(Bag.II) Hukum Asuransi Yang Mengandung Investasi Dalam Kitab Kuning || Dilengkapi Referensi [Kitabkuning90] - KitabKuning90 -->

(Bag.II) Hukum Asuransi Yang Mengandung Investasi Dalam Kitab Kuning || Dilengkapi Referensi [Kitabkuning90]

 

Hukum asuransi
Hukum Asuransi dengan Investasi

Yuk...Gabung ke Grup Whatshap kami untuk leluasa berkonsultasi kitab kuning. Klik link berikut ini:  Kitabkuning90 (Inan.id)

(Bag.II) Hukum Asuransi Yang Mengandung Investasi Dalam Kitab Kuning 

Maksud dari asuransi syariah dengan tujuan berinvestasi ini adalah akad penanaman modal, yakni peserta asuransi selaku pemegang surat polis, rela dengan premi yang dibayarkan untuk disalurkan pada jalur usaha tertentu oleh perusahaan guna memperbesar angka kemampuan pertanggungan risiko kecelakaan peserta oleh perusahaan. Hal ini biasanya berangkat dari sebuah motif bahwa tidak mungkin perusahaan hanya mengandalkan angka premi yang dibayarkan anggota sebagai bagian pertanggungan. Harus ada jalur lain guna mengamankan kemampuan pertanggungan tersebut antara lain melalui pengembangan dana yang terkumpul melalui jalur profit. Hasil pengelolaan, sudah pasti adalah milik perusahaan dan peserta asuransi secara kolektif, oleh karena itu asuransi ini cenderung kepada menjalankan akad mudhārabah.

Meski sampai saat ini akad mudhārabah dalam asuransi yang disertai investasi masih mendominasi kontrak-kontrak asuransi syariah, namun beberapa ahli ekonomi Islam mulai memberi “catatan khusus” terhadap jenis akad mudhārabah ini. Penolakan akad mudhārabah difokuskan pada beberapa hal: Definisi profit sharing dalam akad mudhārabah adalah “tingkat pengembalian dana hasil investasi”, sedangkan dalam prakteknya, yang terjadi bukan “profit sharing” (berbagi hasil), tapi “surplus sharing” (berbagi hasil dan modal) dimana yang dibagihasilkan adalah “hasil investasi ditambah modal pokok” yaitu dalam kondisi apabila seluruh dana premi yang terkumpul masih tersisa setelah dikurangi beban asuransi dan biaya operasional.[1] 

Atas dasar itulah ulama mengharamkan asuransi yang mengandung investasi ini, sebagaimana pernyataan Syaikh Wahbah al-Zuhaili berikut:

وكان الاتجاه الجماعي والإجماعي القائل بحـل التـأمين التعاوني والاجتماعي واعتماده منهجاً وأساساً لعقود التأمين المختلفة، وتحريم التأمين التجاري متمثـلاً[2]

Artinya: “Hasil dari musyawarah dan kesepakatan ulama menyatakan halal asuransi saling tolong-menolong dan asuransi social. Dan menjadikannya pegangan merupakan metode dan dasar bagi akad asuransi yang berbeda-beda, Dan mengharamkan asuransi komersial (tijāri) sebagai perumpamaan”.

Wahbah al-Zuhaili dalam kitab Al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah juga menjelaskan beberapa sisi alasan diharamkannya akad asuransi yang mengandung investasi ini, berikut ulasan beliau:

ذلك لأن عقد التأمين التجاري عقد فاسد شرعاً، لأنه معلق على خطر، تارة يقع، وتارة لا يقع، فهو قمار معنى. ولا يندرج تحت عقد المضاربة ولا يلحـق به، لأن رب المال يتحمل الخسارة وحده في المضاربة على عكـس التـأمين، ولو مات رب المال في المضاربة فليس لورثته إلا مـا دفعه مورثهـم، بخلاف التأمين حيث يتقاضون مبلغاً ضخماً، وليس في طبيعة عقد التأمين أي تعرض للخسارة، والمضاربة خلافه. والربح في المضاربة نسبي ·غير حدد[3]

Artinya: “Haramnya asuransi komersial seperti demikian karena akad asuransi komersial tersebut merupakan akad yang fasid menurut syariat, karena akad tersebut dikaitkan dengan bahaya yang pada satu kemungkinan akan terjadi dan kemungkinan lain tidak akan terjadi. Maka akad tersebut sama dengan akad qamar pada maknanya. Dan akad tersebut tidak masuk di bawah akad mudhārabah dan tidak dapat dihubungkan dengan akad mudhārabah, karena pemilik modal menanggung kerugian sendirinya dalam akad mudhārabah, berbeda pada asuransi ini. Dan kalau pemilik modal mati dalam akad mudhārabah maka bagi ahli waris tidak mengambil apa-apa kecuali apa yang pernah diberikan oleh pewaris mereka, berbeda asuransi ini, kiranya mereka menagih harta yang lebih banyak. Dan pada kebiasaan akad asuransi ini tidak mau menanggung kerugian, padahal akad mudhārabah sebaliknya. Dan keuntungan dalam akad mudhārabah dipresentasikan, bukan dipastikan”.

والخلاصة: يشتمل التأمين ذو القسط الثابت (أو التأمين التجاري) على خمسة أسباب تجعله حراماً :[4]

Artinya: “Kesimpulannya asuransi yang mengandung investasi atau asuransi komersial (tijāri) mencakup di atas lima sebab yang menjadikannya haram”.

- الربا: ففي عوض التأمين زيادة على الأقساط المدفوعة بلا عوض، وهـو ربا، وتستثمر شركات التأمين أموالها في أنشـطة ربوية، وتحتسـب فـائدة على المستأمن إذا تأخر في سداد الأقساط المستحقة، حتى إن القائلين بجـواز عقـد التأمين يعترفون بوجود الربا أو شبهته في عوض التأمين. [5]

Artinya: “Sebab yang pertama adalah riba, karena pada bayaran asuransi ini melebihi di atas angsuran yang pernah diberikan dengan tanpa bayaran, dan hal demikian adalah riba. Dan para member asuransi ini telah menginvestasikan harta-harta mereka ke dalam harapan riba. Dan bunga diperhitungkan untuk si penanggung apabila la terlambat dalam melunasi iyuran yang semestinya, sehingga orang yang berkata boleh akad asuransi komersial ini mengakui dengan adanya riba atau yang menyerupainya riba dalam bayaran asuransi”.

 الغرر الفاحش غير اليسير: إن مقابل التأمين يكون على أمر احتمالي غير ثابت ولا محقق الوجود، وهذا غرر، وقد تغرم شركات التأمين مبلغاً كبيراً دون مقابل، بناء على الغرر. [6]

Artinya: “Sebab yang ke-2 adalah ketidakjelasan yang keji dan tidak sedikit, karena bayaran dalam asuransi ini adalah berdasarkan suatu urusan yang masih dalam kemungkinan yang belum ada dan belum pasti adanya, dan ini merupakan ketidakjelasan. Dan sungguh para member asuransi ini membayar iuran yang sangat banyak tanpa adanya balasan, ini juga berdasarkan diatas ketidakjelasan”.

 الغبن: يشتمل التأمين التجاري علـى غـيـن فـاحش، لعـدم وضـوح محـل العقد، والعلم بالمحل شرط لصحة العقد. [7]

Artinya: “Sebab yang ketiga adalah adanya kerugian, asuransi komersial ini mengandung kerugian yang sangat keji, karena ketidak jelasan tempat akad, padahal mengetahui tempat tersebut merupakan syarat bagi sahnya akad”.

 - القمار: في التأمين مخاطرة لتعريض النفس والمال لفرصة مجهولة، وهـذا هو القمار بعينه، والمستأمن يبذل اليسير من المال في انتظار أخـذ مبلغ كبير [8]

Artinya: “Sebab yang keempat adalah terjadinya perjudian. Dalam asuransi ini, beresiko, karena sama dengan menyerahkan diri dan harta untuk harapan yang belum jelas, dan ini merupakan perjudian dengan bentuk transaksinya dan penjamin memberikan sedikit harta untuk menunggu dapat mengambil tagihan yang besar”.

Dari keterangan di atas dapat disimpulkan bahwa hukum asuransi dalam pandangan fiqh Syāfi’iyyah terbagi kepada beberapa bentuk sesuai dengan mekanisme cara menjalankannya, yaitu:

a) Asuransi Konvensional tanpa investasi hukumnya haram, karena tidak dapat digolongkan kepada satu akan apapun yang dapat di-sah-kan.

b) Asuransi Syariah tanpa investasi (atau yang diistilah dengan ta’mīn ta’awwuni) hukumnya boleh karena dari praktiknya menganduk kepada akad tabarru’ mealalui jalur perwakilan penyaluran harta.

c) Asuransi yang mengandung investasi (yang diistilah dengan ta’mīn tijāri) hukumnya haram, karena mengandung unsur riba, perjudian, gharar dan kerugian”.

Sebagai contoh praktik asuransi misalnya; seorang peserta mengambil paket asuransi jiwa dengan masa pertanggungan 10 tahun dengan manfaat 10 juta rupiah. Bila ia ditakdirkan meninggal dunia di tahun ke-empat dan baru sempat membayar sebesar 40 juta maka ahli waris akan menerima sejumlah penuh 100 juta. Pertanyaannya, sisa pembayaran sebesar 60 juta diperoleh dari mana?. Disinilah kemudian timbul gharar sehingga menurut hemat penulis sebagai solusi diperlukan mekanisme khusus untuk menghapus hal itu, yaitu penyediaan dana khusus untuk pembayaran klaim (yang pada hakekatnya untuk tujuan tolong-menolong) berupa rekening tabarru’. Selanjutnya, dana yang terkumpul dari peserta (shāhibul mal) akan diinvestasikan oleh pengelola (mudhārib/wakil) ke dalam instrumen-instumen investasi yang tidak bertentangan dengan syariat. Apabila dari hasil investasi diperoleh keuntungan (profit), maka setelah dikurangi beban-beban asuransi, keuntungan tadi akan dibagi antara shāhibul mal (peserta) dan mudhārib (pengelola) berdasarkan akad mudhārabah (bagi hasil) dengan rasio (nisbah) yang telah disepakati di muka atau membayar fee kepada wakil. [9]

Referensi:
[1]HM Cholil Nafis, Mengenal Asuransi Syariah, (online) https://islam. nu.or. id/post/ read/23381/ mengenal- asuransi- syariah, diakses pada 25 Juli 2021
[2]Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah, (Damaskus, Dar al-Fikr, tt), h.263
[3]Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah, (Damaskus, Dar al-Fikr, tt), h.264
[4]Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah…, h.267
[5]Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah…, h.267

[6]Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah…, h.267
[7]Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah…, h.267
[8]Wahbah al-Zuhaili, Al-Mu’amalat al-Maliyah al-Mu’ashirah…, h.267
[9]HM Cholil Nafis, Mengenal Asuransi Syariah, (online) https://islam. nu.or. id/post/ read/23381/ mengenal- asuransi- syariah, diakses pada 25 Juli 2021

0 Response to "(Bag.II) Hukum Asuransi Yang Mengandung Investasi Dalam Kitab Kuning || Dilengkapi Referensi [Kitabkuning90]"

Posting Komentar

Iklan Atas Artikel

Iklan Tengah Artikel 2

Iklan Bawah Artikel