-->

VOL. 1 - Hukum Mengambil Upah dari Harta Anak Yatim (Asbabun Nuzul Q.S An-Nisa' [4] Ayat 6, Ayat 10 dan Q.S. Al-An'am [6] Ayat 152) // Kitabkuning90

 
Asbabun Nuzul Q.S An-Nisa' [4] Ayat 6, Ayat 10 dan Q.S. Al-An'am [6] Ayat 152

A.    Tafsir Q.S An-Nisa' [4] Ayat 6

Diantara ayat-ayat yang menjelaskan tentang konsep pemeliharaan harta anak yatim, adalah surat An-Nisa' [4] Ayat 6, Allah Swt berfirman:

“Dan ujilah anak yatim itu sampai mereka cukup umur untuk kawin. kemudian jika menurut pendapatmu mereka telah cerdas (pandai memelihara harta), Maka serahkanlah kepada mereka harta-hartanya. dan janganlah kamu Makan harta anak yatim lebih dari batas kepatutan dan (janganlah kamu) tergesa-gesa (membelanjakannya) sebelum mereka dewasa. barang siapa (di antara pemelihara itu) mampu, Maka hendaklah ia menahan diri (dari memakan harta anak yatim itu) dan Barangsiapa yang miskin, Maka bolehlah ia Makan harta itu menurut yang patut. kemudian apabila kamu menyerahkan harta kepada mereka, Maka hendaklah kamu adakan saksi-saksi (tentang penyerahan itu) bagi mereka. dan cukuplah Allah sebagai Pengawas (atas persaksian itu)”. (QS. An-Nisa [4]: 6).[1]

Asbāb al-nuzūl ayat ini diturunkan tentang kisah Tsabit ibn Rifa’ah, sebagaimana yang tercantum dalam riwayat berikut:

وابتلوا اليتامى: نزلت في ثابت بن رفاعة وفي عمه. وذلك أن رفاعة توفي وترك ابنه ثابتا وهو صغير، فأتى عم ثابت إلى النبي صلى الله عليه وسلم فقال: إن ابن أخي يتيم في حجري، فما يحل لي من ماله، ومتى أدفع إليه ماله؟ فأنزل الله تعالى هذه الآية[2]

Artinya: “Ayat ini turun berkaitan dengan diri Tsabit bin Rifa'ah dan'ammnya (paman dari ayah), yaitu bahwa Rifa'ah meninggal dunia ketika putranya, Tsabit masih kecil, lalu paman Tsabit datang menemui Rasulullah saw. dan berkata, "Sesungguhnya putra saudaraku adalah seorang yatim yang berada di bawah asuhan saya, apa yang halal untukku dari hartanya dan kapan saya harus menyerahkannya kepada Tsabit?" Lalu Allah SWT menurunkan ayat ini”.

Adapun hubungan ayat ini dengan ayat sebelumnya bahwa dalam ayat-ayat sebelumnya, Allah SWT memerintahkan untuk menyerahkan kepada anak-anak yatim harta mereka dan memerintahkan untuk memberikan mahar kepada para istri. Di sini, Allah SWT memberikan dua syarat yang mencakup dua hal sekaligus, yaitu tidak adanya al-safah (belum memiliki akal sempurna) dan menguji sikap dan kedewasaan anak-anak yatim demi menjaga harta mereka agar tidak musnah dan digunakan secara keliru. [3]

Dalam menafsirkan ayat ini, Quraish Shihab menjelaskan bahwa pada ayat sebelumnya setelah melarang pemberian harta kepada yang tidak mampu mengelolanya, seperti anak-anak yatim, maka dalam ayat ini ditegaskan bahwa larangan itu tidak terus-menerus. Wali hendaknya memperhatikan keadaan anak yatim, sehingga bila anak yatim itu telah dinilai mampu mengelola harta dengan baik, maka harta mereka harus segera diserahkan. Selanjutnya karena dalam rangkaian ayat-ayat di atas, anak yatim yang pertama disebut (pada ayat 2) sebab merekalah yang paling lemah, maka di sini mereka pun yang pertama disebut.[4]

Kepada para wali diperintahkan: “ujilah anak yatim itu” dengan memperhatikan keadaan mereka dalam hal penggunaan harta serta latihlah mereka sampai hampir mencapai umur yang menjadikan mereka mampu memasuki gerbang pernikahan. Maka ketika itu, “jika kamu telah mengetahui”, yakni pengetahuan yang menjadikan kamu tenang, karena adanya pada mereka kecerdasan, yakni kepandaian memelihara harta serta kestabilan mental, “maka serabkanlah kepada mereka harta-harta mereka”, karena ketika itu tidak ada lagi alasan untuk menahan harta mereka. [5]

Kemudian ayat ini melanjutkan tuntunannya dengan menegaskan bahwa “janganlah kamu wahai para wali, memakan”, yakni memanfaatkan untuk kepentingan kamu harta anak yatim, dengan dalih kamu yang mengelolanya, sehingga memanfaatkannya lebih dari batas kepatutan, dan jangan juga kamu membelanjakan harta itu dalam keadaan tergesa-gesa sebelum mereka dewasa, karena kamu khawatir bila mereka dewasa kamu tidak dapat mengelak untuk tidak menyerahkannya. Barang siapa di antara pemelihara itu yang mampu, maka hendaklah ia menahan diri, yakni tidak menggunakan harta anak yatim itu, dan mencukupkan dengan anugerah Allah yang diperolehnya dan barang siapa yang miskin, maka bolehlah ia makan dan memanfaatkan harta itu, bahkan mengambil upah atau imbalan menurut yang patut. [6]

Keterangan ini senada dengan penjelasan Wahbah al-Zuhaili berikut:

أما من كان محتاجا مضطرا إلى الأكل من مال اليتيم بلا إسراف ولا مبادرة أخذه قبل البلوغ، مقابل عمله وإشرافه[7]

Artinya: “Adapun wali yang memang dalam keadaan butuh dan terdesak  untuk memakan dari harta anak yatim, dengan tidak berlebih-lebihan dan tidak bersikap tergesa-gesa, maka boleh mengambilnya sebelum baligh, sebagai ganti upah dari pengasuhan dan perawatan yang ia lakukan”.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa anak yatim yang telah dewasa tidak otomatis hartanya diserahkan kepadanya kecuali setelah terbukti kemampuannya mengelola harta. Ini berdasarkan ayat ini dan ayat sebelumnya. Imam Abu Hanifah menolak pendapat itu. Menurutnya, bagaimanapun keadaan anak yatim, bila dia telah mencapai usia 25 tahun, maka wali harus menyerahkan harta itu kepadanya, walau pun dia fasik atau boros. [9]

Berdasarkan penafsiran atas surat an-Nisa' [4] Ayat 6 di atas, terdapat beberapa konsep pemeliharaan harta anak yatim yang dipetik menurut pandangan Quraish Shihab. Pertama, wali yang menjaga anak yatim harus memperhatikan kesiapan anak yatim yang dijaganya untuk dapat diserahkan harta, ujian yang dimaksud dalam ayat di atas adalah dalam soal pengelolaan harta. Kedua, anak yatim yang telah dewasa tidak otomatis hartanya diserahkan kepadanya kecuali setelah terbukti kemampuannya mengelola harta. Ketiga, bagi wali yang menjaga harta anak yatim dibolehkan mengambil harta anak yatim bila terdapat hajat yang mendesaknya. Seperti keadaannya yang miskin.

B.    Tafsir Q.S An-Nisa' [4] Ayat 10

Salah satu ayat yang membahas terkait pemeliharaan harta anak yatim adalah An-Nisa' [4] Ayat 10, Allah SWT berfirman:

“Sesungguhnya orang-orang yang memakan harta anak yatim secara zalim, sebenarnya mereka itu menelan api sepenuh perutnya dan mereka akan masuk ke dalam api yang menyala-nyala (neraka)”. (QS. An-Nisa [4]: 10).[11]

Wahbah al-Zuhaili dalam tafsirnya menyatakan sebuah riwayat yang menjelaskan terkait asbabun nuzul surat An-Nisa [4] ayat 10 di atas, mengutip riwayat Muqatil bin Hayyan yang berkata:

نزلت في رجل من غطفان يقال له: مرثد بن زيد، ولي مال ابن أخيه، وهو يتيم صغير، فأكله، فأنزل الله فيه هذه الآية.[12]

Artinya: “Ayat tersebut diturunkan tentang seorang laki-laki dari Ghatafan yang bernama Martsad bin Zaid. Dia menjaga harta milik keponakannya, dan keponakannya itu adalah seorang anak yatim yang masih kecil, maka dia memakannya dan Allah menurunkan ayat ini tentang dia”.

Penyebutan kata “dalam perut mereka” walau apa yang dimakan pasti berada dalam perut, adalah untuk menekankan keburukan mereka sekaligus untuk menggambarkan bahwa api yang mereka makan itu sedemikian banyak sehingga memenuhi perut mereka.[14] 

Lebih lanjut Quraish Shihab memberikan penjelasan yang hampir sama dalam surat An-Nisa’ ayat 2 yang memerintahkan kepada para wali: “Dan berikanlah kepada anak-anak yatim harla mereka”, yakni peliharalah harta anak yang belum dewasa yang telah meninggal ayahnya, yang berada dalam tangan kamu, atau berikanlah harta milik anak-anak yang tadinya yatim dan kini telah dewasa dan jangan kamu dengan sengaja menukar dengan mengambil harta anak yatim yang buruk, yakni yang haram dan mengambil yang baik untuk harta kamu, yakni yang halal. “Dan jangan juga kamu makan”, yakni gunakan atau manfaatkan secara tidak wajar harta mereka, karena didorong oleh keinginan menggabungnya bersama harta kamu. [16]

Kata (tatabaddalu), ada yang memahaminya dalam arti menjadikan, karena menukar adalah menjadikan sesuatu di tempat sesuatu yang lain, sehingga atas dasar itu sebagian ulama memahami larangan di atas dalam arti: “Jangan kamu jadikan harta yang buruk buat mereka dan harta yang baik buat kamu, artinya jangan mengambil harta-harta mereka yang bernilai tinggi dan meninggalkan buat mereka yang tidak bernilai. Memang pada masa Jahiliah, banyak wali yang mengambil harta anak yatim yang kualitasnya baik dan menukarnya dengan barang yang sama milik wali, tapi yang berkualitas buruk, sambil berkata bahwa kedua barang itu sama jenis atau kadarnya.[17]

Secara umum berdasarkan penafsiran Quraish Shihab, surat An-Nisa [4] ayat 10 menjelaskan tentang siksaan yang Allah ancam kepada orang-orang yang memakan harta anak yatim dengan cara yang melanggar syariat, melalui kata “secara zalim, yakni bukan pada tempatnya dan tidak sesuai petunjuk agama” yang ditegaskan oleh Quraish Shihab, maka mengindikasikan bahwa ada kebolehan memakan harta anak yatim, bila dilakukan dengan cara yang sesuai tuntunan syariat.

C.    Tafsir Q.S. Al-An'am [6] Ayat 152 

Ayat lain yang menjelaskan terkait dengan harta anak yatim adalah Al-An'am [6] Ayat 152, Allah Swt berfirman:

“Dan janganlah kamu dekati harta anak yatim, kecuali dengan cara yang lebih bermanfaat, hingga sampai ia dewasa. Dan sempurnakanlah takaran dan timbangan dengan adil. Kami tidak memikulkan beban kepada sesorang melainkan sekedar kesanggupannya. Dan apabila kamu berkata, maka hendaklah kamu berlaku adil, kendatipun ia adalah kerabat(mu) , dan penuhilah janji Allah. Yang demikian itu diperintahkan Allah kepadamu agar kamu ingat”. (QS. Al-An’am [6]: 152). [19]

Asbabun nuzul surat Al-An’am [6] ayat 152 ini sama dengan riwayat yang menjelaskan asbabun nuzul surat An-Nisa [4] ayat 10 di atas, mengutip riwayat Muqatil bin Hayyan yang berkata:

نزلت في رجل من غطفان يقال له: مرثد بن زيد، ولي مال ابن أخيه، وهو يتيم صغير، فأكله، فأنزل الله فيه هذه الآية.[20]

Artinya: “Ayat tersebut diturunkan tentang seorang laki-laki dari Ghatafan yang bernama Martsad bin Zaid. Dia menjaga harta milik keponakannya, dan keponakannya itu adalah seorang anak yatim yang masih kecil, maka dia memakannya dan Allah menurunkan ayat ini tentang dia”.

Dalam menafsirkan ayat ini, Quraish Shihab menjelaskan bahwa ayat sebelumnya telah menyebut lima wasiat Allah, yang merupakan larangan-larangan mutlak. Ayat ini melanjutkan dengan larangan yang berkaitan dengan harta setelah sebelumnya pada larangan kelima disebut tentang nyawa. Ini, karena harta adalah sesuatu yang nilainya sesudah nilai nyawa.[22]

Dalam ayat tersebut menunjukkan larangan segala bentuk usaha pembelanjaan yang bisa mengurangi dan menghabiskan harta anak yatim serta berbagai bentuk penggunaan dan pemanfaatan terhadap harta anak yatim diungkapkan dengan al-Aklu (memakan). [24] Hal ini dikarenakan, sebagian besar pembelanjaan dan penggunaan harta yang ada tujuan pokoknya adalah untuk dimakan. Memakan harta anak-anak yatim adalah sebuah dosa besar. [25]

Diriwayatkan bahwa seseorang pernah menukar kambing yang gemuk dan sehat milik anak yatim dengan kambing yang kurus, lalu mereka dilarang melakukan hal tersebut. Yatim arti dasarnya adalah orang yang ditinggal mati oleh ayahnya, kemudian dikhususkan lagi dengan anak yang masih kecil. Berikut keterangan beliau:

واليتيم: من مات أبوه مطلقا، ولكن خصص في الشرع والعرف كما بينت بالصغير[26]

Artinya: “Yatim arti dasarnya adalah orang yang ditinggal mati oleh ayahnya, namun menurut syara' dan kebiasaan, definisi ini dikhususkan lagi, yaitu yang masih kecil”.

Hal ini berdasarkan sabda Rasulullah Saw yang diriwayatkan oleh Abu Dawud dari Ali bin Abi Thalib r.a:

لا يتم بعد احتلام[27]

Artinya: “Tidak ada sebutan anak yatim lagi sesudah mengalami mimpi”.

Namun maksud ayat ini bukan berarti ketika anak-anak yatim masih kecil dan belum mencapai usia akil baligh maka mereka sama sekali tidak diberi dari harta mereka. Akan tetapi maksudnya adalah perintah menjaga harta anak-anak yatim agar tetap utuh, tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang bisa merusak harta mereka tersebut. [28]

Berdasarkan penjelasan yang ada dapat dipahami bahwa ayat-ayat terkait harta anak yatim kesemuanya menegaskan konsep larangan memakan harta anak yatim, larang ini kemudian dimaknai oleh Quraish Shihab dalam arti larangan atas segala macam bentuk penggunaan dan pemanfaatan harta anak yatim yang tidak sesuai dengan tuntunan syariat. Dari redaksi “tidak sesuai dengan tuntunan agama” ini mengindikasikan bahwa dalam pemeliharaan harta anak yatim dibolehkan adanya pengelolaan, penggunaan atau pemanfaatan, bila dilakukan sesuai dengan tuntunan syariat.

Selanjutnya: >>> VOL. 2 - Hukum Mengambil Upah dari Harta Anak Yatim (Kritisi Pandangan Quraish Shihab Dalam Tafsir Al-Misbah)

Footnote:

[1]Kementerian Agama Republik Indonesia,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Halim, 2013),  h. 208.

[2]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 261.

[3]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 261.

[4]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jld. II, (Jakarta:Lentera Hati, 2004), h. 352.

[5]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 352.


[6]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 352.

[7]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 251.

[8]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jld. II, (Jakarta:Lentera Hati, 2004), h. 352.

[9]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 353.

[10]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 353.


[11]Kementerian Agama Republik Indonesia,  Al-Qur’an dan Terjemahnya, (Surabaya: Halim, 2013),  h. 209.

[12]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 261.

[13]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 358.

[14]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah, Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jld. II, (Jakarta:Lentera Hati, 2004), h. 358.

[15]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 358.                                                            


[16]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 337.

[17]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 337.

[18]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 338.

[19]Kementerian Agama Republik Indonesia,  Al-Qur’an dan Terjemahnya…, h. 271.

[20]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 261.


[21]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 267.

[22]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah; Pesan, Kesan dan Keserasian Al-Qur’an, Jld. IV, (Jakarta:Lentera Hati, 2004), h. 344.

[23]M. Quraish Shihab, Tafsir Al Misbah…, h. 344.

[24]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 229.

[25]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 229.


[26]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 229.

[27]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 229.

[28]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld.IV, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 229.

Semoga Bermanfaat...!!

0 Response to "VOL. 1 - Hukum Mengambil Upah dari Harta Anak Yatim (Asbabun Nuzul Q.S An-Nisa' [4] Ayat 6, Ayat 10 dan Q.S. Al-An'am [6] Ayat 152) // Kitabkuning90"

Posting Komentar