-->

Batasan Sakit Sebagai Uzur Puasa dalam Kajian Qs. Al-Baqarah Ayat 184 II Kitabkuning90

TAFSIR AL-QUR'AN

Batasan Sakit Sebagai Uzur Puasa dalam Kajian Qs. Al-Baqarah Ayat 184

Para ulama berselisih pendapat dalam memahami maksud sakit yang dapat menjadi uzur berpuasa dalam surat al-Baqarah ayat 184, Imam al-Qurṭūbī dalam Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn menjelaskan bahwa secara umum, sakit yang dapat menjadi sebab dispensasi puasa dan dimaksud sebagai uzur puasa terbagi dua, berikut keterangan al-Qurṭūbī:

قوله تعالى:" مريضا" للمريض حالتان: إحداهما ألا يطيق الصوم بحال، فعليه الفطر واجبا. الثانية- أن يقدر على الصوم بضرر ومشقة، فهذا يستحب له الفطر ولا يصوم إلا جاهل. [1]

Artinya: “Penafsiran firman Allah SWT: “marīḍan”. Tentang penyakit terdapat dua keadaan, salah satunya adalah keadaan tidak sanggupnya seseorang untuk berpuasa dengan cara apapun, maka atas orang tersebut wajib berbuka. Kedua adalah keadaan di mana seseorang sanggup untuk berpuasa dengan menanggung kemudharatan dan kesukaran, maka dalam keadaan ini seseorang disunnahkan berbuka dan tidak dianjurkan berpuasa, kecuali dia orang yang bodoh”.

Keterangan ini menunjukkan bahwa sakit yang dapat menjadi uzur puasa terbagi dua, yaitu sakit yang menyebabkan seseorang tidak sanggup berpuasa sama sekali dan sakit yang hanya memberatkan seseorang untuk menjalankan puasa. Dua kriteria sakit yang menjadi uzur puasa di sini membuat sebuah garis batasan bahwa sakit yang dimaksud adalah sakit yang membratkan seseorang untuk berpuasa dan membuat orang tersebut menjadi sukar, sehingga berhajat kepada berbuka. Namun di tempat lain Imam al-Qurṭūbī juga mengutip pendapat Ibnu Sirin yang menjelaskan bahwa sakit yang dimaksud sebagai uzur puasa adalah sakit dengan makna yang umum, baik itu sakit berat ataupun sakit ringan, baik itu sakit yang dapat memudaratkan seseorang untuk berpuasa ataupun tidak, maka segala macam sakit walaupun tidak berkaitan dengan puasa, maka sakit tersebut dapat menjadi alasan seseorang untuk berbuka puasa. Berikut keterangannya:

قال ابن سيرين: متى حصل الإنسان في حال يستحق بها اسم المرض صح الفطر، قياسا على المسافر لعلة السفر، وإن لم تدع إلى الفطر ضرورة. [2]

Artinya: “Ibnu Sirin berpendapat: Kapan saja terdapat pada seorang insan suatu keadaan yang berhak disebut dengan nama sakit, maka sah ia berbuka puasa, karena meng-qiyas di atas orang yang sedang melakukan perjalanan karena dasar alasan safar, sekalipun alasan tersebut tidak menuntut untuk berbuka puasa sebagai status darurat”.

Penafsiran Ibnu Sirin yang dikutip oleh Imam al-Qurṭūbī tersebut lebih cenderung memaknai sakit yang menjadi uzur puasa dalam surat al-Baqarah ayat 184 adalah dimaknai secara bahasa, maka berarti sakit yang umum, segala macam sakit baik ringan atau barat, mudharat atau tidak, maka dapat membolehkan berbuka puasa. Pemahaman ini berdasarkan qiyas dalam memaknai ‘illat safar sebagai uzur puasa bagi musafir, di mana aafar tersebut dimaknai juga dengan secara umum, tidak meninjau apakah aafar tersebut menyusahkan atau tidak, memudharatkan atau tidak, namun hanya meninjau pada makna safar dimana seseorang telah melewati perjalanan 16 farsakh dan berhak disebut musafir, maka orang tersebut dibolehkan berbuka puasa sekalipun perjalanan itu tidak memudharatkannya. Keterangan Ibnu Sirin ini didukung dengan pengamalan beliau yang tidak berpuasa ketika mengalami sakit jari tangan, sebagaimana yang diceritakan oleh Tharīf bin Tamam al-Atharidī:

قال طريف ابن تمام العطاردي: دخلت على محمد بن سيرين في رمضان وهو يأكل، فلما فرغ قال: إنه وجعت أصبعي هذه. [3]

Artinya: “Tharīf bin Tamam al-Atharidī berkata: aku pernah memasuki rumah Muhammad Ibnu Sirin pada bulan Ramadhan dan dia sedang makan, manakala ia telah selesai, ia berkata: aku menderita sakit pada jari tanganku ini”.

Kisah tersebut memperkuat apa yang dijelaskan oleh Ibnu Sirin di atas, di mana dalam hal memaknai sakit yang menjadi uzur puasa dimaknai secara umum, yaitu segala macam penyakit baik itu ringan atau barat dapat menjadi alasan untuk tidak berpuasa ,sekalipun itu sakit pada jari tangan yang tidak ada hubungannya dengan menahan haus dan lapar. Namun pendapat Ibnu Sirin ini bertentangan dengan pendapat mayoritas ulama, di mana mayoritas ulama memahami sakit yang dimaksud adalah sakit yang ada kaitannya dengan mempertahankan puasa. Sebagaimana keterangan Imam al-Qurṭūbī berikut:

وقال جمهور من العلماء: إذا كان به مرض يؤلمه ويؤذيه أو يخاف تماديه أو يخاف تزيده صح له الفطر.[4]

Artinya: “Mayoritas ulama berpendapat apabila pada diri seseorang terdapat penyakit yang dapat membuatnya pedih dan dapat menyakitinya atau dikhawatirkan berkepanjangan penyakit tersebut atau dikhawatirkan semakin bertambah penyakit itu, maka sah baginya berbuka puasa”.

Keterangan ini menunjukkan bahwa sakit yang dimaksud dapat menjadi uzur puasa menurut mayoritas ulama adalah penyakit yang ada kaitannya dengan mempertahankan puasa, seperti adanya resiko semakin bertambah rasa pedih atau sakit apabila seseorang mempertahankan puasanya, atau ditakutkan bertambah parah penyakit tersebut, maka di ketika itu dibolehkan ia berbuka puasa. Keterangan ini juga didukung oleh Muhammad ‘Alī al-Ṣabūnī yang menjelaskan pandangan Jumhur ulama:

ذهب أكثر الفقهاء إلى أن المرض المبيح للفطر، هو المرض الشديد الذي يؤدي إلى ضرر في النفس، أو زيادةٍ في العلة، أو يُخشى معه تأخر البرء، والسفر الطويل الذي يؤدي إلى مشقةً في الغالب، وهذا مذهب الأئمة الأربعة[5]

Artinya: “Mayoritas ulama fuqaha berpendapat bahwa sakit yang membolehkan berbuka puasa adalah sakit yang berat yang dapat menimbulkan kemudharatan pada jiwa seseorang, atau menambah parah penyakit, atau ditakutkan lama sembuh. Sedangkan safar yang dimaksud adalah perjalanan panjang yang dapat berdampak kepada kesukaran pada kebiasaan. Ini merupakan pendapat 4 Imam mazhab”.

Di samping berpijak pada pendapat mayoritas ulama, al-Ṣabūnī juga menguraikan sisi pandang mayoritas ulama dalam menggali hukum tentang maksud penyakit yang dapat meringankan puasa. Berikut keterangan beliau:

استدل جمهور الفقهاء على أن المرض اليسير الذي لا كلفة معه لا يبيح الإفطار بقوله تعالى في آية الصيام {يُرِيدُ الله بِكُمُ اليسر وَلاَ يُرِيدُ بِكُمُ العسر} فالآية قد دلت على أن الفرض من الترخيص[6]

Artinya: “Mayoritas ulama fuqaha mendasarkan dalil terhadap kedudukan sakit yang ringan merupakan sakit yang tidak menimbulkan berat besertanya, maka tidak dibolehkan berbuka puasa dengan dasar firman Allah SWT dalam ayat puasa: “Allah menghendaki untuk kalian kemudahan dan Allah tidak menghendaki untuk kalian kesukaran”. Maka ayat tersebut sungguh menunjukkan bahwa kewajiban puasa sebenarnya merupakan bagian dari kemudahan”.

Keterangan ini menunjukkan bahwa berdasarkan pendapat mayoritas ulama, sakit yang dimaksud sebagai uzur puasa adalah sakit yang dapat menimbulkan mudharat atau kesukaran bila diiringi dengan puasa, hal ini didasari pada firman Allah SWT: “Allah menghendaki kemudahan dan tidak menghendaki kesukaran”, maka pada dasarnya puasa adalah sebuah kemudahan dan tidak dapat di dispensasi kecuali bila telah terjadi suatu uzur yang sampai pada taraf darurat atau kesukaran. Oleh karena itu, sakit yang dimaksud sebagai uzur puasa adalah sakit yang sampai pada taraf darurat atau kesukaran. Hal ini senada dengan pandangan Imam Malik yang dikutip oleh Imam al-Qurṭūbī sebagai berikut:

وأما لفظ مالك فهو المرض الذي يشق على المرء ويبلغ به. [7]

Artinya: “Adapun ungkapan Imam Malik: sakit yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sakit yang menyusahkan seseorang dan memberatkannya dengan sebab sakit tersebut”.

Kemudian Imam al-Qurṭūbī juga mengutip pandangan Ibnu Khawaiz al-Mandād salah seorang ulama mazhab Maliki yang menganalisa dari pandangan Imam Malik saat memahami sakit yang menjadi uzur berbuka puasa, di mana pandangan Imam Malik tersebut terdapat beberapa riwayat yang berbeda-beda sebagai berikut:

وقال ابن خويز منداد: واختلفت الرواية عن مالك في المرض المبيح للفطر، فقال مرة: هو خوف التلف من الصيام. وقال مرة: شدة المرض والزيادة فيه والمشقة الفادحة. وهذا صحيح مذهبه وهو مقتضى الظاهر، لأنه لم يخص مرضا من مرض فهو مباح في كل مرض، إلا ما خصه الدليل من الصداع والحمى والمرضى اليسير الذي لا كلفة معه في الصيام. [8]

Artinya: “Ibnu Khawaiz al-Mandād berkata: terdapat perbedaan riwayat dari Imam Malik tentang memaknai penyakit yang membolehkan buka puasa. Pada satu kali ia berkata: sakit yang dimaksud adalah kekhawatiran hilang (manfaat anggota tubuh atau hilang nyawa) karena puasa. Pada kali lain ia berkata sakit yang dimaksud adalah sakit yang parah dan bertambah-tambah dalam puasa, serta sakit yang menjadi kesukaran parah. Pendapat kedua ini merupakan pendapat shahih dalam mazhab Maliki dan ini yang dikehendaki dari zahir ayat, karena ayat tidak mengkhususkan satu macam sakit apapun dari satu macam penyakit, oleh karena itu yang dimaksud sakit sebagai uzur pembolehan adalah semua macam sakit, kecuali terdapat dalil yang mengkhususkannya, baik itu sakit kepala, demam atau sakit ringan yang tidak menimbulkan kesukaran besertanya dalam melaksanakan puasa”.

Dari beberapa riwayat Imam Malik pada saat memaknai sakit yang menjadi uzur puasa menunjukkan bahwa sakit yang dimaksud adalah sakit yang dapat menjadi mudharat atau kesukaran bila dipertahankan dalam menjalankan puasa. Imam Malik memahami makna sakit secara umum adalah sakit yang memiliki dampak kesukaran, sehingga keumuman ayat tetap dimaknai dengan makna umumnya, yaitu segala macam sakit yang memberi dampak sukar atau kemudaratan dan sakit tersebut tidak dapat dimaknai dengan sakit yang ringan, seperti demam dan sakit kepala, karena tidak ada nash yang mengkhususkan makna sakit dengan makna tersebut.

Di tempat lain Imam al-Qurṭūbī juga mengutip pendapat Hasan saat mengartikan makna sakit sebagai uzur puasa dalam keterangannya berikut:

وقال الحسن: إذا لم يقدر من المرض على الصلاة قائما أفطر، وقاله النخعي. [9]

Artinya: “Al-Hasan berkata: Apabila seseorang tidak sanggup melakukan salat dalam keadaan berdiri karena sakit, maka ia boleh berbuka puasa. Pendapat ini juga sesuai dengan pandangan Al-Nakh'i”.

Pendapat ini juga menunjukkan bahwa sakit yang dimaksud adalah sakit yang berat yang dapat berpengaruh pada hampir keseluruhan anggota tubuh, seperti rasa lemas yang membuat diri seseorang tidak sanggup berdiri untuk shalat, maka rasa lemas tersebut tergolong ke dalam sakit yang dapat membolehkannya berbuka puasa. di tempat lain Imam al-Qurṭūbī juga mengutip pendapat satu kelompok mazhab Syāfi'ī yang menjelaskan kriteria sakit sebagai uzur buka puasa dalam keterangannya berikut:

وقالت فرقة: لا يفطر بالمرض إلا من دعته ضرورة المرض نفسه إلى الفطر، ومتى احتمل الضرورة معه لم يفطر. وهذا قول الشافعي رحمه الله تعالى. [10]

Artinya: “Satu kelompok ulama berpendapat: Seseorang tidak boleh berbuka puasa dengan sebab sakit kecuali orang tersebut dituntut oleh kemudharatan rasa sakit pada dirinya untuk berbuka puasa dan apabila ia sanggup menahan kesukaran beserta puasa, maka dia tidak boleh berbuka. Ini merupakan pendapat Imam Syāfi'ī”.

Dari beberapa pendapat yang dikutip oleh Imam al-Qurṭūbī di atas dalam tafsirnya Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn tampak bahwa al-Qurṭūbī lebih cenderung memilih pendapat Ibnu Sirin yang menyatakan maksud sakit sebagai uzur puasa adalah sakit dengan makna yang umum, baik itu sakit yang berat atau yang ringan, baik itu berkaitan dengan mempertahankan puasa ataupun tidak, segala macam sakit yang patut dinamai sakit, maka itu dapat menjadi sebab untuk berbuka puasa walaupun tidak menyusahkan dalam puasa:

قلت: قول ابن سيرين أعدل شي في هذا الباب إن شاء الله تعالى. [11]

Artinya: “Menurutku pendapat Ibnu Sirin adalah yang paling tepat dalam bab ini, Jika Allah SWT menghendakinya”.

Keterangan ini didukung oleh ungkapan Imam al-Bukhārī yang menceritakan bahwa dirinya pernah menderita sakit ringan kemudian tidak berpuasa berikut keterangannya:

قال البخاري: اعتللت بنيسابور علة خفيفة وذلك في شهر رمضان، فعادني إسحاق بن راهويه نفر من أصحابه فقال لي: أفطرت يا أبا عبد الله؟ فقلت نعم. فقال: خشيت أن تضعف عن قبول الرخصة. [12]

Artinya: “Imam al-Bukhārī berkata: Aku pernah menderita sakit saat di Naisaburi yang hanya sebagai sakit ringan, pada saat itu adalah bulan Ramadhan, maka Ishak Bin al-Rahawaih datang mengunjungiku beserta satu rombongan dari sahabat-sahabatnya, kemudian ia berkata kepadaku: Apakah engkau sudah berbuka puasa wahai Abu Abdillah?. Aku menjawab: Ya sudah. Maka dia berkata: Aku khawatir bahwa engkau lemah untuk menerima rukhsah (keringanan hukum)”.

Berdasarkan beberapa pendapat yang dikutip oleh Imam al-Qurṭūbī di atas, tampak bahwa sekalipun Imam al-Qurṭūbī mengakui pandangan mayoritas ulama dalam memaknai sakit sebagai uzur puasa adalah sakit yang berat dan berkaitan dengan mempertahankan puasa, baik itu bertambah parah atau bertambah lama sembuhnya, namun dalam hal ini Imam al-Qurṭūbī lebih cenderung memilih pendapat Ibnu Sirin yang mengartikan sakit sebagai uzur puasa adalah sakit secara umum, baik itu sakit yang berat atau yang ringan, baik itu berkaitan dengan puasa ataupun tidak, maka segala macam sakit walaupun tidak berkaitan dengan puasa dapat menjadi uzur untuk berbuka puasa, seperti sakit jari tangan. Dalam hal ini Muhammad ‘Alī al-Ṣabūnī dalam tafsirnya juga menerangkan bahwa dalam memaknai sakit yang membolehkan seseorang berbuka puasa terjadi perselisihan pendapat para ulama, ia membagi menjadi tiga pendapat secara garis besar, berikut keterangannya:

وقد اختلف الفقهاء في المرض المبيح للفطر على أقوال: أولا - قال أهل الظاهر: مطلق المرض والسفر يبيح للإنسان الإفطار حتى ولو كان السفر قصيرا والمرض يسيرا حتى من وجع الإصبع والضرس، وروي هذا عن عطاء وابن سيرين. [13]

Artinya: “Ulama fuqaha’ telah berbeda pendapat dalam mengartikan sakit yang membolehkan seseorang berbuka puasa atas beberapa pendapat. Pertama menurut Ahli Zahir berpendapat: sakit yang dimaksud adalah mutlak sakit dan mutlak safar yang dapat membolehkan seseorang untuk berbuka puasa, sehingga jikalau safarnya dekat atau sakitnya ringan, termasuk juga karena sakit jari tangan dan sakit gigi. Hal ini diriwayatkan dari Atha’ dan Ibnu Sirin”.

Keterangan ini menunjukkan bahwa pendapat yang memahami makna sakit sebagai uzur berbuka puasa secara umum merupakan pendapat ahli Zahir, yaitu ulama yang memahami teks nash Al-Qur’an dan hadis melalui zahirnya saja dan pendapat ini juga didukung dengan adanya riwayat pendapat dari Atha’ dan Ibnu Sirin saat memahami makna sakit yang menjadi uzur puasa. Pendapat pertama ini merupakan pendapat paling ringan dalam mengartikan sakit sebagai uzur puasa, sakit yang dimaksud dalam pendapat ini adalah sakit secara umum, maka termasuk juga sakit-sakit ringan yang tidak ada kaitannya dengan ibadah puasa, pendapat tersebut juga didukung oleh adanya riwayat hadis yang menceritakan tentang pengamalan para ulama yang tidak berpuasa karena sakit:

حدثنا عبدان عن ابن المبارك عن ابن جريج قال قلت لعطاء: من أي المرض أفطر؟ قال: من أي مرض كان، كما قال الله تعالى:" فمن كان منكم مريضا"[14]

Artinya: “Abdān menceritakan kepada kami mengambil dari riwayat Ibnu al-Mubarak dari Ibnu Juraij ia berkata: aku berkata kepada Atha’: Sakit bagaimana yang membolehkan berbuka puasa?. Ia menjawab: Sakit bagaimanapun itu, sebagaimana firman Allah: “Barangsiapa di antara kalian yang menderita sakit”.

Pemaknaan sakit sebagai unsur puasa yang dimaknai secara umum merupakan pemaknaan lafadz dengan secara umum mengutip dari firman Allah surat al-Baqarah ayat 184. Kata “marīḍan” (sakit) dalam ayat tersebut dimaknai secara umum sebagaimana ada teksnya, sehingga banyak terdapat riwayat-riwayat yang menceritakan para ulama mengartikan sakit yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah sakit secara umum, baik itu berat ataupun ringan, dalam hal ini Imam Alauddīn Abu Hasan al-Khāzin mengutip pendapat al-Hasan yang tampak mendukung pendapat tersebut dengan mengartikan sakit sebagai uzur puasa adalah sakit secara umum dan bagi penderitanya diberikan pilihan antara berpuasa atau berbuka dan membayar fidyah:

وقال الحسن: هذا في المريض الذي يقع عليه اسم المرض وهو يستطيع الصوم خير بين الصيام وبين أن يفطر ويفتدي[15]

Artinya: “Al-Hasan berkata: Maksud ayat ini adalah pada semua sakit yang sah disebut nama sakit di atasnya, sekialipun ia sanggup berpuasa, ia diberi pilihan antara berpuasa atau berbuka dan membayar fidyah”.

Adapun pendapat kedua adalah:

ثانيا - وقال بعض العلماء إن هذه الرخصة مختصة بالمريض الذي لو صام لوقع في مشقة وجهد، وكذلك المسافر الذي يضينه السفر ويجهده، وهو قول الأصم. [16]

Artinya: “Pendapat kedua. Berkata sebagian ulama bahwa sesungguhnya rukhsah sakit ini hanya terkhusus dengan sakit yang jikalau seseorang tetap bertahan puasa, sungguh akan terjadi kesukaran dan kepayahan pada dirinya, begitu juga musafir yang dimaksud adalah musafir yang merasa kesulitan dalam perjalanannya dan kesukaran. Ini merupakan pendapat Al-Asham”.

Pendapat kedua memaknai sakit yang dimaksud sebagai uzur puasa dengan kriteria adalah sakit yang dapat menimbulkan kesukaran dan kepayahan bila diiringi dengan puasa, dalam hal ini menurut pendapat kedua seseorang dibolehkan berbuka puasa jika sudah mengalami kesukaran akibat penyakit yang dideritanya, walaupun tidak sampai pada taraf darurat atau mencelakai dirinya. Sedangkan pendapat ketiga yang merupakan pendapat mayoritas ulama menetapkan kriteria sakit yang lebih berat, berikut keterangannya:

ثالثا - وذهب أكثر الفقهاء إلى أن المرض المبيح للفطر، هو المرض الشديد الذي يؤدي إلى ضرر في النفس، أو زيادة في العلة، أو يخشى معه تأخر البرء، والسفر الطويل الذي يؤدي إلى مشقة في الغالب، وهذا مذهب الأئمة الأربعة[17]

Artinya: “Pendapat ketiga. Mayoritas ulama fuqaha’ berpendapat bahwa sakit yang membolehkan seseorang berbuka puasa maksudnya adalah sakit yang parah yang dapat menyebabkan kemudharatan pada diri seseorang atau bertambah parah penyakit tersebut atau dikhawatirkan lama sembuh bila diiringi puasa, dan safir yang dimaksud adalah safar jauh yang menimbulkan kesukaran pada kebiasaan. Pendapat ini merupakan pendapat Imam mazhab yang empat”.

Dari ketiga pendapat tersebut tampak bahwa pendapat ketiga merupakan pendapat yang paling ketat dalam menetapkan batasan sakit sebagai unsur puasa dan pendapat ini merupakan pendapat yang paling kuat karena dipegang oleh mayoritas ulama, khususnya empat Imam mazhab, bahkan Imam al-Qurṭūbī sendiri sempat mengutip pendapat Abu Hanifah yang menyatakan batasan sakit sebagai unsur puasa yang mudah untuk dipahami sebagai berikut:

وقال أبو حنيفة: إذا خاف الرجل على نفسه وهو صائم إن لم يفطر أن تزداد عينه وجعا أو حماه شدة أفطر[18]

Artinya: “Abu Hanifah berpendapat apabila seseorang khawatir atas dirinya yang sedang berpuasa, jika ia tidak berbuka maka akan bertambah parah sakitnya atau bertambah parah demam yang dideritanya, maka ia boleh berbuka puasa”.

Berdasarkan keterangan di atas dapat dipahami bahwa terkait dengan batasan sakit sebagai uzur puasa terdapat perbedaan pendapat di antara para ulama mufassir, dalam hal ini terbagi kepada tiga pendapat: Pertama, sakit yang dimaksud adalah sakit secara umum, baik itu sakit parah atau sakit ringan, maka termasuk juga uzur puasa adalah sakit jari tangan atau sakit gigi. Kedua, batasan sakit sebagai unsur puasa adalah memandang adanya masyaqqah (kesukaran), jika seseorang merasakan kesukaran atau kepayahan dalam berpuasa akibat sakit yang dideritanya, sekalipun ia sanggup menahannya, namun kesukaran dan kepayahan tersebut membolehkannya untuk berbuka. Ketiga, berdasarkan pendapat mayoritas ulama dan pendapat paling kuat bahwa batasan sakit sebagai uzur puasa yang dimaksud dalam surat al-Baqarah ayat 184 terdiri dari tiga batasan, yaitu sakit yang dapat berdampak kepada mudharat diri seseorang (hilang nyawanya atau hilang manfaat anggota tubuh), sakit yang semakin parah apabila diiringi dengan puasa dan sakit yang dikhawatirkan lama sembuh dengan sebab berpuasa.

Foot Note:
[1]Muḥammad Ibn Aḥmad al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn, Jld.II, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 276.
[2]Muḥammad Ibn Aḥmad al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn, Jld.II, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 276.
[3]Muḥammad Ibn Aḥmad al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn, Jld.II, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 276.
[4]Muḥammad Ibn Aḥmad al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn…, h. 276.
[5]Muhammad ‘Alī al-Ṣabūnī, Rawāi‘ al-Bayān fī Tafsīr Ayah al-Aḥkām, Cet.I, Jld. I, (Beirut: Maktabah al-Ghazali, 1980), h. 202.

[6]Muhammad ‘Alī al-Ṣabūnī, Rawāi‘ al-Bayān fī Tafsīr Ayah al-Aḥkām…, h. 202.
[7]Muḥammad Ibn Aḥmad al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn, Jld.II, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 276.
[8]Muḥammad Ibn Aḥmad al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn, Jld.II, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 276.
[9]Muḥammad Ibn Aḥmad al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn…, h. 277.
[10]Muḥammad Ibn Aḥmad al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn, Jld.II, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 277.

[11]Muḥammad Ibn Aḥmad al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn, Jld.II, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 277.
[12]Muḥammad Ibn Aḥmad al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn…, h. 277.
[13]Muhammad ‘Alī al-Ṣabūnī, Rawāi‘ al-Bayān fī Tafsīr Ayah al-Aḥkām, Cet.I, Jld.I, (Beirut: Maktabah al-Ghazalī, 1980), h. 202.
[14]Muḥammad Ibn Aḥmad al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn, Jld.II, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 277.
[15]‘Alauddīn Abu Hasan al-Khāzin, Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), h. 111.

[16]Muhammad ‘Alī al-Ṣabūnī, Rawāi‘ al-Bayān fī Tafsīr Ayah al-Aḥkām, Cet.I, Jld.I, (Beirut: Maktabah al-Ghazalī, 1980), h. 202.
[17]Muhammad ‘Alī al-Ṣabūnī, Rawāi‘ al-Bayān…, h. 202.
[18]Muḥammad Ibn Aḥmad al-Qurṭūbī, Al-Jᾱmi‘ li Aḥkᾱm al-Qur’ᾱn, Jld.II, (Kairo: Dār al-Kutūb al-Miṣriyyah, t.t), h. 277.

Sekian..., Semoga bermanfaat

0 Response to "Batasan Sakit Sebagai Uzur Puasa dalam Kajian Qs. Al-Baqarah Ayat 184 II Kitabkuning90"

Posting Komentar