MAKALAH: QAWAID FIQHIYAH | "Al-Hajah Tanzil Manzilah Al-Dharura" (Lengkap Dengan Referensi)
BAB I
PENDAHULUAN
PENDAHULUAN
Kaidah-kaidah ijtihad telah tersusun dalam sebuah cabang ilmu yang disebut Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah dimana kaidah tersebut diartikan sebagai berikut:
الامر الكلى الذى ينطبق على جزئيات كثيرة تفهم احكامها منها
Artinya: “Suatu perkara kulli (universal) yang bersesuaian dengan juz’iyah (bagian-bagian) yang banyak yang dari padanya diketahui hukum juziyat itu”[1]
Diantara kaidah-kaidah yang terdapat dalam qawaid ini, terdapat beberapa kaidah yang sebagiannya disebut Asasiyyah (dasar) dan kaidah sebagian disebut Kulliyyah (umum). Dalam makalah ini, kami akan mencoba untuk memberikan gambaran singkat tentang salah satu kaidah kulliyah yang berjudul.:
الْحَاجَةُ تَنْزِلُ مَنْزِلَةَ الضَّرُورَةِ
Artinya: “Keperluan (hukumnya) diposisikan pada tempat dharurat”BAB II
PEMBAHASAN
A. Makana KaidahPengertian “Al-Hajah” Dan “Al-Dharurah”
Kata “al-hajah” berasal dari bahasa arab yang artinya hajat, dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) diartikan hajat adalah kebutuhan atau keperluan. Secara terminologi kata “al-hajah”diartikan sebagai berikut:
[2] وَالْحَاجة هِيَ الْحَالة الَّتِي تستدعي تيسيراً أَو تسهيلاً لأجل الْحُصُول على الْمَقْصُود
Artinya: “Hajat adalah keadaan atau kondisi yang membutuhkan permudahan untuk mencapai maksud dan tujuan”
Sedangkan kata “al-dharurah” berasal dari kata “Dharar” (ضُّرَر) secara etimologi adalah sesuatu yang turun tanpa ada yang dapat menahannya. Sedangkan Dharar secara terminologi menurut para ulama ada beberapa pengertian diantaranya adalah:
Dharar ialah posisi seseorang pada suatu batas dimana kalau tidak mau melanggar sesuatu yang dilarang maka bisa mati atau nyaris mati. Hal seperti ini memperbolehkan ia melanggarkan sesuatu yang diharamkan dengan batas-batas tertentu.
Abu Bakar Al Jashas seorang Imam fikih Hanafi pada abad ke 14 H, mengatakan “Makna Dharar disini adalah ketakutan seseorang pada bahaya yang mengancam nyawanya atau sebagian anggota badannya karena ia tidak makan”.
Menurut Ad-Dardiri salah seorang ulama Azhar yang mahir dalam fikih mazhab malik, “Dharar ialah menjaga diri dari kematian atau dari kesusahan yang teramat sangat”. Menurut sebagian ulama dari Madzhab Maliki, “Dharar ialah mengkhawatirkan diri dari kematian berdasarkan keyakinan atau hanya sekedar dugaan”.
Menurut imam As-Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.[3]
Menurut imam As-Suyuti, “Dharar adalah posisi seseorang pada sebuah batas dimana kalau ia tidak mengkonsumsi sesuatu yang dilarang maka ia akan binasa atau nyaris binasa.[3]
Berdasarkan pendapat para ulama di atas dapat diambil kesimpulan bahwa Dharar adalah kesulitan yang sangat menentukan eksistensi manusia, karena jika ia tidak diselesaikan maka akan mengancam agama, jiwa, nasab, harta serta kehormatan manusia.
Makna Qa’idah
Berdasarkan dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa maksud dari kaidah “al-hajah tunazil manzilah al-dharurah” adalah sebuah kebutuhan dapat dipertempatkan pada posisi dharurat dalam hukum Islam, maka sebagaimana keadaan dharurah dapat membolehkan suatu larangan, demikian pula hajat atau keperluan juga dapat membolehkan suatu larangan baik hajat dan keperluan tersebut bersifat umum/menyeluruh maupun hajat yang khusus.[4]
B. Sumber Qaidah
Hukum-hukum fiqh dibangun atas dasar ijtihad para ulama terhadap ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Dalam pengertian ini, maka hukum-hukum fiqh tersebut merupakan dugaan kuat terhadap maksud Allah dan Rasul yang terkandung dalam al-Qur’an atau hadis Nabi. Penggunaan dalil dan metode ijtihad menjadikan hasil ijtihad seorang mujtahid dapat saja berbeda satu sama lainnya, bahkan dengan kesimpulan bertolak belakang.
Satu ijtihad boleh jadi tidak dapat menjangkau maksud Allah dan Rasul dengan baik, sementara ijtihad yang dihasilkan oleh mujtahid lain mendekati maksud Allah, begitu juga ijtihad mujtahid lain boleh jadi telah dapat menyelami maksud Allah dan Rasul.
Tetapi, tidak dapat dipastikan dengan jelas ijtihad mana yang mendekati kebenaran dengan maksud Allah dan Rasul. Yang jelas, ijtihad yang dilakukan mujtahid dihargai oleh Allah dan Rasul, sehingga Nabi menyatakan bahwa ijtihad yang keliru akan mendapatkan satu pahala, yaitu pahala ijtihad, sementara ijtihad yang benar akan mendapat dua pahala, pahala ijtihad dan pahala kebenaran yang dicapai dalam berijtihad. Sebagaimana sabda Nabi SAW:
[5] إذا إجتهد الحاكم فأصاب فله أجران وإن أخطأ فله أجر
Artinya: “Apabila seorang Hakim berijtihad dan benar, maka ia memperoleh dua pahala, sedangkan apabila ijtihadnya tidak tepat, maka memperoleh satu pahala ”.
Menganai kaidah “al-hajah tunazil manzilah al-dharurah” di tetapkan oleh Ulama dengan berdasarkan dalil qiyas, yaitu menyamakan hukum yang telah berlaku pada saat dharurah dengan hukum dalam kondisi hajat karena terdapat beberapa kesamaan antara keduanya, darurat dan hajat memiliki persamaan di antaranya yaitu masing-masing berpengaruh dalam berubahnya beberapa hukum asal, karena darurat dan hajat sama-sama merupakaan keadaan yang mendesak seseorang.
Darurat mendesak melakukan suatu yang diharamkan dalam skala terbatas, sementara hajat mendesak untuk meninggalkan suatu yang diwajibkan (lihat Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra, h. 288).[6]
Oleh karena demikian, dalil-dalil nash yang membolehkan sesuatu dalam kondisi hajat adalah dalil rukhsah dalam darurat, karena sebagaimana yang berlaku dalam qiyas, hukum “maqis” (yang diqiyaskan) adalah hukum “maqis ‘alaih” (yang menjadi tempat pengqiyasan), diantara dalil-dalil tersebut yaitu:
Dalam hadis tersebut jelas menyatakan bahwa dalam islam tidak boleh memudharatkan diri sendiri ataupun memudharatkan orang lain, sehingga walaupun seorang muslim sedang dalam keadaan mudharat, akan tetapi tidak boleh dalam menghilangkan kemudharatannya tersebut sampai memudharatkan orang lain.[8]
[7] لَا ضَرَرَ وَلَا ضِرَارَ
Artinya: “Tiada kemudharatan dan tiada memudharatkan”. Baca juga Makalah Qawa'id Fiqhiyah "ad-dharar la yuzal bid-dharar"Dalam hadis tersebut jelas menyatakan bahwa dalam islam tidak boleh memudharatkan diri sendiri ataupun memudharatkan orang lain, sehingga walaupun seorang muslim sedang dalam keadaan mudharat, akan tetapi tidak boleh dalam menghilangkan kemudharatannya tersebut sampai memudharatkan orang lain.[8]
Tentang wajibnya menghilangkan kemudharatan pula, Allah berfirman dalam surah Al-An’am ayat 119,
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.”[9]
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.”[9]
Dan ayat lain:
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[10]
Artinya: “Dan carilah pada apa yang telah dianugerahkan Allah kepadamu (kebahagiaan) negeri akhirat, dan janganlah kamu melupakan bahagianmu dari (kenikmatan) duniawi dan berbuat baiklah (kepada orang lain) sebagaimana Allah telah berbuat baik, kepadamu, dan janganlah kamu berbuat kerusakan di (muka) bumi. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang berbuat kerusakan”.[10]
C. Penerapan Qa’idah Pada Fiqh
Hajat sendiri dibagi oleh ahli fiqh menjadi dua: yaitu hajat yang bersifat umum (hajah ‘ammah), dan hajat yang bersifat khusus (hajah khashshah). Maksud dari hajah ‘ammah adalah kebutuhan atau keperluan terhadap sesuatu yang dialami oleh semua kalangan, karena mereka semuanya membutuhkannya demi kemaslahatan mereka, Contoh hajah ‘ammah diantaranya yaitu pertanian, perindustrian, perdagangan, politik yang adil, dan hukum yang bijaksana.
Hajat sendiri dibagi oleh ahli fiqh menjadi dua: yaitu hajat yang bersifat umum (hajah ‘ammah), dan hajat yang bersifat khusus (hajah khashshah). Maksud dari hajah ‘ammah adalah kebutuhan atau keperluan terhadap sesuatu yang dialami oleh semua kalangan, karena mereka semuanya membutuhkannya demi kemaslahatan mereka, Contoh hajah ‘ammah diantaranya yaitu pertanian, perindustrian, perdagangan, politik yang adil, dan hukum yang bijaksana.
Adapun “hajah khashshah” merupakan kebalikan dari hajah ‘ammah, yaitu kebutuhan yang hanya dialami oleh kalangan tertentu saja; tidak oleh semua kalangan, seperti hajat suatu penduduk kota tertentu, atau pemilik keahliaan tertentu, atau kebutuhan beberapa person yang terbatas.[11] Untuk mengaplikasikan kaidah tersebut, ada beberapa syarat-syarat yang harus diperhatikan:
Pertama, hajat tersebut tidak boleh justru menyebabkan hilangnya maslahat yang lebih besar.
Kedua, hajat tersebut betul-betul telah terwujud; bukan sesuatu yang masih dinantikan atau akan diwujudkan.
Ketiga, hajat tersebut tidak bertentangan dengan maqashid (tujuan yang hendak dicapai) syariat.
Kedua, hajat tersebut betul-betul telah terwujud; bukan sesuatu yang masih dinantikan atau akan diwujudkan.
Ketiga, hajat tersebut tidak bertentangan dengan maqashid (tujuan yang hendak dicapai) syariat.
Di antara contoh aplikasi kaidah di atas adalah sebagai berikut:
Diperbolehkannya sewa-menyewa dan salam (titipan atau pesanan). Kebolehan tersebut berdasarkan nash syariat, meski hal itu bertentangan dengan qiyas yang melarang transaksi barang ma’dum (belum ada). Hal ini disebabkan adanya hajat manusia terhadap keduanya.[12]
Demikianlah keterangan dari Syaik Ahmad al-Zarqa dalam sebuah karangannya berikut:
Diperbolehkannya memberikan wasiat, yaitu memberikan kepemilikan pada orang lain dengan catatan setelah orang yang memberikan wasiat meninggal dunia. Padahal kepemilikan tidak boleh digantungkan dengan sesuatu.
تَجْوِيز الْإِجَارَة، فَإِنَّهَا جوزت بِالنَّصِّ على خلاف الْقيَاس، للْحَاجة إِلَيْهَا
[13] تَجْوِيز السّلم، فَإِنَّهُ جوز بِالنَّصِّ أَيْضا على خلاف الْقيَاس للْحَاجة، لِأَنَّهُ بيع الْمَعْدُوم أَيْضا.
Demikian juga, dengan kematian orang yang diberi wasiat maka hilanglah kepemilikannya dari orang yang memberi wasiat. Namun begitu, wasiat diperbolehkan karena berdasarkan nash al-Qur`an dan lantaran hajat manusia.[14]
Contoh ini senada dengan apa yang dijelaskan oleh Syaikh
Ahmad Ibn Muhammad Al-Zarqa dalam sebuah karangannya sebagai berikut:
وَمِنْه: تَجْوِيز الْوَصِيَّة، فَإِن الْقيَاس يأباها لِأَنَّهَا تمْلِيك مُضَاف لما بعد الْمَوْت، والتمليكات لَا تقبل الْإِضَافَة، وَأَيْضًا بِالْمَوْتِ ينْتَقل الْملك إِلَى الْوَارِث فَلم يبْق ملك للمورث بعد الْمَوْت حَتَّى يملك تَمْلِيكه للْغَيْر. وَلَكِن جوزت بِنَصّ الْكتاب الْعَزِيز، للْحَاجة [15]
Diperbolehkan dan tidak makruh bagi orang yang junub, wanita haid, dan orang yang tubuh atau pakaiannya terkena najis untuk masuk ke dalam masjid jika ada suatu hajat atau uzur yang ingin ia tunaikan.[16] Dan lain sebagainya.
D. Qa’idah-Qa’idah Yang Berkaitan
Setiap kaidah Fiqhiyyah mempunyai keterkaitan dengan beberapa kaidah-qaidah yang lain, baik keterkaitan dengan qaidah asalnya yang lebih umum, keterkaitan dengan qaidah furu’-nya yang lebih khusus, ataupun dengan sesama qaidah juz’iy yang khusus. Adapun qaidah “Al-Hajah Tanzil Manzilah Al-Dharura” merupakan cabang dari sebuah qaidah yang lebih umum dari padanya yaitu:
Setiap kaidah Fiqhiyyah mempunyai keterkaitan dengan beberapa kaidah-qaidah yang lain, baik keterkaitan dengan qaidah asalnya yang lebih umum, keterkaitan dengan qaidah furu’-nya yang lebih khusus, ataupun dengan sesama qaidah juz’iy yang khusus. Adapun qaidah “Al-Hajah Tanzil Manzilah Al-Dharura” merupakan cabang dari sebuah qaidah yang lebih umum dari padanya yaitu:
[17] الضَّرَرُ يُزَالُ
Artinya: “Kemudharatan harus dihilangkan”Baca juga Makalah Qawa'id Fiqhiyah "ad-dharar la yuzal bid-dharar"
Qaidah ini lebih umum dari pada qaidah “Al-Hajah Tanzil Manzilah Al-Dharura” karena dalam qaidah ini hanya kurang kata-kata “al-dharar”. Adapun qaidah-kaidah cabang yang lain yang berkaitan dengan qaidah “Al-Hajah Tanzil Manzilah Al-Dharura” diantaranya adalah:
[18] ١ - الضرورات تبيح المخظورات
Artinya: “Kemudaratan-kemudaratan itu dapat membolehkan keharaman”
Namun disyaratkan berlakunya qaidah ini selama tidak lebih besar kerusakan melakukan perbuatan haram tersebut dibandingkan dengan kerusakan dari kemudharatan itu, maka tingkan kemudharatannya harus lebih besar dari pada keharaman perbuatan yang dilanggar.
Dasar nas kaedah di atas adalah dari firman Allah S.W.T :
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (Surah Al-An’am 6:119) [19]
Dan firman Allah SWT sebagai berikut:
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya, serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya”.(QS. Al-Baqarah : 173)
Artinya: “Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. dan Sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas.” (Surah Al-An’am 6:119) [19]
Dan firman Allah SWT sebagai berikut:
Artinya: “Maka barangsiapa dalam keadaan terpaksa (memakannya) sedangkan ia tidak menginginkannya, serta tidak melampaui batas maka tiada dosa baginya”.(QS. Al-Baqarah : 173)
Melihat ayat di atas, tidak semua keterpaksaan itu memperbolehkan yang haram, namun keterpaksaan itu dibatasi dengan keterpaksaan yang benar-benar tidak ada jalan lain kecuali hanya melakukan itu, dalam kondisi ini maka yang haram dapat diperbolehkan memakainya.
Misalnya seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas keperluannya.
Misalnya seseorang di hutan tiada menemukan makanan sama sekali kecuali babi hutan dan bila ia tidak memakannya akan mati, maka babi hutan itu dapat dimakan sebatas keperluannya.
Batasan kemadharatan adalah suatu hal yang mengancam eksistensi manusia, yang terkait dengan panca tujuan yaitu: memelihara agama, memelihara jiwa, memelihara akal, memelihara keturunan, dan memelihara kehormatan atau harta benda.
Dengan demikian Dharar itu terkait dengan dharuriyah, bukan hajiyah dan tahsiniyah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiyah dan tahsiniyah. Karena itu terdapat kaidah:
Dengan demikian Dharar itu terkait dengan dharuriyah, bukan hajiyah dan tahsiniyah. Sedangkan hajat (kebutuhan) terkait dengan hajiyah dan tahsiniyah. Karena itu terdapat kaidah:
لا حرام مع الضرورات ولا كراهة مع الحاجة
Artinya: “Tiada keharaman baagi Dharar dan tidak ada kemakruhan bagi kebutuhan” (Abdul Hamid Hakim, 1956:81). [20]
Contoh lain misalnya keharusan memakan makanan yang haram, sekadar melepaskan keadaannya ketika darurat dan tidak berlebih-lebihan. Atau ketika diancam nyawanya untuk mengucapkan kalimah kufur, asalkan hatinya tetap dalam keimanan. Seperti yang terjadi dalam peristiwa Ammar bin Yasir yang memilih rukhsah yaitu mengucapkan kalimah kufur dalam keadaan darurat.
[21] ٢ - ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها
Artinya: “Apa yang dibolehkan kerana dharurah maka diukur menurut kadar kemudaratannya”.
Keharusan perkara haram itu bertempoh, terbatas dan tidak selama-lamanya. Apabila seseorang tersebut telah keluar dari keadaan darurat, maka kebolehannya terhapus dan ia kembali haram.
Contohnya boleh pasien wanita mendapatkan rawatan dari pada doktor lelaki sekiranya tiada ada doktor wanita ditempat itu. Namun doktor lelaki tersebut hanya dibolehkan melihat dan menyentuh tempat yang sakit sahaja sekiranya perlu.
Contohnya boleh pasien wanita mendapatkan rawatan dari pada doktor lelaki sekiranya tiada ada doktor wanita ditempat itu. Namun doktor lelaki tersebut hanya dibolehkan melihat dan menyentuh tempat yang sakit sahaja sekiranya perlu.
٣ - ما اجاز لعذر بطل لزواله
Artinya: “Apa yang diizinkan kerana adanya uzur, maka keizinan itu hilang manakala uzurnya hilang”. (wahbah az-Zuhaili, 1982:245) [22]
Contoh aplikasi prinsip kaedah ini ialah orang yang dibolehkan berbuka puasa di bulan Ramadhan kerana musafir atau sakit. Dalam keadaan ini seseorang dibolehkan menggunakan rukhsah syara’ seperti mengqasar solat, meninggalkan solat jumaat dan jama’ah kerana musafir atau sakit.
Namun bila dharurat sudah hilang, maka seseorang itu tetap diwajibkan berpuasa secara sempurna dan melaksanakan hukum secara umum.
Namun bila dharurat sudah hilang, maka seseorang itu tetap diwajibkan berpuasa secara sempurna dan melaksanakan hukum secara umum.
٤ - اذا تعارض مفسدتان روعى أعظمها ضررا بارتكاب أخفهما
Artinya: “Apabila dua mafsadah bertentangan, maka perhatikan mana yang lebih mudaratnya dengan memilih yang lebih ringan mudaratnya”.[23]“Diambil mudarat yang lebih ringan diantara dua mudarat ” artinya, apabila suatu perkara atau tindakan menyebabkan suatu bahaya yang tidak dapat dihilangkan kecuali dengan satu tindakan bahaya lainnya yang salah satu dari kedua bahaya tersebut lebih besar dari pada yang lainnya, maka bahaya yang lebih besar dihilangkan dengan yang lebih kecil. Namun, apabila tindakan tersebut mendatangkan akibat yang lebih besar, maka tidak boleh dilakukan.
Contoh lain misalnya dibolehkan mengadakan pembedahan perut wanita yang telah meninggal dunia jika berkemungkinan bayi yang dikandungnya masih hidup dan dapat diselamatkan. Demikian juga dibenarkan solat dalam keadaan telanjang jika tidak ada penutup kain sama sekali karena dari pada harus mencuri yang dharuratnya lebih tinggi.
Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan karena dharurat umum lebih berbahaya dari pada dhaurat pribadi.
Jika terkait dengan kemudartan umum (bahaya sosial), maka tidak lagi dilihat apakah penyebab bahaya tersebut terlebih dahulu ada atau baru, tetapi dalam keadaan apapun bahaya ini harus dihilangkan karena dharurat umum lebih berbahaya dari pada dhaurat pribadi.
Contohnya barang siapa yang membangun tenda besar ditengah jalan umum atau membangun jembatan yang mempersulit arus lalu lintas, maka ia dapat diperintahkan untuk menghancurkannya, meskipun memakan waktu yang lama.[24]
Ada juga contoh lainnya mengenai kaidah ini antara lain:
- Larangan menimbun barang-barang kebutuhan pokok masyarakat karena perbuatan tersebut mengakibatkan kemudaratan bagi rakyat.
- Larangan menghancurkan pohon-pohon, membunuh anak kecil, orang tua, wanita, dan orang-orang yang tidak terlibat peperangan dan pendeta agama lain adalah untuk menghilangkan kemudaratan.
- Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
- Kewajiban berobat dan larangan membunuh diri juga untuk menghilangkan kemudaratan.
- Larangan murtad dari agama islam dan larangan mabuk-mabukan juga untuk menghilangkan kemudaratan.[25]
٥ - الاضطرار لا يبطل حق الغير
Artinya: “Keterpaksaan itu tidak dapat membatalkan hak orang lain” (Wahbah az-Zuhaili 1982:259[26]
Misalnya seseorang dalam keadaan lapar, dan dia akan mati jika ia tidak makan, dan jalan satu-satunya mendapat makanan adalah mencuri, maka ia tidak boleh melakukannya, karena pengguguran terhadap keterpaksaan ini mengganggu hak orang lain, maka jalan keluar orang tersebut adalah boleh makan makanan yang haram seperti babi, bangkai dan sebagainya. [27]
٦ - درءالمفاسد اولى من جلب المصالح فاذاتعارض ممفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا
Artinya: “Menolak kerusakan lebih diutamakan daripada mendapatkan kemaslahatan, dan apabila berlawanan antara mafsadah dan maslahah maka yang didahulukan adalah menolak mafsadahnya” (as-Suyuthi, TT:62).[28]Kaidah tersebut diilhami oleh hadits nabi SAW:
اذاامرتكم بامرفأ توا مااستطعتم واذانهيتكم عن شئ فاجتنبوه
Artinya: “Apabila aku telah memerinahkanmu dengan suatu perintah maka kerjakanlah perintah itu semampumu, tetapi jika aku telah melarang padamu tentang sesuatu maka jauhilah”.(HR. Bukhari-Muslim dari Abu Hurairah)"Misalnya seseorang diprintahkan shalat dalam keadaan berdiri, namun ia tidak mampu melaksanakannya, maka shalat itu dapat dikerjakan dengan duduk atau berbaring. Menolak madharat didahulukan karena kerusakan akan berakibat pada hilangnya manfaat.
Misalnya minum khomr itu disamping ada madharatnya merusak akal dan menghambur-hamburkan uang sedang manfaatnya untuk menguatkan badan, walaupun demikian maka yang dimenangkan adalah menolak kerusakannya.
E. Pengecualian Dari Qa’idah
Berdasarkan definisi Qai’dah diatas maka ulama terbagi dua dalam memaknai qawa’id fiqhiyyah berkenaan dengan perbedaan mereka dalam memandang keberlakuannya, apakah bersifat kulii (menyeluruh/universal) atau aghlabi (kebanyakan).
Berdasarkan definisi Qai’dah diatas maka ulama terbagi dua dalam memaknai qawa’id fiqhiyyah berkenaan dengan perbedaan mereka dalam memandang keberlakuannya, apakah bersifat kulii (menyeluruh/universal) atau aghlabi (kebanyakan).
Bagi ulama yang memandang bahwa qawa’id fiqhiyyah bersifat aghlabi, mereka beralasan bahwa realitanya memang seluruh qawa’id fiqhiyyah memiliki pengecualian, sehingga penyebutan kulli terhadap qawa’id fiqhiyyah kurang tepat.
Sedang bagi ulama yang memandang qawa’id fiqhiyyah sebagai bersifat kulli, mereka beralasan bahwa pada kenyataan pengecualian yang terdapat pada qawa’id fiqhiyyah tidaklah banyak. Di samping itu, mereka juga beralasan bahwa pengecualian (al-istisna’) tidak memiliki hukum sehingga tidak mengurangi sifat kulli pada qawa’id fiqhiyyah.
Jadi pada dasarnya kedua kelompok ulama di atas sepakat tentang adanya istisna’ (pengecualian) dalam penerapan qawa’id fiqhiyyah, hanya saja mereka berbbeda pendapat berkenaan dengan pengaruh istisna’ tersebut terhadap keuniversalan qawa’id fiqhiyyah.
Jadi pada dasarnya kedua kelompok ulama di atas sepakat tentang adanya istisna’ (pengecualian) dalam penerapan qawa’id fiqhiyyah, hanya saja mereka berbbeda pendapat berkenaan dengan pengaruh istisna’ tersebut terhadap keuniversalan qawa’id fiqhiyyah.
Dengan demikian qawa’id fiqhiyyah merupakan kaidah-kaidah yang bersifat umum, meliputi sejumlah masalah fiqh, dan melaluinya dapat diketahui sejumlah masalah yang berada dalam cakupannya, terkecuali beberapa perkara yang telah dikecualikan oleh para Ulama.
Mengenai kaidah “Al-Hajah Tanzil Manzilah Al-Dharurah” terdapat beberapa masalah yang dikecualikan, dimana sebelumnya telah penulis paparkan beberapa syarat mengaplikasikan kaidah ini, diantaranya harus diperhatikan:
Mengenai kaidah “Al-Hajah Tanzil Manzilah Al-Dharurah” terdapat beberapa masalah yang dikecualikan, dimana sebelumnya telah penulis paparkan beberapa syarat mengaplikasikan kaidah ini, diantaranya harus diperhatikan:
Pertama, hajat tersebut tidak boleh justru menyebabkan hilangnya maslahat yang lebih besar.
Kedua, hajat tersebut betul-betul telah terwujud; bukan sesuatu yang masih dinantikan atau akan diwujudkan.
Ketiga, hajat tersebut tidak bertentangan dengan maqashid (tujuan yang hendak dicapai) syariat.
Pertama, hajat tersebut tidak boleh justru menyebabkan hilangnya maslahat yang lebih besar. Jual beli misalnya merupakan suatu yang darurat (sangat penting), sementara menghindari terdapatnya gharar (spekulasi) dan jahalah (ketidakjelasan) dalam jual beli merupakan pelengkapnya saja. Oleh itu, jika disyaratkan dalam seluruh jual beli tidak terdapat gharar sama sekali tentu hal itu akan menimbulkan kesulitan yang sangat dalam melakukan aktifitas jual beli.
Barangkali contoh mudahnya adalah mendapatkan modal dengan cara riba untuk tujuan perdagangan. Meski perdagangan merupakan di antara bentuk hajat, namun hal itu tidak boleh menyebabkan menafikan maslahat dalam harta.
Kedua, hajat tersebut betul-betul telah terwujud; bukan sesuatu yang masih dinantikan atau akan diwujudkan.
Ketiga, hajat tersebut tidak bertentangan dengan maqashid (tujuan yang hendak dicapai) syariat.
Pertama, hajat tersebut tidak boleh justru menyebabkan hilangnya maslahat yang lebih besar. Jual beli misalnya merupakan suatu yang darurat (sangat penting), sementara menghindari terdapatnya gharar (spekulasi) dan jahalah (ketidakjelasan) dalam jual beli merupakan pelengkapnya saja. Oleh itu, jika disyaratkan dalam seluruh jual beli tidak terdapat gharar sama sekali tentu hal itu akan menimbulkan kesulitan yang sangat dalam melakukan aktifitas jual beli.
Barangkali contoh mudahnya adalah mendapatkan modal dengan cara riba untuk tujuan perdagangan. Meski perdagangan merupakan di antara bentuk hajat, namun hal itu tidak boleh menyebabkan menafikan maslahat dalam harta.
Sebagaimana dimaklumi bahwa menjaga harta merupakan salah satu tujuan syariat, dan salah satu bentuk menjaganya adalah menghindari dari tercampurnya sesuatu yang haram ke dalam harta.
Kedua, hajat tersebut betul-betul telah terwujud; bukan sesuatu yang masih dinantikan atau akan diwujudkan. Melakukan safar merupakan suatu yang membolehkan seseorang untuk berbuka atau mengqashar shalat.
Kedua, hajat tersebut betul-betul telah terwujud; bukan sesuatu yang masih dinantikan atau akan diwujudkan. Melakukan safar merupakan suatu yang membolehkan seseorang untuk berbuka atau mengqashar shalat.
Akan tetapi perlu diperhatikan bahwa kebolehan tersebut hanya berlaku bagi mereka yang telah dan sedang melakukan safar; bukan bagi yang akan melakukan safar. Oleh itu, orang yang akan melakukan safar tetap tidak boleh berbuka atau mengqashar shalat.
Ketiga, hajat tersebut tidak bertentangan dengan maqashid (tujuan yang hendak dicapai) syariat. Sewa-menyewa misalnya merupakan suatu hajat, namun demikian tetap tidak diperbolehkan untuk menyewakan suatu yang dilarang syariat seperti menyewakan gitar, seruling dan alat musik lainnya, serta setiap yang dilarang untuk dimanfaatkan oleh syariat.
Termasuk dalam kategori ini adalah melakukan hilah, yaitu melakukan sesuatu yang asalnya membolehkan untuk meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram, akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk sesuatu yang pada asalnya dilarang.
Ketiga, hajat tersebut tidak bertentangan dengan maqashid (tujuan yang hendak dicapai) syariat. Sewa-menyewa misalnya merupakan suatu hajat, namun demikian tetap tidak diperbolehkan untuk menyewakan suatu yang dilarang syariat seperti menyewakan gitar, seruling dan alat musik lainnya, serta setiap yang dilarang untuk dimanfaatkan oleh syariat.
Termasuk dalam kategori ini adalah melakukan hilah, yaitu melakukan sesuatu yang asalnya membolehkan untuk meninggalkan yang wajib atau melakukan yang haram, akan tetapi hal itu dimaksudkan untuk sesuatu yang pada asalnya dilarang.
Seperti melakukan safar dengan tujuan utama agar bisa berbuka pada siang bulan Ramadhan, atau menghibahkan sebagian besar hartanya agar ia terbebas dari kewajiban haji.[29]
BAB III
KESIMPULAN
KESIMPULAN
Berdasarkan dari uraian di atas dapat ditarik sebuah kesimpulan bahwa maksud dari kaidah “al-hajah tunazil manzilah al-dharurah” adalah sebuah kebutuhan dapat dipertempatkan pada posisi dharurat dalam hukum Islam, maka sebagaimana keadaan dharurah dapat membolehkan suatu larangan, demikian pula hajat atau keperluan juga dapat membolehkan suatu larangan baik hajat dan keperluan tersebut bersifat umum/menyeluruh maupun hajat yang khusus.
Untuk mengaplikasikan kaidah tersebut, ada beberapa syarat-syarat yang harus diperhatikan: Pertama, hajat tersebut tidak boleh justru menyebabkan hilangnya maslahat yang lebih besar.
Kedua, hajat tersebut betul-betul telah terwujud; bukan sesuatu yang masih dinantikan atau akan diwujudkan. Ketiga, hajat tersebut tidak bertentangan dengan maqashid (tujuan yang hendak dicapai) syariat.
Adapun qaidah lain yang berkaitan dengan qaidah ini antara lain:
الضرورات تبيح المخظورات
ما ابيح للضرورة يقدر بقدرها
ما اجاز لعذر بطل لزواله
اذا تعارض مفسدتان روعى أعظمها ضررا بارتكاب أخفهما
الاضطرار لا يبطل حق الغير
درءالمفاسد اولى من جلب المصالح فاذاتعارض ممفسدة ومصلحة قدم دفع المفسدة غالبا
DAFTAR PUSTAKA
Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang. 1976)
Muhammad Adib Bisri, Terjemah Al-Faraid Al-Bahiyyah Risalah Qawa’id Fiqh, (Kudus: : Menara Kudus, 1997)
Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. (Riyadh: Dar Balansiyyah, 1417H)
Abi Al-Qadhi M uhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah, jld.I (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th)
Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. (Riyadh: Dar Balansiyyah, 1417H)
Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Syarhil Qawa’idil Fiqhiyyah fisy-Syariah al-Islamiyyah. (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2001M)
Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)
Muhammad Mushthafa Az-Zuhaili, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatiha fil Madzahib al-Arba’ah, jld.I (Damaskus: Darul Fikr, 2006 M)
Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th)
Abdul hamid hakim, as-sullam, juz II, (Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra), h. 59
https:/ /almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html, diakses pada 15 juli 2019.
FOOTNOTE:
[1] Asjmuni A. Rahman, Qaidah-Qaidah Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang. 1976) h.11
[2] Ahmad Ibn Muhammad Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Jld.I ((Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) ) h.209.
[3] pondok pasantren islam nirul iman, Dhorurat dalam Perspektif Islam, http:// ppnuruliman.com/ artikel/fikih/228-dhorurat-dalam-perspektif-islam.html, diakses 9 juli 2019.
[4] Abi Al-Qadhi M uhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah, jld.I (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) h.263-264.
[5] Muhammad Adib Bisri, Terjemah Al-Faraid Al-Bahiyyah Risalah Qawa’id Fiqh, (Kudus: : Menara Kudus, 1997) h.42
[6] Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. (Riyadh: Dar Balansiyyah, 1417H) h.288.
[7] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.61
[8] Abi Al-Qadhi M uhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah, jld.I (Bairut: Dar Al-Rasyid, t.th) h.247.
[9] QS. Al-An’am ayat 119
[10] QS. Al-Qashash ayat 77
[11] Shalih bin Ghanim as-Sadlan, Al-Qawa’id al-Fiqhiyyah al-Kubra wa Ma Tafarra’a ‘Anha. (Riyadh: Dar Balansiyyah, 1417H) h.287-288.
[12] Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h. 211.
[13] Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h. 212.
[14] Abdul Karim Zaidan, Al-Wajiz fi Syarhil Qawa’idil Fiqhiyyah fisy-Syariah al-Islamiyyah. (Beirut: Muassasah ar-Risalah, 2001M) h.86.
[15] Ahmad bin Muhammad al-Zarqa, Syarh al-Qawa’id al-Fiqhiyyah, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h. 212.
[16] Muhammad Mushthafa Az-Zuhaili, al-Qawa’id al-Fiqhiyyah wa Tathbiqatiha fil Madzahib al-Arba’ah, jld.I (Damaskus: Darul Fikr, 2006 M) h.293
[17] Abi Al-Qadhi M uhammad Yasin Ibn Isa Al-Fadani, Al-Fawaid Al-Janiyyah..., h.257.
[18] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.62.
[19] QS. Al-An’am ayat 119
[20] https:/ /almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html
[21] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’..., h.62.
[23] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’, (Jeddah: Al-Haramain, t.th) h.64.
[24] Abdul hamid hakim, as-sullam, juz II, (Jakarta: maktabah as-sa’diyah putra), h. 59
[25] Abdul hamid hakim, as-sullam, juz II..., h. 59
[26]https:/ /almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html, diakses pada 15 juli 2019.
[27]https:/ /almutaqaddimin.blogspot.com/2012/10/adhdhararu-yuzalukesulitan-itu-harus.html...,
[28] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybah Wa Al-Nazha’ir fi al-furu’...,h.64.
[29] Ahmad Ibn Muhammad Al-Zarqa, Syarh Al-Qawaid Al-Fiqhiyyah, Jld.I..., h.290-292.
0 Response to "MAKALAH: QAWAID FIQHIYAH | "Al-Hajah Tanzil Manzilah Al-Dharura" (Lengkap Dengan Referensi)"
Posting Komentar