat kepada riqāb adalah memerdekakan hamba sahaya sepenuhnya dengan cara membeli seorang hamba sahaya dengan harta zakat, kemudian memerdekakannya. Namun menurut mayoritas ulama, maksud pemberian zakat kepada riqāb adalah memberi zakat kepada hamba mukatab yang sudah melakukan perjanjian dengan sayidnya untuk menembus dirinya dengan sejumlah harta, maka harta zakat diberikan kepada hamba mukatab tersebut untuk diberikan kepada Sayid, sebagai tebusan dirinya. Pemberian zakat yang diperuntukkan khusus kepada hamba mukatab ini kiranya lebih tepat, karena sesuai dengan konsep tamlīk yang ada dalam zakat dan tercapai tujuan memerdekakan hamba yang dimaksud dalam Al-Qur’an, hal ini juga didukung oleh Hadits yang dibawa oleh Imam Al-Qurṭūbī sebagai dalil kuat dalam menafsirkan makna riqāb dalam surat at-Taubah ayat 60 di atas.
2. Tafsir Makna Riqāb Sebagai Mustaḥiq Zakat menurut Quraish Shihab
Secara umum, Quraish Shihab menjelaskan bahwa surat At-Taubah ayat 60 membenarkan sikap Nabi sebelumnya dalam membagi sedekah dan zakat hanya pada orang-orang tertentu yang kemudian dianggap tidak adil oleh orang-orang munafik, maka ayat ini menegaskan bahwa sesungguhnya zakat bukan untuk mereka yang mencemoohkan itu, tetapi ia hanyalah dibagikan untuk “orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengelola-pengelolanya”, yakni yang mengumpulkan zakat, mencari dan menetapkan siapa yang wajar menerima lalu membaginya, dan diberikan juga kepada, “para mu’allaf”, yakni orang-orang yang dibujuk hatinya, serta untuk “memerdekakan para hamba sahaya”, dan “orang-orang yang berhutang” bukan dalam kedurhakaan kepada Allah, dan disalurkan juga pada “sabilillah” dan “orang-orang yang kehabisan bekal yang sedang dalam perjalanan”.
Semua itu sebagai sesuatu ketetapan yang diwajibkan Allah dan Allah Maha Mengetahui siapa yang wajar menerima dan Dia Maha bijaksana dalam menetapkan ketentuan-ketentuan-Nya. Karena itu zakat tidak boleh dibagikan kecuali kepada yang ditetapkan-Nya itu selama mereka ada. Ayat ini merupakan dasar pokok menyangkut kelompok-kelompok yang berhak mendapat zakat. Namun para ulama berbeda pendapat dalam memahami masing-masing kelompok. [15]
Quraish Shihab pada penjelasan awal dari tafsir surat at-Taubah ayat 60 tersebut tampak memahami riqāb sebagai mustaḥiq zakat adalah sebagai konsep upaya pemberian kemerdekaan terhadap hamba sahaya, beliau mengartikan bagian riqāb sebagai mustaḥiq zakat adalah “untuk memerdekakan para hamba sahaya”, ini mengindikasikan bahwa yang menjadi tujuan penyaluran zakat bagian riqāb adalah konsep pemberian kemerdekaan, bukan semata-mata diri hamba tersebut.
Pemaknaan riqāb sebagai konsep upaya pemberian kemerdekaan terhadap hamba sahaya ini kiranya yang akan memungkinkan timbul perluasan makna riqāb sebagai mustaḥiq zakat, karena melalui makna tersebut, maka segala bentuk pembebasan diri seseorang dari segala hal-hal yang mengikat dan membelenggunya akan dapat disebut memerdekakannya. Hal ini tampak dari cara Quraish Shihab dalam memahami makna riqāb sebagai berikut:
“Kata “al-riqāb” adalah bentuk jamak dari kata “raqabah” yang pada mulanya berarti “leher”. Makna ini berkembang sehingga bermakna “hamba sahaya” karena tidak jarang hamba sahaya berasal dari tawanan perang yang saat ditawan, tangan mereka dibelenggu dengan mengikatnya ke leher mereka. Kata “fī” yang mendahului kata al-riqāb mengesankan bahwa harta zakat yang merupakan bagian mereka itu diletakkan dalam wadah yang khusus untuk keperluan mereka. Atas dasar ini, harta tersebut tidak diserahkan kepada mereka pribadi, tetapi disalurkan untuk melepas belenggu yang mengikat mereka itu”.[16]
Di sini Quraish Shihab memahami kata “fī” yang mendahului kata al-riqāb sebagai żaraf (kata sambung yang menerangkan tempat atau waktu) yang penggunaannya dibedakan dari empat kelompok mustaḥiq zakat yang pertama, dimana pada kelompok fakir, miskin, ‘āmil dan muallaf dalam penyebutannya diiringi dengan kata “li” yang menunjukkan kepemilikan, sedangkan pada empat kelompok mustaḥiq zakat yang akhir diiringi dengan kata “fī” yang menunjukkan makna żaraf (menerangkan tempat atau waktu).
Berdasarkan petunjuk dari kata “fī” yang menunjukkan makna żaraf ini, Quraish Shihab berpendapat bahwa penyaluran zakat kepada riqāb bukan semata-mata diberikan untuk diri hamba sahaya, melainkan untuk konteks yang dialaminya,[17] yaitu untuk melepas keadaan hamba sahaya yang mengikat dan membelenggu dirinya, kemudian konteks ini dapat diperluas dan disesuaikan dengan situasi serta kondisi masa kini pada orang-orang yang mengalami ketidak bebasan sama seperti hamba sahaya.
Terdapat beberapa penjelasan mufassir lain yang kiranya senada dengan pemaham Quraish Shihab ini, diantaranya ungkapan Imam Fakhruddīn al-Rāzī sebagai berikut:
أن في الأصناف الأربعة الأول، يصرف المال إليهم حتى يتصرفوا فيه كما شاؤوا، وفي الأربعة الأخيرة لا يصرف المال إليهم، بل يصرف إلى جهات الحاجات المعتبرة في الصفات التي لأجلها استحقوا سهم الزكاة[18].
Artinya: “Sesungguhnya pada empat kelompok mustaḥiq zakat yang pertama disalurkan harta zakat langsung kepada mereka, sehingga mereka dapat mempergunakannya sesuka hati mereka, sedangkan pada empat kelompok mustaḥiq zakat yang akhir tidak disalurkan harta zakat langsung kepada mereka, tapi disalurkan kepada sisi keperluan mereka yang ditinjau dalam kriteria, yang karena kriteria tersebut mereka berhak menerima zakat”.
Penjelasan ini kiranya yang melatarbelakangi pandangan Quraish Shihab dalam memahami konteks makna riqāb sebagai mustaḥiq zakat dan memperluasnya. Bahkan ditempat lain Quraish Shihab secara tegas memperluas makna riqāb tidak hanya kepada hamba sahaya saja, namun termasuk juga tawanan yang dipenjara dan seperti buruh kerja yang terikat dengan kontrak kerjanya, berikut penjelasan beliau: Firman Allah Swt: “dan juga memberi untuk tujuan memerdekakan hamba sahaya”, yakni manusia yang diperjualbelikan, atau ditawan oleh musuh, ataupun yang hilang kebebasannya akibat penganiayaan. [19]
Di sisi lain, Quraish Shihab juga sempat mengutip pendapat pada ulama terdahulu yang menerangkan tentang makna riqāb sebagai mustaḥiq zakat sebagai berikut: “Sementara ulama terdahulu memahami kata ini dalam arti para hamba sahaya yang sedang dalam proses memerdekakan dirinya atau yang diistilahkan dengan mukatab. Ini antara lain adalah pendapat Imam Syāfi‘ī. Adapun Imam Malik, maka menurutnya yang dalam proses memerdekakan diri tidak diberikan dari bagian ini, tetapi dari bagian al-gārimīn, yakni orang-orang yang dililit hutang.
Bagian fī al-riqāb menurutnya diberikan untuk memerdekan hamba sahaya dengan membeli hamba sahaya, kemudian memerdekakannya. Mazhab Abu Hanifah membenarkan memberi untuk kedua jenis hamba itu, hanya saja menurutnya, bagian ini tidak diberikan untuk memerdekakan mereka secara utuh, tetapi sekedar sebagai bantuan untuk tujuan tersebut. Karena kata fī al-riqāb menurutnya mengandung makna “sebagian”. [20]
Walaupun dari sisi keilmuan dan wawasan Quraish Shihab mengetahui pendapat-pendapat ulama salaf al-ṣāliḥ tentang pemaknaan riqāb sebagai mustaḥiq zakat, namun pandangannya lebih dominan mengikuti pemikiran ulama kontemporer, sebagaimana keterangan beliau berikut:
“Ulama kontemporer memperluas makna kata ini. Wilayah-wilayah yang sedang diduduki oleh musuh atau dijajah, masyarakatnya serupa dengan hamba sahaya, bahkan boleh jadi keadaan mereka lebih parah. Atas dasar itu mantan Syekh al-Azhar, yaitu Mahmud Syaltut, membolehkan pemberian zakat untuk tujuan memerdekakan wilayah-wilayah yang dijajah atau diduduki musuh.[21]
Bahkan boleh jadi kita dapat berkata bahwa tenaga kerja yang diikat oleh kontrak dengan satu pengusaha, yang dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan harus membatalkan kontraknya secara sepihak, sedang pemilik perusahaan enggan membatalkan kecuali dengan ganti rugi, dapat juga mendapat bantuan dari zakat, dengan mengambilkan dari bagian fī al-riqāb atau al-gārimīn”. [21]
Berdasarkan penjelasan ini dapat dipahami bahwa pandangan Quraish Shihab tentang pemaknaan riqāb sebagai mustaḥiq zakat lebih cenderung mengikuti pendapat ulama kontemporer yang memperluas makna riqāb. Quraish Shihab berpijak pada penggunakan kata “fī” yang mendahului kata al-riqāb yang dibedakan dari empat kelompok mustaḥiq zakat lain yang penyebutannya diiringi dengan kata “li” yang menunjukkan kepemilikan.
Penggunaan kata “fī” yang menunjukkan makna żaraf (menunjukkan keterangan tempat atau waktu) tersebut, mengesankan bahwa penyaluran zakat kepada riqāb bukan semata-mata diberikan untuk diri hamba sahaya, melainkan untuk konteks hajat yang dialaminya, yaitu untuk melepas keadaan yang mengikat dan membelenggu dirinya, kemudian konteks hajat ini diperluas maksudnya. Bahkan Quraish Shihab berpendapat harta zakat atas nama hak riqāb ini boleh diberikan untuk tenaga kerja yang diikat oleh kontrak dengan satu pengusaha dan tidak dapat dibatalkan kecuali dengan ganti rugi.
3. Analisa Penulis dan Penutup
Sejauh penelitian penulis, terdapat tiga sisi perbedaan pandangan Imam Al-Qurṭubī dan Quraish Shihab dalam memaknai kata riqāb. Pertama, berbeda pada pemaknaan kata riqāb itu sendiri. Menurut Imam Al-Qurṭubī makna riqāb dibatasi hanya dalam konteks memerdekakan budak saja. Sedangkan Quraish Shihab, tidak membatasi makna riqāb kepada konteks perbudakan saja. Kedua, berbeda dari sisi rujukan pendapat yang dipegang, Imam Al-Qurṭubī lebih cenderung merujuk kepada pendapat-pendapat Imam mazhab. Sedangkan Quraish Shihab lebih cenderung merujuk kepada pendapat ulama kontemporer yang memperluas makna riqāb. Ketiga berbeda dari metode istinbāṭ yang digunakan, Imam Al-Qurṭubī menggunakan metode istinbāṭ qaulī dengan merujuk kepada pendapat mayoritas imam mazhab dan menggunakan metode istinbāṭ manḥajī. Sedangkan Quraish Shihab lebih kepada menggunakan metode istinbāṭ bayānī dengan mengkaji maksud penggunaan huruf “fi” pada kata “fī al-riqāb” yang menunjukkan makna żaraf (menerangkan tempat atau waktu).
Menurut hemat penulis, dari perbedaan pandangan Imam Al-Qurṭubī dan Quraish Shihab dalam menafsirkan makna riqāb dalam surat At-Taubah ayat 60 di atas serta perbedaan metode istinbāṭ yang digunakan, kiranya pandangan Imam Al-Qurṭubī lebih sesuai dengan konsep-konsep dan prinsip hukum Islam yang ada, karena melakukan perluasan pada makna riqāb sebagai mustaḥiq zakat sebagaimana pandangan Quraish Shihab, bertentangan dengan konsep tamlīk yang ada dalam pemberian zakat. Sekalipun dengan metode istinbāṭ bayānī pada kata “fī al-riqāb” menunjukkan makna żaraf (menerangkan tempat atau waktu), dalam arti kata penyaluran zakat kepada riqāb bukan meninjau lengsung kepada diri mustaḥiq, melainkan diberikan untuk kondisi atau waktu hajat yang dialami mustaḥiq, namun bukan berarti makna riqāb ini dapat diperluas hingga keluar dari konteks hamba sahaya.
Foot Note:
[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h. 197.
[2]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn, Jld.VIII, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 168.
[3]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn..., h. 182.
[4]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn..., h. 182.
[5]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn..., h. 182.
[6]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn…, h. 182.
[7]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn..., h. 182.
[8]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn…, h. 183.
[9]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn..., h. 183.
[10]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn…, h. 183.
[11]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn, Jld.VIII, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 183.
[12]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn…, h. 183.
[13]Muḥammad Ibn Aḥmad Al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm Al-Qur’ᾱn..., h. 183.
[14]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h. 197.
[15]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jld.V, (Jakarta:Lentera Hati, 2004), h. 629.
[16]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jld.V, (Jakarta:Lentera Hati, 2004), h. 632.
[17]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah…, h. 632.
[18]Muhammad Ibn Umar Fakhruddīn al-Rāzī, Al-Tafsīr Al-Kabīr; Mafātīḥ al-Gaib, Jld. XVI, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985), h. 87.
[19]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jld.I, (Jakarta:Lentera Hati, 2004), h. 391.
[20]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jld.V, (Jakarta:Lentera Hati, 2004), h. 632.
[21]M. Quraish Shihab, Tafsir Al-Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jld.V, (Jakarta:Lentera Hati, 2004), h. 633.
Sekian...!
0 Response to "Perluasan Makna Riqab sebagai Penerima Zakat Menurut Tafsir Surat at-Taubah ayat 60 || Kitabkuning90"
Posting Komentar