MAKALAH QAIDAH | "Al-hudud tasquthu bi al-syubhat" (Dengan Referensi Kitab Kuning) - KitabKuning90 -->

MAKALAH QAIDAH | "Al-hudud tasquthu bi al-syubhat" (Dengan Referensi Kitab Kuning)


الْحُدُودُ تَسْقُط بِالشُّبهَاتِ
MAKALAH QAIDAH | "Al-hudud tasquthu bi al-syubhat" | had | qawaid fiqhiyah
BAB I
PENDAHULUAN
Segala perbuatan yang dilakukan manusia tidak pernah luput dari ruang lingkup hukum Islam yang lima, dan dalam menentukan hukum-hukum tersebut harus sesuai berdasarkan sumber-sumbernya. 

Sumber-sumber hukum Islam atau dalil syar'i, adalah rujukan pengambilan keputusan untuk menghukumi suatu perbuatan dalam syariat Islam dengan cara yang dibenarkan. Semua hukum perbuatan dalam Islam selalu merujuk kepada empat macam rujukan yang disepakati oleh para ulama: Alquran, Sunnah, Ijmak, dan Qiyas

Namun untuk langsung menggali hukum dari keempat sumber ini hanya para Imam Mujtahid lah yang mempunyai kesanggupan, sedangkan para ulama sesudah mereka hanya mengikuti qā’idah-qā’idah praktis yang sudah dibentuk oleh Imam untuk mempermudah para generasi sesudahnya, karena qā’idah-qā’idah tersebut digunakan untuk memecahkan permasalahan hukum fiqh, maka diistilahkan Qawāid Al-Fiqhiyyah yang diartikan sebagai berikut:

الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
Artinya:“Suatu perkara kulli (universal) yang bersesuaian dengan juz’iyah (bagian-bagian) yang banyak yang dari padanya diketahui hukum juz’iyat itu”[1]

Dengan sekian banyaknya qā’idah-qā’idah yang sudah ditetapkan oleh para ulama, baik qā’idah kulli maupun qā’idah juz’i yang kiranya dapat mewakili dalil-dalil hukum bagi kita dalam memahami semua hukum-hukum masalah yang ada, baik itu tentang Ibadah, mu’amalah, munakahah, ataupun jinayah. Tentunya makalah singkat ini juga tidak mungkin dapat menguraikan kesemua Qā’idah-Qā’idah tersebut. 

Oleh karena itu, dalam makalah singkat ini kami hanya akan menguraikan sedikit tentang implementasi dari salah satu qā’idah yang berhubungan dengan masalah keragu-raguan atas suatu perkara, yang dalam kategorinya juga termasuk masalah Syubhāt (ketidak jelasan status sesuatu) dalam hukum Fiqh Syāfi’iyyah dapat berpengaruh menggugurkan beberapa denda/hukuman, yaitu:
الْحُدُودُ تَسْقُط بِالشُّبهَاتِ
Artinya: “Segala hukuman/denda digugurkan dengan sebab adanya Syubhāt (ketidak jelasan)”

Liburan ke London kunjungi tempat ini:
WISATA LONDON INGGRIS
BAB II
PEMBAHASAN
A. Pengertian Hudūd Dan Syubhāt
Hudūd
Hudūd merupakan jamak dari kata Had yang secara etimologi berarti menegah, dan secara terminologi maknanya adalah hukuman yang telah ditentukan batas kadarnya, karena melanggar larangan yang merupakan hak Allah, seperti hukuman potong tangan bagi pencuri, hukuman dera atau rajam bagi pezina, dan sebagainya.[2] 

Keterangan ini sesuai dengan definisi yang dipaparkan oleh Syaikh Muhammad Mustafa Al-Zuhaily dalam karangannya Al-Qawāid Al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātihā Fī Al-Mazāhib Al-Arba’ah sebagai berikut:
الحدود: جمع حد، وهو عقوبة مقدرة شرعاً حقاً لله تعالى
Artinya: “Kata Al-Hudūd adalah jamak dari kata Had, yang berarti Hukuman-hukuman yang sudah ditentukan batas kadarnya menurut syara’ yang merupakan hak Allah Ta’ala”[3]

Memandang makna Had secara etimologi, Abi Al-Qadhi Muhammad Yasin mengutip pendapat Syaikh Al-Haraniy di dalam karangannya Al-Fawāid Al-Janiyyah yang menyatakan bahwa makna hakikat dari kata “Had” adalah sebuah batas pemisah antara dua perkara yang berlawanan, 

Beliau juga menyatakan bahwa kata “Had” selain bermakna al-man’u (tegah) juga dapat diartikan sebuah ukuran, yang kemudian dari kedua makna tersebut disesuaikan dan diistilahkan kepada beberapa hukuman yang telah ditetapkan dalam syariat. [4]

Kesesuaian makna Had (hukuman/denda) dalam syara’ dengan makna al-man’u (tegah) yaitu karena dengan adanya Had-Had tersebut, dapat menegah seseorang untuk melakukan dosa-dosa tertentu, dan dengan adanya Had tersebut pula dapat membantu seseorang dalam menghindari perbuatan dosa tersebut. Adapun kesesuaian Had dengan makna ukuran, karena Had adalah denda/hukuman yang sudah ditentukan oleh Allah ukurannya dan tidak boleh dilebihkan.

Memandang dari sisi bentuk hukumannya, Syaikh Abi Zakariya Al-Anshary membagi Hudūd (hukuman) menjadi tiga bagian:[5]
1. Hukuman mati
2. Hukuman potong anggota tubuh
3. Hukuman dalam bentuk pukul

Hukuman mati berlaku pada 4 kasus perkara, yaitu:
1. Murtad (keluar dari Islam), di hukum pancung bila tersangka tidak mau kembali ke Agama Islam setelah dibujuk dan dipaksa oleh hakim.
2. Zina Muhsan (orang yang  sudah menuikah), dirajam dengan dilempari batu-batu kecil yang menyakitkan sampai mati.
3. Orang yang meninggalkan shalat 5 waktu karena malas.
4. Perampok yang mengambil harta serta membunuh korbannya, maka dihukumi mati juga.

Adapun Hukuman potong anggota tubuh berlaku pada dua kasus perkara, yaitu:
1. Pencuri, yang dihukum dengan cara potong tangan
2. Perampok yang hanya merampas harta saja tanpa membunuh korbannya, dihukum dengan cara potong tangan juga. Ketentuan ini bila harta curian dan rampasan tersebut mencapai batasan yang telah ditentukan dalam syara’.

Sedangkan Hukuman Pukul berlaku pada tiga kasus perkara, yaitu:
1. Pemabuk/peminum khamar, dihukum dengan cara dijilid (cambuk) sebanyak 40 kali.
2. Tuduhan, dihukum dengan cara dijilid sebanyak 80 kali
3. Zina ghairu muhsan (orang yang belum menikah), dihukum dengan cara dijilid sebanyak 100 kali
Syubhāt

Ibn Syuraih menjelaskan dalam kitab Al-Wada’i bahwa Syubhāt adalah sesuatu yang tidak diketahui dengan pasti kehalalannya atau keharamannya. Sementara Ibnu Nujaym menyatakan bahwa Syubhāt adalah sesuatu yang harus ditunda sehingga menjadi tidak ada kepastian lagi.[6] 

Demikian juga Syeh Muhammad Yasin Al-Fadany menjelaskan bahwa kata Syubhāt adalah jamak dari syubuhah yang secara etimologi berarti samar-samar sebuah urusan sehingga menyerupai urusan lain yang padahal urusan pertama bukanlah urusan yang lain tersebut pada hakikat.[7]

Berdasarkan penjelasan di atas dapat difahami makna qā’idah “Al-Hudūd Tasquthu bi Al-Syubhāt” adalah segala hukuman/denda yang telah ditetapkan dalam syariat karena kasus pidana, digugurkan dengan sebab adanya ketidak jelasan perkara, Maka hukuman-hukuman tersebut tidak boleh lagi ditegakkan. Ketidak jelasan perkara tersebut meliputi tiga aspek, yaitu:

Ketidak jelasan pada sang pelaku pidana, karena sang pelaku tindak pidana menganggap perkara tersebut dibolehkan/halal.
Ketidak jelasan pada objek terjadinya perkara, karena pada objek yang menjadi korban tersebut terdapat hal yang kiranya membolehkan perkara.
Ketidak jelasan pada status Hukum, karena ada pendapat yang membolehkan perkara tersebut.

Hal ini sesuai dengan apa yang disampaikan oleh Imam As-Suyuthi dalam sebuah karangannya sebagai berikut:

الشُّبْهَة تُسْقِطُ الْحَد سَوَاءٌ كَانَتْ فِي الْفَاعِل، كَمَنْ وَطِئَ امْرَأَة ظَنَّهَا حَلِيلَتَهُ أَوْ فِي الْمَحَل، بِأَنْ يَكُونَ لِلْوَاطِئِ فِيهَا مِلْكٌ أَوْ شُبْهَةٌ، كَالْأَمَةِ الْمُشْتَرَكَةِ، وَالْمُكَاتَبَةِ أَوْ فِي الطَّرِيقِ بِأَنْ يَكُونَ حَلَالًا عِنْدَ قَوْمٍ

Artinya: “Syubhāt (ketidakjelasan perkara) dapat menggugurkan Had/hukuman, baik itu pada pelakunya, seperti seorang laki-laki yang menyetubuhi seorang perempuan yang disangka istrinya, atau Syubhāt pada objek perkara, seumpama pada wanita yang disetubuhi tersebut terdapat hak milik bagi si pelaku atau terdapat ke-Syubhāt-an, seperti hamba sahaya yang dikongsikan kepemilikanya dan juga seperti hamba sahaya mukatabah, atau Syubhāt pada status hukum perkara tersebut, yaitu terdapat sebagian ulama yang membolehkan perkara tersebut.”[8]

Wisata ke London kunjungi tempat indah ini:
WISATA LONDON LIBURAN INGGRIS
B.Sumber Qā’idah
Salah satu esensi hukum yang terkandung dalam Qā’idah asasi berkenaan dengan keyakinan dan keraguan adalah keharusan untuk menjalan-kan syari’at Islam diatas keyakinan dan meninggalkan keraguan. Pemahaman qā’idah tersebut kiranya juga mencakup kepada permasalahan Qā’idah “Al-Hudūd Tasquthu bi Al-Syubhāt”, 

dimana seorang hakim tidak boleh menegakkan dan menerapkan suatu hukuman atas tindak kriminal apabila terdapat ketidak jelasan perkara. Rasulullah dalam sebuah Hadis menyatakan bahwa dalam masalah mengambil keputusan atas hukuman tindak pidana, hendaklah seseorang berpegang kepada hal yang meyakinkan dan membuang hal yang meragukan, 

sehingga tidak boleh diberlakukan suatu hukuman apabila terdapat ketidak jelasan perkara, karena seorang hakim lebih baik salah dalam keputusan untuk memaafkan perkara dari pada salah dalam menetapkan hukuman perkara, demikian Rasulullah bersabda:

ادْرَءُوا الْحُدُودَ عَنْ الْمُسْلِمِينَ مَا اسْتَطَعْتُمْ، فَإِنْ وَجَدْتُمْ لِلْمُسْلِمِ مَخْرَجًا، فَخَلُّوا سَبِيلَهُ، فَإِنَّ الْإِمَامَ لَأَنْ يُخْطِئَ فِي الْعَفْوِ خَيْرٌ مِنْ أَنْ يُخْطِئَ فِي الْعُقُوبَةِ

Artinya: “Hindarilah hukuman-hukuman dari pada kaum muslim sedapat mungkin, jika ada jalan keluar bagi tersangka (untuk bebas dari hukuman) maka bebaskanlah. Sesungguhnya kesalahan imam (hakim) dalam memberi pemaafan itu lebih baik disbanding dengan kesalahannya dalam memberikan hukuman.”[9]

Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadaniy memberikan penjelasan tentang Hadis tersebut, bahwa Imam yang dimaksudkan dalam Hadis di atas adalah hakim yang mengadili sebuah perkara pidana, dan menjadi suatu kewajiban bagi hakim dalam mengadili kaum muslimin untuk mencari jalan keluar agar dapat membebaskan kaum muslimin dari hukuman-hukuman, kecuali fakta dan bukti-bukti sudah jelas dan tidak mungkin dipungkiri lagi. 

Seorang hakim lebih baik memaafkan dari pada memberi hukuman karena memandang resiko kesalah yang terdapat pada memaafkan, dimana kesalahan dalam memberi kemaafan sama sekali tidak memudharatkan orang lain, berbeda dengan kesalahan dalam mengambil keputusan menghukum seseorang yang kemudian akan memudharatkan orang tersebut.[10]

Tuntutan untuk lebih baik memaafkan ini juga jelas Allah nyatakan dalam Firman-Nya sebagai berikut:

Artinya: “Sesungguhnya orang-orang yang ingin agar (berita) perbuatan yang Amat keji itu tersiar di kalangan orang-orang yang beriman, bagi mereka azab yang pedih di dunia dan di akhirat. dan Allah mengetahui, sedang, kamu tidak mengetahui.”[11]

Dalam ayat ini mengisyarahkan bahwa Allah melarang membuka kekejian-kekejian yang dilakukan orang-orang mukmin, dan menganjurkan untuk menutupinya. Sehingga bila ada tersangka yang datang kepada hakim mengakui perbuatan kriminal yang mewajibkan Had, 

namun tidak dirincikan kronologi kejadiannya, maka disunnahkan bagi hakim untuk tidak menuntut kejelasan kronologi kejadiannya dan bahkan disunnahkan juga untuk menutupinya, kalaupun mungkin untuk membujuk tersangka tersebut agar mau merujuk ucapannya maka lebih baik pengakuannya tersebut dirujuk saja.[12]

Dalam Hadis lain yang diriwayatkan oleh Ibn ‘Adiy dari Ibn Abbas Rasulullah juga bersabda:
ادْرَءُوا الْحُدُودَ بِالشّبُهَاتِ
Artinya: “Hindarilah Had-Had dengan sebab adanya Syubhāt”

Syaikh Muhammad Yasin Al-Fadany didalam karangannya Al-Fawāid Al-Janiyyah menjelaskan bahwa maksud dari kata “idra’u Al-Hudūd” dalam Hadis diatas adalah “Hindarilah dari menetapkan dan menegakkan Had-Had yaitu dengan cara meninjau kembali dan meneliti perkara apakah ada celah alasan yang dapat membatalkan hukuman Had, dan makna tuntutan yang terkandung di dalam Hadis tersebut ditujukan khusus kepada para hakim.”[13]

Terkait dengan Hadis di atas, adapun kata “Al-Syubhāt” dalam Hadis tersebut tidak diperdapatkan dalam riwayat imam-imam Muhaddits yang masyhur, akan tetapi banyak imam-imam Muhaddits yang lain yang meriwayatkan Hadis yang serupa dengan menggunakan lafat tersebut, diantaranya Abu Muslim Al-Kajiy, Ibn Al-Sam’ani, Musaddad Ibn Musrahad Al-Bishri, dan lain-lain, sehingga Syaikh Ibn Hajar Al-Ashqalani berkomentar “walaupun jalur sanad Hadis ini dha’if, namun Hadis ini tergolong kedalam Hadis Mauquf yang hasan sanannya” karena didukung oleh sanad-sanad Hadis lain yang serupa.

Dan terdapat Hadis riwayat Ibn Majjah dari Abi Hurairah yang senada juga dengan Hadis di atas sebagai berikut:[14]
ادْفَعُوا الْحُدُودَ مَا اسْتَطَعْتُمْ
Artinya; “Hindarilah Had-Had sedapat mungkin”

Melalui redaksi kata  “  مَا اسْتَطَعْتُمْ “  dalam Hadis tersebut  dapat difahami maksudnya seorang hakim dituntut untuk menghindari dari menetapkan sebuah hukuman Had serta menjalankannya selama hakim tersebut mampu untuk mendapatkan jalan keluar dalam syara’ yang bisa membebaskan tersangka dari hukuman Had, sehingga seorang hakin dilarang serta merta menetapkan hukuman kepada tersangka kecuali bila perkara sudah jelas dan pasti yang tiada punya celah lagi untuk menghindari hukuman Had.

Menjadi salah satu sumber dalil pula sebuah Hadis yang mengisahkan tentang seorang Sahabat yang mengaku telah berbuat zina di hadapan Nabi. Sahabat ini ingin agar Nabi menegakkan hukuman Had kepadanya. Nabi tidak serta merta langsung menegakkan Had. Beliau shallallahu ‘alaihi wasallam malah mengajukan beberapa kemungkinan kepada Sahabat tersebut. 

Beliau bersabda: “mungkin engkau hanya sekedar mencium, atau meraba, atau sekedar melihat (tidak sampai berzina)”. Namun Sahabat tersebut terus menerus menyampaikan pengakuannya dan menolak kemungkinan-kemungkinan yang dipaparkan oleh Nabi. Pada akhirnya, Nabi harus menegakkan Had tersebut karena sudah tidak ada lagi kesamaran atau ketidak pastian.[15]

Yang menjadi sisi pendalilan dalam kisah tersebut adalah bagaimana Nabi berusaha mencari kemungkinan-kemungkinan yang bisa mencegah penegakan Had tersebut. Itu terlihat jelas dari pertanyaan-pertanyaan yang diajukan oleh Nabi kepada Sahabat yang mengaku berzina tersebut. 

Tour ke Inggris kunjungi tempat ini:
WISATA LONDON LIBURAN INGGRIS
C. Penerapan Qā’idah Pada Fiqh
Ketika kadar hukuman Hudūd yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat keras dan diharuskan untuk dikerjakan, maka itu merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan. Namun, jika terdapat Syubhāt (perkara yang tidak jelas), maka hukuman Hudūd digugurkan atau diringankan.[16] 

Atas dasar keringanan hukum tersebut, maka Syubhāt yang dapat menggugurkan Had itu pun disyaratkan haruslah Syubhāt yang kuat dan pasti, sehingga dengan Syubhāt yang ada menjadi sebuah pertimbangan besar untuk terhindar dari Hudūd, 

namun apabila Syubhāt yang ada tidak kuat dalilnya, maka Syubhāt tersebut tidak bisa menggugurkan Had yang ada dan Had harus tetap ditegakkan.  Ketidak jelasan perkara tersebut meliputi tiga aspek, yaitu:

Syubhāt Fā’il
Syubhāt Fā’il adalah Ketidak jelasan perkara yang terjadi pada sang pelaku pidana, karena sang pelaku tindak pidana menganggap perkara tersebut dibolehkan/halal,

Contoh kasus:
Seorang laki-laki berzina dengan seorang wanita yang menurut anggapannya wanita tersebut adalah istri sahnya ataupun hamba sahayanya yang halal untuk disetubuhi, maka dalam hal ini laki-laki tersebut tidak bisa dikenakan Had karena dalam kejadian, sang lelaki tersebut melakukannya beserta berkeyakinan halal, walau pada kenyataannya adalah wanita lain.

Syubhāt mahal
Syubhāt mahal adalah Ketidak jelasan yang terjadi pada objek terjadinya perkara, karena pada objek yang menjadi korban tersebut terdapat hal yang kiranya membolehkan perkara.

Contoh kasus:
Terjadi perzinaan dengan wanita hamba sahaya yang pada diri hamba perempuan tersebut terdapat hak kepemilikan bagi si pelaku, seumpama hamba sahaya yang dikongsikan antara beberapa pemilik.
Begitu juga tidak ditegakkan Had terhadap seseorang yang mencuri harta yang status harta tersebut masih diragukan kepemilikannya. Apakah itu millik dia sendiri, ayahnya ataukah saudaranya. 

Demikian pula sebaliknya seorang ayah mencuri harta anaknya, juga tidak dapat ditegakkan Had karena pada harta anak ada bagian yang wajib dinafahkan untuk sang ayah, maka boleh jadi harta yang dicuri tersebut adalah harta yang memang menjadi hak sang ayanh sebagai nafaqah.

Gugurnya Had pula berlaku pada hukum qishash, dimana bila seorang laki-laki merdeka membunuh seseorang yang tidak diketahui identitasnya apakah korban tersebut muslim atau kafir, ataupun tidak diketahui apakah korban tersebut orang merdeka ataupun hamba sahaya, karena Syubhāt mahal (korban).

Syubhāt khilaf
Syubhāt khilaf adalah Ketidak jelasan pada status Hukum, karena ada pendapat yang membolehkan perkara tersebut.

Contoh kasus:
Meminum khamar dengan tujuan sebagai obat penyakit kronis, dikarenakan ada sebagian ulama yang membolehkan minum khamar disaat kondisi demikian maka atas hukum yang masih terjadi khilafiah tersebut tidak boleh ditegakkan hukum Had.[17]

Digugurkannya hukum Had pada kasus perzinaan yang diatas namakan dengan akan nikah yang menurut pendapat sebagian ulama dianggap sah, seperti nikah mut’ah, nikah tanpa wali dan saksi.[18]

Digugurkan pula Had tuduh pada kasus tuduhan zina yang dibuktikan dengan empat orang saksi namun dari sisi lain Hadir juga empat orang saksi yang menyatakan bahwa sang wanita sipelaku zina masih dalam kondisi perawan, digugurkan Had tuduhan tersebut karena boleh jadi benar terjadi zina tanpa menghilangkan keperawanan dan digugurkan juga Had zina atas wanita tersebut karena Syubhāt saksi.

Demikian pula digugurkan Had orang yang meninggalkan shalat wajib lima waktu ketika dalam keadaan faqid thahurain (orang yang tidak memperoleh air dan tanah untuk bersuci).[19]
Imam As-Suyuthi dalam sebuah karangannya menjelaskan hal demikian sebagai berikut:

الشُّبْهَة تُسْقِطُ الْحَدّ سَوَاءٌ كَانَتْ فِي الْفَاعِل، كَمَنْ وَطِئَ امْرَأَة ظَنَّهَا حَلِيلَتَهُ أَوْ فِي الْمَحَلّ، بِأَنْ يَكُونَ لِلْوَاطِئِ فِيهَا مِلْكٌ أَوْ شُبْهَةٌ، كَالْأَمَةِ الْمُشْتَرَكَةِ، وَالْمُكَاتَبَةِ. وَأَمَةِ وَلَدِهِ وَمَمْلُوكَتِهِ الْمَحْرَم أَوْ فِي الطَّرِيقِ بِأَنْ يَكُونَ حَلَالًا عِنْدَ قَوْمٍ، حَرَامًا عِنْدَ آخَرِينَ، كَنِكَاحِ الْمُتْعَةِ، وَالنِّكَاحِ بِلَا وَلِيٍّ أَوْ بِلَا شُهُودٍ، وَكُلّ نِكَاحٍ مُخْتَلَفٍ فِيهِ، وَشُرْبُ الْخَمْرِ لِلتَّدَاوِي. وَإِنْ كَانَ الْأَصَحُّ تَحْرِيمُهُ، لِشُبْهَةِ الْخِلَافِ.
وَكَذَا يَسْقُطُ الْحَدُّ بِقَذْفِ مَنْ شَهِدَ أَرْبَعَةٌ بِزِنَاهَا، وَأَرْبَعٌ أَنَّهَا عَذْرَاءُ، لِاحْتِمَالِ صِدْقِ بَيِّنَةِ الزِّنَا، وَأَنَّهَا عَذْرَاءُ لَمْ تَزُلْ بَكَارَتُهَا بِالزِّنَا. وَسَقَطَ عَنْهَا الْحَدُّ لِشُبْهَةِ الشَّهَادَة بِالْبَكَارَةِ. وَلَا قَطْعَ بِسَرِقَةِ مَالِ أَصْلِهِ، وَفَرْعِهِ وَسَيِّدِهِ، وَأَصْلِ سَيِّدِهِ وَفَرْعه، لِشُبْهَةِ اسْتِحْقَاقِ النَّفَقَةِ وَسَرِقَةِ مَا ظَنَّهُ مِلْكَهُ، أَوْ مِلْكَ أَبِيهِ أَوْ ابْنِهِ.
وَلَوْ ادَّعَى كَوْنَ الْمَسْرُوقِ مِلْكَهُ. سَقَطَ الْقَطْعُ، نَصَّ عَلَيْهِ لِلشُّبْهَةِ. وَهُوَ اللِّصُّ الظَّرِيفُ وَنَظِيرُهُ: أَنْ يَزْنِيَ بِمَنْ لَا يَعْرِفُ أَنَّهَا زَوْجَتُهُ. فَيَدَّعِي أَنَّهَا زَوْجَتُهُ، فَلَا يُحَدَّ.
وَلَا يُقْتَلُ فَاقِدُ الطَّهُورَيْنِ بِتَرْكِ الصَّلَاةِ مُتَعَمِّدًا، لِأَنَّهُ مُخْتَلَفٌ فِيهِ. وَكَذَا مَنْ مَسَّ أَوْ لَمَسَ وَصَلَّى مُتَعَمِّدًا وَهُوَ شَافِعِيٌّ، أَوْ تَوَضَّأَ وَلَمْ يَنْوِ. ذَكَرَهُ الْقَفَّالُ فِي فَتَاوِيهِ.
وَيَسْقُطُ الْقِصَاصُ أَيْضًا بِالشُّبْهَةِ، فَلَوْ قَدَّ مَلْفُوفًا وَزَعَمَ مَوْتَهُ، صُدِّقَ الْوَلِيُّ وَلَكِنْ تَجِبُ الدِّيَةُ دُونَ الْقِصَاصِ لِلشُّبْهَةِ وَلَوْ قُتِلَ الْحُرُّ الْمُسْلِمُ: مَنْ لَا يُدْرَى أَمُسْلِمٌ أَوْ كَافِرٌ؟ وَحُرٌّ أَوْ عَبْدٌ؟ فَلَا قِصَاصَ لِلشُّبْهَةِ نَقَلَهُ فِي أَصْلِ الرَّوْضَةِ، عَنْ الْبَحْرِ.

Artinya: “Syubhāt dapat menggugurkan Had, baik Syubhāt tersebut pada si pelaku, seperti laki-laki yang menzinahi seorang wanita yang disangka istrinya sendiri, atau Syubhāt pada objek terjadinya perkara, seperti pada diri wanita yang dizinahi terdapat hak kepemilikannya,seumpama sahaya yang dikongsikan, hamba sahaya mukatabah (hamba sahaya yang diberikan kesempatan mencari biaya untuk menebus dirinya sendiri), 

hamba sahaya ummu walad (hamba yang melahirka anak hasil berhubungan dengan said), dan hamba sahaya yang merupakan mahramnya, atau pun Syubhāt yang terjadi pada beberapa jalur pendapat, dimana kasus perkara tersebut dihukumi halal menurut sebagian ulama, seperti nikah mut’ah, nikan tanpa wali dan saksi, dan seluruh nikah yang diperselisihkan hukum keashahannya, dan meminum miras dengan tujuan untuk obat, sekalipun tetap diharamkan menurut pendapat yang kuat, karena Syubhāt khilaf. 

Demikian pula digugurkan Had tuduh  seseorang yang didukung empat orang saksi yang menyatakan seorang perempuan telah berzina, serta Hadi empat saksi lain yang menyatakan perempuan tersebut masih dalam keadaan perawan, gugur Had tuduh karena mungkin benar saksi zina beserta terjadi perzinaan tanpa merusak keperawanan, dan perempuan tersebut pun bebas dari Had zina karena Syubhāt saksi zina dengan sebab keperawanannya. 

Dan tidak dipotong tangan seseorang dengan sebab mencuri harta ayahnya, anaknya, saidnya, ayah saidnya dan anak saidnya, karena Syubhāt berhak nafaqah, dan mencuri harta yang disangka miliknya, atau milik ayahnya atau milik anaknya. 

Dan jika seseorang mendakwa bahwa harta yang dicurinya adalah harta miliknya sendiri, maka digugurkan hukuman potong tangan karena Syubhāt, bandingannya adalah bila seorang laki-laki menzinahi perempuan yang tidak diketahui bahwa dia adalah istrinya sendiri, kemudian laki-laki tersebut mendakwa bahwa perempuan tersebut adalah istrinya, maka gugur pula Hadnya, 

Dan tidak dihukum pancung orang yang meninggalkan shalat karena tidak mendapatkan air dan tanah, karena pada masalah tersebut ada khilaf, demikian pula orang yang bersentuhan kulit dengan lawan jenis kemudian shalat, padahal dia bermazhab Syafi’i, atau berwudhu’ tanpa niat,  juga tidak dikenakan Had karena Syubhāt khilaf. 

Dan digugurkan qishash pula dengan sebab Syubhāt, maka jikalau seorang laki-laki merdeka membunuh orang lain yang tidak diketahui apakah dia muslim atau kafir, ataupun merdeka atau hamba, maka tidak dikenakan qishash karena Syubhāt.”

Dalam sebuah Hadis juga pernah terdapat praktek penerapan Qā’idah “Al-Hudūd Tasquthu bi Al-Syubhāt”, yaitu Hadis yang mengisahkan seorang laki-laki datang mengaku di hadapan Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa dia telah berzina dengan seorang wanita. Laki-laki tersebut bahkan menyebutkan nama wanita tersebut. 

Namun ketika dikonfirmasi, ternyata si wanita membantah dan tidak mengakui hal tersebut. Maka ditegakkanlah Had (hukuman cambuk) pada si laki-laki atas dasar pengakuannya tersebut. Adapun si wanita, ia terbebas dari hukuman Had.[20]

Kisah dalam Hadits shahih di atas adalah salah satu contoh penerapan Qā’idah “alHudūd tasquthu bi Al-Syubhāt”. Di mana si wanita terbebas dari hukuman Had dikarenakan tidak adanya bukti kuat dan meyakinkan yang menghilangkan kesamaran. 

Bahkan pada kasus perzinaan di mana 3 orang saksi melihat secara langsung perzinaan tersebut, namun saksi ke-4 kurang yakin telah menyaksikan dengan jelas, atau ia tidak bisa menyifatkan perzinaan tersebut, maka persaksian mereka batal dan orang yang tertuduh, bebas dari hukuman Had.[21]

Wisata London berlibur ke Inggris jangan lupa mampir kesini:
WISATA LONDON LIBURAN INGGRIS
D.Qā’idah-Qā’idah Yang Berkaitan
Setiap Qā’idah Fiqhiyyah mempunyai keterkaitan dengan beberapa Qā’idah-Qā’idah yang lain, baik keterkaitan dengan Qā’idah asalnya yang lebih umum, keterkaitan dengan Qā’idah furu’nya yang lebih khusus, ataupun dengan sesama Qā’idah juz’iy yang khusus. Adapun Qā’idah “Al-Hudūd Tasquthu bi Al-Syubhāt” merupakan cabang dari sebuah Qā’idah yang lebih umum dari padanya yaitu:[22]
 -حقوق الله مبنية على المسامحة
Artinya: “Hak-hak Allah dibangun atas dasar toleransi”

Maksud dari Qā’idah ini adalah hak-hak Allah itu dibangun atas dasar kemudahan, sedangkan hak-hak hamba itu dibangun atas dasar tuntutan. Maka hak seorang hamba tidak dapat digugurkan kecuali dangan seizinnya, dan hanya hak-hak Allah saja yang memungkinkan untuk ditoleransi dengan semata-mata.

Allah Ta’ala berfirman:
Artinya:“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.”[23] (QS. Al-Baqarah: 185)

Contoh kasus:
Apabila ada seorang laki-laki mengaku bahwa ia telah berbuat zina. Kemudian ia menarik pengakuannya sebelum ditegakkan hukuman Had. Maka, pengakuan yang pertama tidak dianggap dan tidak ditegakkan hukuman kepadanya. Sebab, Had zina merupakan hak-hak Allah Ta’ala. 

Apabila kejahatan yang dilakukan berkaitan dengan hak manusia seperti pembunuhan yang mewajibkan qishash, maka harus ditegakkan Had. Kecuali apabila wali yang menjadi korban memaafkannya.

Adapun Qā’idah ini diistimbat melalui dua Qā’idah yang lebih umum lagi, yaitu:
 -الضرورات تبيح المحظورات
Artinya: “Kemudharatan dapat membolehkan hal-hal yang diharamkan”
 -الاضطرار لا يبطل حق الغير
Artinya: “Kemudharatan tidak dapat membatalkan hak orang lain”

Dengan menggabungkan dua Qā’idah tersebut, dapat diambil sebuah pemahaman bahwa kondisi dharurat (kemudharatan) yang dapat membolehkan hal-hal terlarang hanya berlaku pada hak Allah SWT saja dan tidak berlaku pada hak anak Adam. 

Sebagaimana yang dipaparkan oleh Syaikh Abd Ar-Rahman ibn Shalih Abd Al-Latif dalam sebuah karangannya Al-Qawāid wa Al-Dhawābith Al-Fiqhiyyah Al-Mutadhammīn li Al-Tasyīr sebagai berikut:

ويستفاد معناها من مجموع قاعدتي (الضرورات تبيح المحظورات) ، و (الاضطرار لا يبطل حق الغير) حيث يتبين أن إباحة المحظور في حال الاضطرار مطلقا إنما هو فيما يتعلق بحق الله سبحانه، أما فيما يتعلق بحق الآدمي فإنه وإن أبيح في حال الضرورة إلا أنه مشروط بضمانه

Artinya: “ Makna Qā’idah tersebut difahami melalui gabungan dua Qā’idah, yaitu “Kemudharatan dapat membolehkan hal-hal yang terlarang” dan “Kemudharatan tidak dapat membatalkan hak orang lain” sekira-kira telah nyata bahwa membolehkan hal yang diharamkan karena dalam kondisi dharurat secara umum hanya berlaku pada kasus-kasus yang berkenaan dengan hak Allah SWT, adapun pada kasus yang menyangkut dengan hak anak Adam maka sekalipun ada juga yang dibolehkan ketika dharurat namun berkewajiban untuk membayar ganti ruginya.”[24]

Qā’idah “al-hudūd tasquthu bi Al-Syubhāt” disamping mempunyai kaitan dengan Qā’idah-Qā’idah lain yang lebih umum seperti Qā’idah di atas, juga mempunyai keterkaitan dengan Qā’idah lain yang sama-sama lebih khusus pemakaiannya, seperti Qā’idah berikut:
الأَصْلُ تَفْوِيْضُ الحَدِّ إِلَى الإِمَامِ أَوْ مَنْ يَنُوْبُ عَنْهُ
Artinya: “Pada dasarnya yang memiliki wewenang melaksankan Hudūd adalah pemimpin atau wakilnya.”[25]

Makna Qā’idah
Sesungguhnya penegakkan Hudūd dalam syari’at Islam adalah hak seorang pemimpin, maka Hudūd tidak ditegakkan kecuali oleh seorang pemimpin atau wakilnya.

Dalil Qā’idah
Dalam sebuah kisah seorang buruh yang berzina dengan istri tuannya, Rasulullah saw bersabda:
وَاغْدُ يَا أُنَيْسُ عَلَى امْرَأَةِ هَذَا فَإِنْ اعْتَرَفَتْ فَارْجُمْهَا فَغَدَا عَلَيْهَا فَاعْتَرَفَتْ فَرَجَمَهَا

Artinya: “Dan pergilah Unais Al Aslami ke istri orang ini, jikau dia mengakuinya, maka rajamilah dia." Unais akhirnya pergi menemui istri orang tersebut, dan dia mengakuinya, maka ia merajamnya.”(HR. Bukhari: no. 6827 dan Muslim, no. 4435 )[26]

Hadits ini menunjukkan bahwa yang berhak menegakkan Hudūd adalah seorang hakim, baik dia sendiri yang malaksanakannya atau memerintahkan kepada wakilnya.
Pengecualian Qā’idah ini diantaranya:

Apabila seseorang melihat orang lain menzinai istrinya, dan orang itu telah menikah, maka ia boleh membunuhnya pada saat itu juga dan tidak ada ta’zir baginya. Meskipun tanpa meminta pertimbangan dari imam.[27]

Seorang majikan boleh menegakkan Hudūd terhadap budaknya. Ini pendapat jumhur ulama’. Sedangkan hanafiyah berpendapat tidak diperbolehkan kecuali dengan izinnya seorang imam. Namun, pendapat jumhur lebih kuat, sebab dalil yang dijadikan hujjah oleh hanafiyah dha’if.
الحُدُوْدُ تَتَدَاخُلُ
Artinya: “Hukuman Hudūd itu saling tumpang tindih"[28]

Makna Qā’idah
Qā’idah umum dalam syari’at Islam bahwa Hudūd itu tumpang tindih dengan yang lainnya, maka tidak ditegakkan Hudūd terhadap pelakunya kecuali sekali Had saja apabila ia berulang kali melakukan kejahatan. Artinya tidak dihukum pada setiap tindakannya. Sebab, maksud dari penegakkan Hudūd adalah mencegah dari tindakan kriminal dan dengan sekali Had saja sudah cukup. Dalil Qā’idah ini diantaranya:
Astar Ibnu Mas’ud r.a :
إِذَا جَاءَ القَتْلُ مَحَا كُلَّ سَيْئٍ
Artinya: “Apabila terjadi hukuman bunuh, maka ia menghapus seluruh hukuman Had.”

Pendapat para ulama tentang Qā’idah ini: [29]
Apabila seseorang terkena beberapa macam hukuman Hudūd, maka tidak akan lepas dengan tiga hal:

1.      Hudūd yang murni untuk Allah Ta’ala, dan ini ada dua macam:
Apabila seseorang terkena beberapa macam hukuman Hudūd dan di dalamnya ada hukuman bunuh. Menurut jumhur ulama’ (hanafiyah, hanabilah dan malikiyah) bahwa ia cukup dibunuh. Sedangkan menurut Syāfi’iyah, harus ditegakkan semua hukuman mulai dari yang paling ringan.
Apabila seseorang terkena beberapa macam hukuman Hudūd dan tidak ada hukuman bunuh. Para ulama’ sepakat harus ditegakkan seluruhnya.[30]

2.      Hudūd yang murni untuk manusia seperti qishash atau Had qadzaf . dalam hal ini ada dua pendapat:
Malikiyah berpendapat bahwa seluruh Had itu masuk pada hukumsn bunuh kecuali Had qadzaf . Maka, ia cukup dikenakan Had qadzaf kemudian dibunuh.
Hanabilah, Syāfi’iyah dan hanafiyah berpendapat bahwa seluruhnya harus ditegakkan mulai dari yang paling ringan. Sebab, ia berkaitan dengan hak manusia.[31]

3.      Bertemunya Hudūd yang berkaitan dengan hak-hak Allah Ta’ala dan hak-hak manusia. Dalam hal ini ada tiga macam:

Di dalamnya tidak terdapat hukum bunuh. Menurut empat imam madzhab, seluruh hukuman harus dilaksanakan.
Di dalamnya terdapat hukum bunuh. Menurut jumhur ulama, yang berkaitan dengan hak-hak Allah cukup dengan hukum bunuh. Sedangkan yang berkaitan dengan hak-hak manusia dilaksankan seluruhnya.

Apabila hukuman yang berkaitan dengan hak Allah sama dengan hak manusia, seperti qishahs dan rajam bagi pezina, maka didahulukan qishash.[32]
الأَصْلُ أَنَّ الحُدُوْدَ لَا تُسْقَطُ بِالتَّوْبَةِ
Artinya: “Pada dasarnya Hudūd tidak bisa digugurkan dengan taubatnya seseorang”[33]

Makna Qā’idah:
Apabila seseorang bertaubat, kemudian menjauhi maksiat dan kejahatan yang telah diperbuat, maka sesungguhnya hukuman yang telah ditentukan oleh Allah Ta’ala kepadanya tidak dapat digugurkan.

Dalil Qā’idah ini diantaranya:
Dari Shafwan bin Umayyah, ia berkata:
كُنْتُ نَائِمًا فِي الْمَسْجِدِ عَلَيَّ خَمِيصَةٌ لِي ثَمَنُ ثَلَاثِينَ دِرْهَمًا فَجَاءَ رَجُلٌ فَاخْتَلَسَهَا مِنِّي فَأُخِذَ الرَّجُلُ فَأُتِيَ بِهِ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَأَمَرَ بِهِ لِيُقْطَعَ قَالَ فَأَتَيْتُهُ فَقُلْتُ أَتَقْطَعُهُ مِنْ أَجْلِ ثَلَاثِينَ دِرْهَمًا أَنَا أَبِيعُهُ وَأُنْسِئُهُ ثَمَنَهَا قَالَ فَهَلَّا كَانَ هَذَا قَبْلَ أَنْ تَأْتِيَنِي بِهِ

Artinya: "Aku tidur di dalam masjid dengan berselimut kain seharga tiga puluh dirham. Lalu datang seorang laki-laki dan mencuri kain tersebut dariku. laki-laki itu tertangkap dan dibawa ke hadapan Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam. Beliau lantas memerintahkan untuk memotong tangannya. Aku mendatangi beliau dan bertanya, "Apakah engkau akan memotongnya hanya karena tiga puluh dirham? Padahal bisa saja aku jual kain itu dan pembayarannya ditangguhkan?" Beliau bersabda: "kenapa hal tersebut tidak kamu lakukan sebelum kamu membawanya kepadaku?"[34]

Pendapat para ulama tentang Qā’idah ini:
Para ulama bersepakat bahwa jika ada seorang perampok telah tertangkap sebelum bertaubat, maka tetap ditegakkan Had atasnya dan imam tidak boleh memberikan maaf. Begitu juga wali dari korban. Namun, jika perampok tersebut telah bertaubat sebelum tertangkap, tidak ada perbedaan ulama dalam hal ini bahwa imam memaafkannya.[35]

Akan tetapi, jika berkaitan dengan hak manusia, maka para ulama berbeda pendapat. Menurut jumhur ulama, ia tidak dimaafkan dan harus dipenuhi hak-haknya. Sedangkan menurut Imam Malik, seluruh hak telah gugur. Hanya saja, jika didapati ada harta orang muslim pada dirinya, maka harus dikembalikan kepada pemiliknya.[36]
لَا تُقَامُ الحُدُوْدُ عَلَى الجَانِي فِيْ أَمَاكِنَ وَأَوْقَاتٍ مُعَيِّنَةٍ
Artinya: “Hudūd tidak ditegakkan terhadap pelaku kejahatan pada tempat dan waktu tertentu.”

Makna Qā’idah:
Merupakan sebuah toleransi syari’at, bahwa dalam melaksanakan hukuman Hudūd, syari’at sangat memperhatikan waktu dan tempatnya. Maka, tidak ditegakkan Had apabila dalam kondisi sakit atau dalam keadaan hamil. Sebab, itu akan menimbulkan madharat yang lebih besar.

Dalil Qā’idah ini adalah:
Rasulullah Shalallhu ‘alaihi wasallam bersabda:
لَا تقَامُ الْحُدُودُ فِي الْمَسَاجِدَ
Artinya: "Tidak boleh melakukan Hudūd di Masjid "[37]

Beberapa hal yang berkaitan dengan Qā’idah ini:
Dilarang melaksanakan hukuman Had di dalam Masjid. Sebagaimana sabda Rasulullah yang telah kami cantumkan diatas. Sebab, Masjid dibangun bukan untuk hal ini. Namun, untuk megerjakan shalat, membaca al-Qur’an atau berdzikir kepada Allah Ta’ala.

Dilarang melaksanakan Hudūd kepada wanita yang sedang hamil sampai ia melahirkan. Ini merupakan kesepakatan para ulama. Ibnu Mundzir berkata:
أَجْمَعَ أَهْلُ العِلْمِ عَلَى أَنَّ الحَامِلَ لَا تُرْجَمُ حَتَّى تَضَعَ
Artinya: “Para ulama’ bersepakat bahwa orang yang hamil tidak boleh dirajam sampai ia melahirkan.”

Apabial kondisi cuaca sangat panas atau sangat dingin, atau dalam kondisi sakit, maka hukuman tidak dilasanakan sampai kondisi cuaca normal atau badan sudah sehat. Sebab, apabila hukuman Had dilaksanakan pada kondisi yang seperti ini akan membahayakan nyawanya.

Dilarang melaksanakan hukuman Had saat musim paceklik (kemarau panjang). Sebagaimana perkataan Umar bin khattab:
لَا يُقْطَاعُ فِيْ عِذْقٍ وَلَا عَامِ السَّنَةِ
Artinya: “Jangan memotong tangan pada saat darurat dan musim paceklik.”

Melaksanakan Hudūd dalam kondisi perang, para ulama’ berbeda pendapat. Ulama Syāfi’iyah berpendapat bahwa seluruh Had boleh dilaksanakan di negara musuh kecuali Had potong tangan. Menurut hanafiyah Hudūd tidak ditegakkan di negara musuh dan tidak pula ketika sudah kembali ke negara muslim. 

Menurut jumhur Had ditegakkan dimana saja. Di negeara kafir maupun di negara muslim. Menurut hanabilah Had tidak ditegakkan di negara musuh sampai ia kembali ke negaranya.[38]
الشّبْهَةُ لَا تُسْقِطُ التَّعْزِيرَ وَتُسْقِطُ الْكَفَّارَةَ
Artinya: “Syubhāt (ketidak jelasan perkara) tidak dapat menggugurkan hukuman ta’zir dan dapat menggugurkan kafarah”[39]

Syubhāt selain dapat menggugurkan Hudūd juga dapat menggugurkan kafarah, namun tidak dapat menggugurkan ta’zir. Sehingga pada beberapa kasus yang mewajibkan pelakunya membayar kafarah, dibebaskan dari tanggungan kafarah tersebut bila ada Syubhāt atau ketidak jelasan perkara, 

seperti seorang laki-laki yang menyetubuhi istrinya di hari puasa Ramadhan beserta dia menyangka sudah magrib atau belum terbit fajar waktu subuh, maka kepada orang tersebut tidak dikenakan kafarah karena Syubhāt.[40]

Para ulama juga telah bersepakat untuk tidak menegakkan hukuman Had pada masalah-masalah yang diperselisihkan oleh para ulama akan kebolehan dan keharamannya. Dalam hal ini sebuah Qā’idah fuqoha menyebutkan:

كل فعل يختلف فيه الفقهاء حلا وتحريما، فإن الاختلاف يكون شبهة تمنع إقامة الحد
Artinya: “Setiap perbuatan yang diperselisihkan oleh para ahli fiqih akan kehalalan atau keharamannya, maka itu (termasuk kategori) Syubhāt atau ketidakpastian yang bisa mencegah ditegakkannya hukuman Had.” [al-Majmû’ Syarh Al-Muhadz-dzab: 22/194].

Di antara contoh penerapannya adalah: tidak ditegakkannya hukuman Had zina bagi orang yang nikah mut’ah. Padahal dalil-dalil yang membolehkan nikah mut’ah sangat-sangatlah lemah, hingga hampir-hampir tidak pernah digubris saking lemahnya di mata ahlussunnah wal-jamâ’ah. 

Namun karena boleh jadi si pelaku mut’ah melakukannya karena ta’wil atau Syubhāt karena ada ulama yang membolehkan, maka itu menjadi unsur ketidakpastian yang mencegah ditegakkannya Had.

Tempat wisata London yang mencuri pandangan mata
WISATA LONDON LIBURAN INGGRIS
E.Pengecualian Dari Qā’idah
Atas dasar toleransi hukum Had dengan sebab adanya Syubhāt , maka Syubhāt yang dapat menggugurkan Had itu pun disyaratkan haruslah Syubhāt yang kuat dan pasti, sehingga tiada celah alasan lagi untuk terhindar dari Hudūd, namun apabila Syubhāt yang ada tidak kuat dalilnya, maka Syubhāt tersebut tidak bisa menggugurkan Had yang ada dan Had harus tetap ditegakkan.

Mengenai kriteria dan ketentuan Syubhāt kuat yang menjadi dasar pertimbanagn Qā’idah ini, Syaikh Abu Bakr Ibn Muhammad Syatha Al-Dimiyati menjelaskannya dalam sebuah karangan beliau sebagai berikut:

(واعلم) أن الشبهة تنقسم ثلاثة أقسام القسم الأول شبهة الفاعل، وهي كمن وطئ على ظن الزوجية أو الملكية.
والقسم الثاني: شبهة المحل وهي كمن وطئ الأمة المشتركة.
والقسم الثالث: شبهة الطريق وهي التي يقول بها عالم يعتد بخلافه.
والأول لا يتصف بحل ولا حرمة لأن فاعله غافل وهو غير مكلف.
والثاني حرام.
والثالث إن قلد القائل بالحل لا حرمة وإلا حرم

Artinya: “Ketahuilah bahwa Syubhāt terbagi menjadi tiga, Pertama Syubhāt fā’il, yaitu seperti seseorang yang menyetubuhi wanita yang disangka istrinya atau hamba sahaya miliknya, Kedua adalah Syubhāt Mahal yaitu seperti seseorang  yang menyetubuhi hamba sahaya yang dikongsikan, Ketiga adalah Syubhāt Thariq yaitu Syubhāt yang ada terdapat pendapat ulama lain yang dihitung khilafiyahnya. 

Yang pertama (ketentuannya) tidak tergolong kepada halal dan juga bukan haram karena si fā’il (pelaku) dalam kondisi lalai dan tidak dibebankan hukum, Yang kedua jelas haram, dan yang ketiga (ketentuannya) jika mengikuti ulama yang berpendapat halal, maka tidak jatuh kedala hukum haram, namun bila tidak mengikutinya maka dihukumi haram”.[41]

Oleh sebab itu, tetap di-Had-kan seorang laki-laki yang menzinahi hamba sahaya yang telah diizinkan oleh saidnya untuk dizinahi orang lain, dalam kasus ini tidak berlaku Qā’idah Syubhāt menggugurkan Had karena Syubhāt disini sangat lemah. 

Demikian pula kasus seorang muslim yang membunuh seorang kafir zimmi, kemudian wali kafir zimmi tersebut membalaskan dendam dengan cara membunuh pria muslim tersebut, dalam kasus ini wali zimmi yang telah membunuh pria muslim tersebut tetap dihukum Had, karena sekalipun ada Syubhāt khilaf dari mazhab Hanafi yang membolehkannya namun Syubhāt tersebut sangat lemah, sehingga tidak dapat dijadikan pedoman dalam menggugurkan Had.[42]
MAKALAH Qawaid Fiqhiyah "al-harim lahu hukmu ma huwa harim lah"
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN
Menegakkan hukuman Hudūd adalah sebuah kewajiban yang harus dilaksanakan oleh seorang pemimpin bagi para rakyatnya yang melanggar syari’at Islam. 

Sebab, dengan ditegakkannya hukuman Hudūd dapat mencegah seseorang dari kejahatan yang akan merusak moral manusia. Dalam melaksanakan hukuman Hudūd, tentunya tidak sembarangan dan tanpa aturan. Namun, disana terdapat Qā’idah-Qā’idah yang harus diperhatikan dan dilaksanakan dengan benar. 

Sebab, pelaksanaan Hudūd memiliki tujuan, yang mana tujuan itu tidak dapat diraih kecuali dengan menerapkan Qā’idah-Qā’idah-nya dengan benar. Sehingga, pelaksanaan Hudūd tersebut memberikan manfaat dan maslahat bagi masyarakat.

Ketika kadar hukuman Hudūd yang ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala sangat keras dan diharuskan untuk dikerjakan, maka itu merupakan tuntutan yang harus dilaksanakan. Namun, jika terdapat Syubhāt (perkara yang tidak jelas), maka hukuman Hudūd digugurkan atau diringankan baik Syubhāt fā’il, Syubhāt mahal, maupun Syubhāt khilaf. Atas dasar keringanan hukum tersebut, maka Syubhāt yang dapat menggugurkan Had itu pun disyaratkan haruslah Syubhāt yang kuat dan pasti, 

sehingga dengan Syubhāt yang ada menjadi sebuah pertimbangan besar untuk terhindar dari Hudūd, namun apabila Syubhāt yang ada tidak kuat dalilnya, maka Syubhāt tersebut tidak bisa menggugurkan Had yang ada dan Had harus tetap ditegakkan. 

Adapun Qā’idah-Qā’idah lain yang berkaitan dengan Qā’idah “Al-Hudūd Tasquthu bi Al-Syubhāt” antara lain:
الشّبْهَةُ لَا تُسْقِطُ التَّعْزِيرَ وَتُسْقِطُ الْكَفَّارَةَ
لَا تُقَامُ الحُدُوْدُ عَلَى الجَانِي فِيْ أَمَاكِنَ وَأَوْقَاتٍ مُعَيِّنَةٍ
الأَصْلُ أَنَّ الحُدُوْدَ لَا تُسْقَطُ بِالتَّوْبَةِ
الحُدُوْدُ تَتَدَاخُلُ
الأَصْلُ تَفْوِيْضُ الحَدِّ إِلَى الإِمَامِ أَوْ مَنْ يَنوْبُ عَنْهُ
MAKALAH Qawaid Fiqhiyah "al-dharar la yuzal bi al-dharar"

DAFTAR PUSTAKA
Abd Ar-Rahman ibn Shalih Abd Al-Latif, Al-Qawāid wa Al-Dhawābith Al-Fiqhiyyah Al-Mutadhammin li Al-Tais ir, jld.II, (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) 
Abdullah Ibn Al-Hijazy As-Syarqawy, Hasyiyyah As-Syarqawi, jld.II (Bairut: Dar Al-Fikri, t.th)
Abi Al-Qadhi Muhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawāid Al-Janiyyah, jld.II (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) 
Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th)

Asjmuni A. Rahman, Qā’idah-Qā’idah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang. 1976)
Ibrahim ibn Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawā’id wa Dhawābith ‘Uqubāt Al-Hudūd wa at-Ta’azīr, (Riyadh: 2007),
Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Qā’idah Fiqh Jinyah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), (Bandung: Pustaka bani Quraisy, 2004),
Muhlish Usman, Qā’idah-Qā’idah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2002),
Sa’ud bin Abdil ‘Ali al-Barudi al-‘Atibi, al-Mausu’ah al-Jinayah al-Islamiyah, cet II, (Riyadh: 1427H)

Shahih al-Bukhari, Kitab Al-Hudūd, Bab al-I’tiraf bi az-Zina, no. 6827. Shahih Muslim, Kitab Al-Hudūd, Bab Man I’tarafa ‘ala Nafsihi bi az-Zina, no. 4435
Sunan Abi Daud, Kitab Al-Hudūd, Bab Man Saraqa min Harzin, no. 4394. Sunan an-Nasa’i, Kitab Qath’us Sariq, Bab Ma Yakunu Harzan wa Ma La Yakunu, no. 4887
Sunan Ibnu Majah, Kitab Al-Hudūd, Bab an-Nahyu ‘an Iqamah Al-Hudūd fi al-Masjid, no. 2599
Syaikh Muhammad Mustafa Al-Zuhaily, Al-Qawāid Al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātihā Fī Al-Mazāhib Al-Arba’ah, jld.II (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)

FOOTNOTE:
[1] Asjmuni A. Rahman, Qā’idah-Qā’idah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang. 1976)  h.11
[2] Muhlish Usman, Qā’idah-Qā’idah Ushuliyah dan Fiqhiyah, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2002), h. 151.
[3] Syaikh Muhammad Mustafa Al-Zuhaily, Al-Qawāid Al-Fiqhiyyah wa Tathbīqātihā Fī Al-Mazāhib Al-Arba’ah, jld.II (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)  h.706.
[4] Abi Al-Qadhi Muhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawāid Al-Janiyyah, jld.II (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) h.404.
[5] Abdullah Ibn Al-Hijazy As-Syarqawy, Hasyiyyah As-Syarqawi, jld.II (Bairut: Dar Al-Fikri, t.th) h.413-414.

[6] Jaih Mubarok dan Enceng Arif Faizal, Qā’idah Fiqh Jinayah (Asas-asas Hukum Pidana Islam), (Bandung: Pustaka bani Quraisy, 2004), h. 62.
[7] Abi Al-Qadhi M uhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawāid Al-Janiyyah, jld.II (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) h.405
[8] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fi al-furū’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.90.
[9] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fi al-furū’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.89.
[10] Abi Al-Qadhi M uhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawāid Al-Janiyyah, jld.II (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) h.407

[11] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya, Ed. Revisi, (Jakarta: Bintang Indonesia, 2005), h.351.
[12] Abi Al-Qadhi Muhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawāid Al-Janiyyah, jld.II (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) h.407
[13] Abi Al-Qadhi Muhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawāid Al-Janiyyah..., h.406
[14] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fi al-furū’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.90.
[15] Shahïh al-Bukhäri: 6438 dan Shahih Muslim: 4520

[16] Ibrahim ibn Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawā’id wa Dhawābith ‘Uqubāt Al-Hudūd wa at-Ta’azīr, (Riyadh: 2007), h. 84.
[17] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fi al-furū’.., h.90.
[18] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fi al-furū’..., h.90.
[19] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fi al-furū’..., h.90.
[20] Hadis Shahïh, riwayat Abu Dawud, lihat Shahïh wa Dha’ïf Sunan Abi Dawud: 443

[21] Maqöshid asy-Syarï’ah lil ‘Uqübät fil Isläm: h.729
[22] Abd Ar-Rahman ibn Shalih Abd Al-Latif, Al-Qawaid wa Al-Dhawabith Al-Fiqhiyyah Al-Mutadhammin li Al-Taisir, jld.II, (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)  h.669.
[23] Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h.28.
[24] Abd Ar-Rahman ibn Shalih Abd Al-Latif, Al-Qawaid wa Al-Dhawabith Al-Fiqhiyyah Al-Mutadhammin li Al-Taisir, jld.I, (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)  h.258.
[25] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawā’id wa Dhawābith ‘Uqubāt Al-Hudūd wa at-Ta’azīr, (Riyadh: 2007), h. 89

[26] Shahih al-Bukhari, Kitab Al-Hudūd, Bab al-I’tiraf bi az-Zina, no. 6827. Shahih Muslim, Kitab Al-Hudūd, Bab Man I’tarafa ‘ala Nafsihi bi az-Zina, no. 4435
[27] Imam as-Suyuthi, al-Asybāh wa an-Nazha’ir, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘Ilmiyah, 1403H), h. 489.
[28] Sa’ud bin Abdil ‘Ali al-Barudi al-‘Atibi, al-Mausu’ah al-Jinayah al-Islamiyah, cet II, (Riyadh: 1427H), h.351
[29] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawā’id wa Dhawābith ‘Uqubāt Al-Hudūd wa at-Ta’azīr, (Riyadh: 2007), h. 96.
[30] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawā’id wa Dhawābith ‘Uqubāt..., h. 96.

[31] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawā’id wa Dhawābith ‘Uqubāt..., h. 96.
[32] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawā’id wa Dhawābith ‘Uqubāt..., h. 96.
[33] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawā’id wa Dhawābith ‘Uqubāt..., h. 100.
[34] Sunan Abi Daud, Kitab Al-Hudūd, Bab Man Saraqa min Harzin, no. 4394. Sunan an-Nasa’i, Kitab Qath’us Sariq, Bab Ma Yakunu Harzan wa Ma La Yakunu, no. 4887.
[35] Ibnu Qudamah, al-Mughni, cet. II, vol. XII,  (Kairo: Hajr, 1992), h. 483. Imam al-Kasani, Bada’i’ ash-Shana’i’, vol. IX,  (Kairo: Dar al-Hadits, 2005), h. 333

[36] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawā’id wa Dhawābith ‘Uqubāt Al-Hudūd wa at-Ta’azīr, (Riyadh: 2007), h. 102.
[37] Sunan Ibnu Majah, Kitab Al-Hudūd, Bab an-Nahyu ‘an Iqamah Al-Hudūd fi al-Masjid, no. 2599
[38] Ibrahim bin Fahd bin Ibrahim al-Wid’an, Qawā’id wa Dhawabith...,  h. 128.
[39] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fi al-furū’..., h.90.
[40] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fi al-furū’..., h.90.
[41] Syaikh Abu Bakr Ibn Muhammad  Syatha Al-Dimiyati, I’anah Al-Thalibin’ala hill al-fazh fath al-mu’in, Jld.III (Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.337.
[42] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fi al-furū’..., h.90.

0 Response to "MAKALAH QAIDAH | "Al-hudud tasquthu bi al-syubhat" (Dengan Referensi Kitab Kuning)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel