MAKALAH | Kaidah "al-ijtihad la yanqudhu bi al-ijtihad" - Qawaid Fiqhiyah (Referensi Kitab Kuning) - KitabKuning90 -->

MAKALAH | Kaidah "al-ijtihad la yanqudhu bi al-ijtihad" - Qawaid Fiqhiyah (Referensi Kitab Kuning)


الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ
MAKALAH | Kaidah al-ijtihad | Qawaid Fiqhiyah | HUKUM ISLAM
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Ijtihād merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi hukum-hukum Islam (Fiqh). Tanpa peran Ijtihād, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini, dan ajaran Islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman dengan berbagai problematikanya. 

Dengan demikian, Ijtihād adalah sebuah keniscayaan dalam Islam.
Namun harus pula diakui bahwa Ijtihād merupakan faktor utama pemicu perbedaan pendapat dan kontraiksi hukum (khilafiyyah) antar ulama. 

Pertentangan yang selama ini berlangsung dikalangan yuris Islam (fuqaha) misalnya, adalah akibat perbedaan metodologi Ijtihād yang mereka gunakan. Tapi justru dari situlah khazanah keilmuan Islam terlihat begitu kaya dan anggun di tengah polemik intelektual yang variatif dan semarak. Dan hal itu tidak perlu disesalkan, sebab perbedaan metodologi yang diakibatkan oleh perbedaan pendapat mendapat legitimasi syariat.

Persoalannya, ketika Ijtihād telah mendapat legitimasi, akankah produk hukum yang dicapai melalui proses Ijtihād dapat dianulir oleh Ijtihād lain, atau lebih mudahnya bisakah Ijtihād “dirusak” oleh Ijtihād yang lain. Jika menilik konsep Qā’idah ini, maka produk hukum yang dihasilkan Ijtihād dinilai memiliki kekuatan hukum yang bersifat konstan. 

Sekali hukum itu terbangun atas landasan Ijtihād, maka ia telah diakui eksistensinya sehingga tidak dapat digusur oleh hasil Ijtihād yang baru. Inilah yang dimaksud dalam Qā’idah “al-Ijtihād lā yunqadh bi al-Ijtihād”.

B. Rumusan Masalah
Bertitik tolak dari latar belakang masalah yang telah diuraikan di atas, maka dalam makalah singkat ini pemakalah ingin mengupas beberapa permasalahan pokok yaitu:

Bagaimanakah pemahaman dari Qā’idah (  الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ  ) ?
Apakah dasar dari Qā’idah (  الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ  ) ?
Bagaimanakah Aplikasi dari Qā’idah (  الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ  ) pada Fiqh ?
Adakah Qā’idah lain yang berkaitan dengan (  الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ  ) ?
Adakah pengecualian masalah dari Qā’idah (  الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ  ) ?

C. Tujuan Penulisan
Melangkah dari rumusan masalah di atas, maka adapun tujuan penelitian ini adalah:

Untuk mengetahui pemahaman dari Qā’idah (  الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ  )
Untuk mengetahui dasar dari Qā’idah (  الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ  )
Untuk mengetahui Aplikasi dari Qā’idah (  الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ  ).
Untuk mengetahui Qā’idah lain cabang dari (  الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ  )
Untuk mengetahui pengecualian dari Qā’idah (  الِاجْتِهَادُ لَا يُنْقَضُ بِالِاجْتِهَادِ  )

BAB II
PEMBAHASAN
A. Pemahaman Qā’idah
Definisi Al-Ijtihād
Al-Ijtihād berakar dari kata “jahada” secara etimologi berarti : mencurahkan segala kemampuan (berpikir) untuk mendapatkan sesuatu (yang sulit), dan dalam prakteknya digunakan untuk sesuatu yang sulit dan memayahkan.

Namun dalam al-Qur’an kata “Jahada” sebagaimana dalam Q.S An-Nahl ayat 38, An-Nur ayat 53, Dan Al-Fathir ayat 42, semuanya mengandung arti “pengerahan segala kesanggupan dan kekuatan” atau juga berarti “berlebih lebihan dalam sumpah”. 

Dengan demikian arti Ijtihād adalah pengerahan segala kesanggupan dan  kekuatan untuk memperoleh apa yang dituju sampai batas puncaknya.
Ibrahim Husein mengidentifikasikan makna Ijtihād dengan istinbāth. Istinbāth barasal dari kata nabath (air yang mula-mula memancar  dari sumber yang digali). 

Oleh karena itu menurut bahasa arti istinbāth sebagai murādif dari Ijtihād yaitu “mengeluarkan sesuatu dari persembunyian”.[1] Menurut mayoritas ulama Ushūl Fiqh Ijtihād adalah : pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli Fiqh untuk mendapatkan pengertian tingkat zhanni terhadap hukum syari’at.[2]

Dari definisi diatas dapat ditarik kesimpulan mengenai pelaku, objek dan target capaian Ijtihād adalah:
Pelaku Ijtihād adalah seorang ahli Fiqh atau paling kurang mengerti tentang hukum Fiqh, bukan yang lain.

Yang ingin dicapai oleh Ijtihād adalah hukum syar’i bidang ‘amali (furū’iyyah) yaitu hukum yang berhubungan dengan tingkah laku orang mukallaf.

Hukum syar’i yang dihasilkan oleh suatu Ijtihād statusnya adalah zhanni.
Status zhanni pada hukum hasil Ijtihād berarti kebenarannya tidak bersifat absolut, ia benar tapi mengandung kemungkinan salah. Hanya saja menurut Mujtahid yang bersangkutan porsi kebenarannya lebih absolut. Atau sebaliknya ia salah tapi mengandung kemungkinan benar.

Dari uraian di atas dapat ditarik kesimpulan maksud kata al-Ijtihād dalam Qā’idah ini adalah pencurahan segenap kesanggupan (secara maksimal) seorang ahli Fiqh untuk mendapatkan keputusan hukum tingkat zhanni terhadap hukum syari’at. Sebagaimana yang diterangkan Syaikh Abdurrahman Ibn Shalih berikut:[3]

وفي الاصطلاح: له عدة تعريفات منها: أنه استفراغ الفقيه وسعه لدرك حكم شرعي
Artinya: “Ijtihād pada istilah memiliki banyak pengertian, diantaranya adalah mencurahkan segenap kemampuan seorang ahli Fiqh untuk memperoleh suatu keputusan hukum syari’at”.

Definisi “Yunqadh”
Kata “yunqadh” berasal dari bahasa arab yang berarti diruntuhkan atau dibatalkan, sebagaimana keterangan dari Syaikh Abdurrahman Ibn Shalih berikut:[4]
يُنْقَض: النقض ضد الإبرام  والمراد هنا إبطال الحكم الثابت بالاجتهاد الأول

Artinya: “Kata yunqadh berasal dari kata al-naqdh (runtuh) merupakan lawan dari al-ibram (penetapan), yang dimaksud pada Qā’idah disini adalah membatalkan hukum yang sudah berlaku dengan adanya Ijtihād hukum baru”.

Makna Qā’idah
Berdasarkan definisi Ijtihād di atas dapat difahami bahwa Hukum hasil Ijtihād yang terdahulu tidak batal karena adanya Ijtihād yang baru, sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil Ijtihād terdahulu akan tetapi tidak perlu diulangi lagi karena sudah dianggap sah, 

namun untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan adanya hukum hasil Ijtihād yang baru, Keterangan ini senada dengan ungkapan Syaikh Abdurrahman Ibn Shalih berikut:[5]

يريد الفقهاء بهذه القاعدة أن من غلب على ظنه - بالاجتهاد - حكم فعمل به أو أفتى به، ثم اجتهد ثانية - لوقوع ما يستدعي الاجتهاد الثاني -، أو اجتهد غيره فأدى الاجتهاد الثاني إلى خلاف ما أدى إليه الاجتهاد الأول فإن ما ثبت بالاجتهاد الأول لا ينتقض بسبب الاجتهاد الثاني، ولا يلزم من عمل بموجب الاجتهاد الأول أن يعيد - إذا كان مما تتصور فيه الإعادة

Yang demikian ini adalah karena:
Nilai Ijtihād adalah sama, sehingga hasil Ijtihād kedua tidak lebih kuat dari hasil Ijtihād pertama.
Apabila suatu ketetapan hukum hasil ijihad dapat dibatalkan oleh hasil Ijtihād yang lain, akan mengakibatkan tidak adanya kepastian hukum. Dan tidak adanya kepastian hukum ini akan mengakibatkan kesulitan dan kekacauan besar.

Sebagaimana keterangan dari Syaikh Ibn Najim berikut:[6]
وعلته بأنه ليس الاجتهاد الثاني بأقوى من الأول وأنه يؤدي إلى أن لا يستقر حكم وفيه مشقة شديدة

Karena pembatalan berdampak pada tidak adanya ketetapan hukum berdasarkan keadaan. Hukum kadang memutuskan perkara berbeda dengan perkara sebelumnya dalam Ijtihād dan ideologinya. Pembatalan keputusan sebelumnya boleh bagi seorang hakim jika hal itu tidak dilakukan berdampak pada kesukaran parah. Kesulitan dalam bertransaksi dan kekacauan yang tidak terbendung.

Tapi jika hakim memutuskan perkara kemudian mulai memutuskan dengan keputusan yang lain maka dia tidak diperkenankan membatalkan keputusan sebelumnya tetapi tetap menghukumi dengan apa yang ia mulai di kemudian hari. Kecuali jika ia yakin keputusan sebelumnya salah, maka pembatalan harus dilaksanakan dan memutuskan dengan keputusan yang benar menurutnya.

Karena itu hakim harus bersungguh-sungguh dalam mempertimbangkan dan menyelidiki kebenaran, meminta tolong para pakar pada masanya, menjaga kondisi, penampilan, keadaan, kebiasaan, dan lain-lain seperti klue-klue dan bukti-bukti yang menentukan dalam penegakan kebenaran dan pemberantasan kejahatan. Keputusan salah hakim yang bertentangan dengan Nash, ijmā’, qiyas jali, atau Qā’idah-Qā’idah umum dan keputusan tanpa bukti harus dibatalkan.

Danau Labuan Cermin tempat wisata terindah di Indonesia
Wisata danau labuan cermin

B. Dasar Qā’idah
Hukum-hukum Fiqh dibangun atas dasar Ijtihād para ulama terhadap ayat-ayat al-Qur’an maupun hadis-hadis Nabi. Dalam pengertian ini, maka hukum-hukum Fiqh tersebut merupakan dugaan kuat terhadap maksud Allah dan Rasul yang terkandung dalam al-Qur’an atau hadis Nabi.

Penggunaan dalil dan metode Ijtihād menjadikan hasil Ijtihād seorang mujtahid dapat saja berbeda satu sama lainnya, bahkan dengan kesimpulan bertolak belakang. Satu Ijtihād boleh jadi tidak dapat menjangkau maksud Allah dan Rasul dengan baik, sementara Ijtihād yang dihasilkan oleh mujtahid lain mendekati maksud Allah, begitu juga Ijtihād mujtahid lain boleh jadi telah dapat menyelami maksud Allah dan Rasul.

Tetapi, tidak dapat dipastikan dengan jelas Ijtihād mana yang mendekati kebenaran dengan maksud Allah dan Rasul. Yang jelas, Ijtihād yang dilakukan mujtahid dihargai oleh Allah dan Rasul, sehingga Nabi menyatakan bahwa Ijtihād yang keliru akan mendapatkan satu pahala, yaitu pahala Ijtihād, sementara Ijtihād yang benar akan mendapat dua pahala, pahala Ijtihād dan pahala kebenaran yang dicapai dalam berIjtihād.

Manganai Qā’idah “al-Ijtihād lā yunqadh bi al-Ijtihād” didasari dengan adanya ijmā’ para Sahabat dengan memahami peristiwa yang terjadi pada masa Sayidina Umar r.a berikut:[7]

 الْأَصْلُ فِي ذَلِكَ إجْمَاعُ الصَّحَابَةِ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُمْ نَقَلَهُ ابْنُ الصَّبَّاغِ وَأَنَّ أَبَا بَكْرٍ حَكَمَ فِي مَسَائِلَ خَالَفَهُ عُمَرُ فِيهَا وَلَمْ يَنْقُضْ حُكْمَهُ، وَحَكَمَ عُمَرُ فِي الْمُشَرَّكَةِ بِعَدَمِ الْمُشَارَكَةِ ثُمَّ بِالْمُشَارَكَةِ وَقَالَ ذَلِكَ عَلَى مَا قَضَيْنَا وَهَذَا عَلَى مَا قَضَيْنَا، وَقَضَى فِي الْجِدِّ قَضَايَا مُخْتَلِفَة

Pada masa pemerintahan Khalifah Umar bin Khattab ra, selama sepuluh tahun masa pemerintahannya banyak melahirkan produk hukum yang “tidak sesuai” dari keputusan yang telah diambil pendahulunya, Abu Bakar al-Shidiq ra, begitujuga dengan pendapatnya sendiri, Akan tetapi, Umar ra. bersikap sangat bijak dengan tidak membatalkan hukum yang telah ditetapkan Abu Bakar. 

Bahkan, Umar juga pernah merubah keputusan hukum yang pernah diambilnya sendiri pada tahun pertama dengan keputusan baru pada tahun berikutnya. Saat dimintai tentang kejelasan sikapnya ini, Umar mengatakan:
“Ketentuan hukum yang pernah aku cetuskan itu adalah atas keputusanku. Sementara ini (ketentuan hukum yang baru) adalah hal yang sekarang aku putuskan.”[8]

Dari statemen ini, secara tidak langsung Umar ra. telah memberikan ketegasan bahwa segala keputusan yuridis yang sebelumnya telah diambil oleh pendahulunya, Abu Bakar ra. tetap dihukumi sah sebagaimana keputusan yang telah diambilnya lalu diubahnya sendiri . 

Berangkat dari perspektif inilah, para ulama kemudian mengambil penafsiran hukum bahwa Ijtihād Umar ra. tidak dapat mengubah Ijtihād Abu Bakar. Dan dari sisi ini pula, tercetuslah sebuah konsensus (ijmā’) sahabat, bahwa al-Ijtihād la yunqadh bi al-Ijtihād, sebagaimana yang dilansir oleh Imam al-Suyuthi di atas.

Disamping landasan ijmā’ yang telah dikemukakan diatas, alasan tiadanya pembatalan hasil Ijtihād terdahulu adalah karena Ijtihād kedua belum tentu lebih kuat dibandinkan Ijtihād yang pertama , disamping karena keduanya sama-sama diperoleh dari proses Ijtihād yang sulit dan berbelit-belit. 

Hal yang membedakan keduanya Cuma konteks waktu yang tidak bersamaan ketika diputuskan. Selain itu, jika sering terjadi pembatalan produk hukum, maka yang akan timbul adalah tiadanya kepastian hukum bagi masyarakat, sebagaimana yang telah dijelaskan sebelumnya.[9]
وعلته بأنه ليس الاجتهاد الثاني بأقوى من الأول وأنه يؤدي إلى أن لا يستقر حكم وفيه مشقة شديدة.

Hal ini juga akan berdampak pada goyahnya tatanan lembaga peradilan yang menangani masalah-masalah yuridis.

Nikmati suasana air jernih nan mnyejukkan dengan liburan ke Danau Labuan Cermin
Wisata danau labuan cermin

C. Aplikasi Qā’idah
Sebagaimana penjelasan di atas dapat difahami bahwa Hukum hasil Ijtihād yang terdahulu tidak batal karena adanya Ijtihād yang baru, sehingga sahlah semua perbuatan yang berdasarkan hasil Ijtihād terdahulu akan tetapi tidak perlu diulangi lagi karena sudah dianggap sah, namun untuk perbuatan kemudian hukumnya telah berubah dengan adanya hukum hasil Ijtihād yang baru, Keterangan ini senada dengan ungkapan Syaikh Abdurrahman Ibn Shalih berikut:[10]

يريد الفقهاء بهذه القاعدة أن من غلب على ظنه  بالاجتهاد  حكم فعمل به أو أفتى به، ثم اجتهد ثانية - لوقوع ما يستدعي الاجتهاد الثاني ، أو اجتهد غيره فأدى الاجتهاد الثاني إلى خلاف ما أدى إليه الاجتهاد الأول فإن ما ثبت بالاجتهاد الأول لا ينتقض بسبب الاجتهاد الثاني، ولا يلزم من عمل بموجب الاجتهاد الأول أن يعيد - إذا كان مما تتصور فيه الإعادة

Qā’idah ini merupakan Qā’idah Fiqh yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. Perlu diketahui makna dari Qā’idah tersebut, mirip dengan Qā’idah yang berbunyi “tasharruf al-imām ‘alā al-ra’iyyah manūth bi al-maslahah” mempunyai pengertian retorik (harfiyyah) kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat.

Ijtihād yang dimaksud dalam Qā’idah ini sebenarnya berlaku dalam skala yang sangat luas,baik bagi mujtahid maupun setiap muslim yang belum mencapai kapsitas mujtahid. Artinya, Ijtihād dalam Qā’idah ini tidak hanya berlaku dalam pengertian secara terminologis yang hanya membatasi ladang Ijtihād bagi para mujtahid. 

Ijtihād disini lebih mengarah pada makna ijithad secara leksikal (lughawi), yaitu usaha maksimal seseorang dalam menentukan status hukum bagi beragam masalah yang dihadapi, dimana setiap orang mujtahid atu bukan bisa-bisa saja melakukannya. 

Sebagaimana keterangan Syaikh Abdurrahman Ibn Shalih berikut:[11]
ويشمل ذلك ما كان من باب بذل الوسع في استنباط أحكام المسائل التي لم يرد فيها نص، وما كان من باب تحقيق المناط

Karena itu, para ulama dalam literatur Fiqh membagi Ijtihād dalam tiga kategori:
Ijtihād seorang mujtahid dalam ranah masalah Ijtihādiyyah untuk mencapai titik zhan (dugaan kuat) tentang status hukumnya. 

Dalam arti, tatkala seorang mujtahid mencetuskan sebuah produk hukum dalam masalah yang tidak ada Nash qath’i yang memberikan justifikasi hukum, dan juga tidak berseberangan dengan al-Qur’an, Hadits, dan Ijmā’, maka hukum yang dicetuskan dianggap legal, mengikat, dan tidak dapat dianulir oleh hasil Ijtihād baru,baik dari dirinya sendiri maupun dari mujtahid lain.

Ijtihād seorang qadli yang masih taqlid (belum brpredikat mujtahid mutlaq) pada hal-hal yang termasuk wilayah Ijtihādiyyah, atau dalam pengambilan keputusan hukum masih mengikuti instruksiatsannya (hakim). 

Seperti dalam poin yang pertama, hukum yang dicetuskan seorang qadli sama sekalitidak dapat dieliminir. Prinsip inilah yang kemudian memunculkan idiom: “Pengakuan yang sudah djelaskan satu kali dan sudah sesuai dengan koridor syar’i tidak dapat digagalkan dan diulangi.”

Ijtihād yang belum sampai pada tataran sesungguhnya (substantif). Ijtihād disini cuma bernilai sebagai kesungguhan yang berhasil dilakukan si pelaku. Inilah Ijtihād yang dimaksud dapat dilakukan oleh siapa saja. Seperti orang yang berubah hasil Ijtihādnya dalam menentukan arah kiblat. 

Untuk meneruskan shalatnya, ia harus bersandar pada Ijtihād yang kedua. Bahkan andailkan perubahan penentuan arah kiblat yang dilakukannya misalnya terjadi sampai empat kali dalam satu shalat, maka shalatnya tetap sah dan tidak wajib. Meng-qadha atau mengulangi.[12]

Seperti telah dikemukakan di awal pembahasan, pertautan terma Ijtihād tidak hanya berlaku bagi orang yang sudah berkapasitas mujtahid. Ijtihād sebenarnya juga bergumul akrab dalam kehidupan sehari-hari. 

Sehingga dapat diambil kesimpulan bahwa perubahan Ijtihād yang dimaksud dalam Qā’idah ini adalah perubahan hasil Ijtihād yang terjadi pada objek hkum yang sama, akan tetapi dalam waktu yang berbeda, baik Ijtihād itu dilakukan oleh mujtahid, hakim, qadli, atau Ijtihād yang bersifat individual seperti yang dialami seseorang yang berubah hasil Ijtihādnya dalam menentukan arah kiblat. 

Contoh kecil, seseorang yang telah bersusah payah mencari air tapi tidak menemukannya, kemudian ia melakukan tayamum dan shalat dengan perantara tayamum tersebut. Lalu ketika masuk waktu shalat yang lain, apakah ia wajib mencari air untuk yang kedua kalinya atau tidak.

Dalam persoalan ini, ada dua pendapat fuqaha. Pendapat pertama menyatakan bahwa ia wajib mencari air lagi. Kewajiban ini berlaku ketika dalam asumsinya masih terdapat kemungkinan wujudnya air. 

Walaupun kemungkinan itu sangat kecil. Artinya, jika masih ada kemungkinan menemukan air bila berpindah tempat atau melihat sekelompok orang yang datang membawa air, maka ia wajib untuk berusaha mencari air.

Tapi jika tidak ada kemungkinan seperti itu, dan ia sudah meyakini hasil pencarian yang pertama, maka ia wajib mencarinya di tempat lain. Hal ini harus didilakukan karena masih ada kemungkinan menemukan sumur, atau seseorang yang bisa menunjukkan tempat air. 

Akan tetapi perlu diperhatikan walaupun ia wajib mencari air, namun pencarian air yang kedua ini tidak dibebankan sebagaimana beban pencarian yang pertama. Sementara menurut pendapat yang kedua, ia tidak wajib mencari air karena sudah dicukupkan dengan hasil pencarian (Ijtihād) yang pertama.[13]

Contoh lain sebagaimana yang dipaparkan oleh Imam Al-Suyuthi dalam sebuah karangannya sebagai berikut:[14]

وَمِنْ فُرُوعِ ذَلِكَ: لَوْ تَغَيَّرَ اجْتِهَادُهُ فِي الْقِبْلَةِ عُمِلَ بِالثَّانِي وَلَا قَضَاءَ حَتَّى لَوْ صَلَّى أَرْبَعَ رَكَعَاتٍ لِأَرْبَعِ جِهَاتٍ بِالِاجْتِهَادِ فَلَا قَضَاءَ
وَمِنْهَا لَوْ اجْتَهَدَ فَظَنَّ طَهَارَةَ أَحَدِ الْإِنَاءَيْنِ فَاسْتَعْمَلَهُ وَتَرَكَ الْآخَرَ، ثُمَّ تَغَيَّرَ ظَنُّهُ لَا يَعْمَلُ بِالثَّانِي، بَلْ يَتَيَمَّمْ.
وَمِنْهَا لَوْ شَهِدَ الْفَاسِقُ فَرُدَّتْ شَهَادَتُهُ فَتَابَ وَأَعَادَهَا لَمْ تُقْبَلْ ; لِأَنَّ قَبُولَ شَهَادَتِهِ بَعْدَ التَّوْبَةِ يَتَضَمَّنُ نَقْضَ الِاجْتِهَادِ بِالِاجْتِهَادِ، كَذَا عَلَّلَهُ فِي التَّتِمَّةِ.

Penjelasan dari ungkapan Imam Al-Suyuthi tersebut adalah: Sebagian dari cabang masalah Qā’idah ini adalah pada masalah menentukan arah kiblat, maka wajib baginya beramal dengan Ijtihād yang kedua serta tidak wajib meng-qadha amalan yang berdasarkan Ijtihād yang pertama, sehingga boleh baginya shalat 4 raka’at dengan 4 arah kiblat dan tidak wajib meng-qadhanya. 

Sebagian contohnya juga jikalau seseorang mengijtihan suci salah satu dari dua bejana kemudian menggunakannya, lalu tiba-tiba berubahlah dzannya maka tidak boleh beramal dengan Ijtihād yang kedua akan tetapi wajib baginya bertayamum. 

Sebagian cabang masalahnya lagi yaitu bila bersaksi orang yang fasiq, maka kesaksiannya ditolak, kemudian dia bertobat dan mengulangi lagi kesaksiannya, maka tetap tidak bisa diterima karena menerimanya kesaksian orang tersebut merupakan membatalkan Ijtihād terdahulu dengan Ijtihād baru.

Dan masih banyak lagi contoh yang lainnya, contoh di atas adalah bukti bahwa Qā’idah al-Ijtihādu la yunqadlu bi al-Ijtihād dapat kita aplikasikan dalam dinamika keseharian.

Nyantai menghilangkan penat dan stres pikiran, mari berwisata ke danau labuan cermin
Wisata danau labuan cermin

D. Qā’idah Yang Berkaitan
Setiap Qā’idah Fiqhiyyah mempunyai keterkaitan dengan beberapa Qā’idah-Qā’idah yang lain, baik keterkaitan dengan Qā’idah asalnya yang lebih umum, keterkaitan dengan Qā’idah furu’-nya yang lebih khusus, ataupun dengan sesama Qā’idah juz’iy yang khusus. 

Adapun Qā’idah “Al-Ijtihād la yunqadh bi al-Ijtihād” merupakan cabang dari sebuah Qā’idah yang lebih umum dari padanya yaitu:
الْيَقِينُ لَا يُزَالُ بِالشَّكِّ
Artinya: “ Keyakinan tidak dapat dihilangkan dengan keraguan”.[15]

Qā’idah “Al-Ijtihād la yunqadh bi al-Ijtihād” menjadi cabang Qā’idah ini karena dalam perkara menentang dua Ijtihād itu sama dengan menentang dua perkara yang masih zhanni dan belum pasti akan kebenarannya, oleh karena itu antara dua Ijtihād tersebut tidak dapat saling membatalkan, maka selama Ijtihād tersebut belum sampai kepada derajat yakin, tidak akan dapat membatalkan Ijtihād yang lain.

Adapun Qā’idah lain yang berkaitan dengan Qā’idah “Al-Ijtihād la yunqadh bi al-Ijtihād” ini salah satunya yaitu Qā’idah:
تَصَرُّفُ الْإِمَامِ عَلَى الرَّعِيَّةِ مَنُوطٌ بِالْمَصْلَحَةِ
Artinya: “Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya bergantung pada maslahat".[16]

Qā’idah ini merupakan Qā’idah Fiqh yang mempunyai aspek horizontal, karena dalam implementasinya memerlukan hubungan antara seorang pemimpin dengan masyarakat atau rakyat yang dipimpin. 

Kaitan Qā’idah ini dengan Qā’idah “Al-Ijtihād la yunqadh bi al-Ijtihād”, dimana kebijakan pemimpin yang merupakan ijtihan yang zhanniyyah dikondisikan dengan kemaslahatan umum, sehingga tidak kecil kemungkinan akan berubah-ubah seiringnya masa, dalam konteks Qā’idah “Al-Ijtihād la yunqadh bi al-Ijtihād” berarti kebijakan pemimpin yang terdahulu tetap diberlakukan sebagaimana yang telah berlaku namun untuk masa kemudia harus mengikuti kebijakan yang baru.

E. Pengecualian Qā’idah
Terdapat beberapa masalah Fiqh yang dikecualikan dari Qā’idah ini, sebagai mana yang diterangkan oleh Imam Al-Suyuthi berikut:

يُنْقَضُ قَضَاءُ الْقَاضِي إذَا خَالَفَ نَصًّا، أَوْ إجْمَاعًا، أَوْ قِيَاسًا جَلِيًّا. قَالَ الْقَرَافِيُّ: أَوْ خَالَفَ الْقَوَاعِدَ الْكُلِّيَّةَ. قَالَ الْحَنَفِيَّةُ: أَوْ كَانَ حُكْمًا لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ

Artinya: “Diruntuhkan keputusan hakim apabila menyalahi Nash (Al-Quran dan Hadis), Ijmā’, dan Qiyas yang jelas, Al-Qurafi menambahkan: atau menentang dengan Qā’idah kulliyyah, Ulama Mazhab Hanafi juga menambahkan: atau hukum tersebut tak punya dalilnya”.[17]

Sebagian contohnya adalah tindakan penjaga harta waqaf, dalam mengelola harta waqaf bila menyalahi ketentuan yang ditetapkan oleh si pemberi waqaf, maka tindakan dan keputusannya itu tibatalkan atau digugurka, karena kekuatan syarat dari si wāqif sama seperti Nash, sebagaimana penjelasan Imam Al-Suyuthi berikut:
وَمَا خَالَفَ شَرْطَ الْوَاقِفِ فَهُوَ مُخَالِفٌ لِلنَّصِّ. وَهُوَ حُكْمٌ لَا دَلِيلَ عَلَيْهِ
Artinya: “Tindakan yang menyalahi ketentuan dari si pemberi waqaf sama dengan menyalahi Nash dan dianggap tidak berdalil”[18]

Simpan uang saku mu, berhematlah dan gapai impian untuk bisa berwisata ke Danau labian cermin
Wisata danau labuan cermin

BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
Ijtihād adalah mencurahkan pikiran untuk menyelesaikan suatu persoalan. Ijtihād merupakan sebuah media elementer yang sangat besar peranannya dalam konstruksi hukum-hukum yudisial Islam (fiqh). 

Tanpa peran Ijtihād, mungkin saja konstruksi hukum Islam tidak akan pernah berdiri kokoh seperti sekarang ini, dan ajaran Islam tidak akan mampu menjawab tantangan zaman dengan beragam problematikanya. Dengan demikian Ijtihād adalah sebuah keniscayaan dalam Islam.

Kebijakan seorang pemimpin atas rakyat harus berdasarkan kemaslahatan. Tindakan dan kebijaksanaan yang ditempuh oleh pemimpin atau penguasa harus sejalan dengan kepentingan umum bukan untuk golongan atau untuk diri sendiri. Penguasa adalah pengayom dan pengemban kesengsaraan rakyat. 

Dari uraian di atas dapat diambil dua kesimpulan sebagai berikut:

Pertama: perubahan Ijtihād yang dimaksud dalam Qā’idah ini adalah perubahan hasil Ijtihād yang terjadi pada objek hkum yang sama, akan tetapi dalam waktu yang berbeda, baik Ijtihād itu dilakukan oleh mujtahid, hakim, qadli, atau Ijtihād yang bersifat individual seperti yang dialami seseorang yang berubah hasil Ijtihādnya dalam menentukan arah kiblat.

Kedua, jika terjadi perubahan Ijtihād pada obyek hukum yang berbeda, seperti contoh yang dialami seorang qadli, maka Ijtihād yang kedua sebenarnya bukanlahperubahan Ijtihād; ia hanya Ijtihād baru yang tidak terkait dengan penganuliran Ijtihād yang pertama.

B. Saran
Penyusun menyadari kekurangan sempurnanya tulisan ini, itu semua karena kurangnya ilmu pengetahuan yang penyusun miliki. Oleh karena itu diharapkan kritik serta saran yang bersifat memperbaiki makalah ini. Semoga makalah ini bermanfaat bagi semuanya terutama bagi penyusun sendiri. Amiinn.

DAFTAR PUSTAKA
- Al-Jurjani Syarief Ali Muhammad, Al-Ta’rifat, (Jeddah:Al-Haramain, tt),
- Abd Ar-Rahman ibn Shalih Abd Al-Latif, Al-Qawāid wa Al-Dhawābith Al-Fiqhiyyah Al-Mutadhammin li Al-Taisir, jld.I, (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)
- Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’, (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)

- https://ridhamu jahidah ulumuddin. wordpress. com/ 2017/ 12/18/ ijtihad- tidak- dapat-dibatalkan- dengan- ijtihad- lain/, diakses pada tanggal 31 juli 2019, pukul 12.00 WIB.
- Ibrahim Husein, Ijtihād Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 2000),
- Syaikh Ibn Najim Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir li Ibn Najim, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014).

FOOTNOTE:
[1] Ibrahim Husein, Ijtihād Dalam Sorotan, (Bandung: Mizan, 2000), h. 25
[2] Al-Jurjani Syarief Ali Muhammad, Al-Ta’rifat, (Jeddah:Al-Haramain, tt), h. 10
[3] Abd Ar-Rahman ibn Shalih Abd Al-Latif, Al-Qawāid wa Al-Dhawābith Al-Fiqhiyyah Al-Mutadhammin li Al-Taisir, jld.I, (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014)  h.59.
[4] Abd Ar-Rahman ibn Shalih Abd Al-Latif, Al-Qawāid wa Al-Dhawābith Al-Fiqhiyyah Al-Mutadhammin li Al-Taisir…, h.60.
[5] Abd Ar-Rahman ibn Shalih Abd Al-Latif, Al-Qawāid wa Al-Dhawābith Al-Fiqhiyyah Al-Mutadhammin li Al-Taisir…, h.60.

[6] Syaikh Ibn Najim Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir li Ibn Najim, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.89.
[7] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’, (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.101.
[8] https://ridhamu jahidah ulumuddin. wordpress. com/ 2017/ 12/18/ ijtihad- tidak- dapat-dibatalkan- dengan- ijtihad- lain/, diakses pada tanggal 31 juli 2019, pukul 12.00 WIB.
[9] Syaikh Ibn Najim Zainuddin Ibn Ibrahim Ibn Muhammad, Al-Asybāh wa Al-Nazhā’ir li Ibn Najim, jld.I (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.89.
[10] Abd Ar-Rahman ibn Shalih Abd Al-Latif, Al-Qawāid wa Al-Dhawābith Al-Fiqhiyyah Al-Mutadhammin li Al-Taisir…, h.60.

[11] Abd Ar-Rahman ibn Shalih Abd Al-Latif, Al-Qawāid wa Al-Dhawābith Al-Fiqhiyyah Al-Mutadhammin li Al-Taisir…, h.60.
[12] https://ridhamu jahidah ulumuddin. wordpress. com/ 2017/ 12/18/ ijtihad- tidak- dapat-dibatalkan- dengan- ijtihad- lain/, diakses pada tanggal 31 juli 2019,…
[13] https://ridhamu jahidah ulumuddin. wordpress. com/ 2017/ 12/18/ ijtihad- tidak- dapat-dibatalkan- dengan- ijtihad- lain/, diakses pada tanggal 31 juli 2019,…
[14] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’, (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.101-102.
[15] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’, (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.50.

[16] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’, (Software: Maktabah Syamilah Ar-raudah v.3.61, 2014) h.121.
[17] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’…, h.105.
[18] Al-Imam Jalaluddin As-Suyuthi, Al-Asybāh Wa Al-Nazhā’ir fī al-furū’…, h.105.

0 Response to "MAKALAH | Kaidah "al-ijtihad la yanqudhu bi al-ijtihad" - Qawaid Fiqhiyah (Referensi Kitab Kuning)"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel