Latar Belakang Dan Dasar-Dasar TASTAFI (Tashawwuf, Tauhid dan Fiqh) - Kitabkuning90
TASTAFI |
TASTAFI (Tashawwuf ,Tauhid dan Fiqh)
A. Latar Belakang Masalah
Dasar ajaran Islam yang
terdiri dari aqidah, syari’ah, dan tashawwuf sering sekali di lupakan
keterkaitannya. Contohnya : seseorang melakukan sholat, berarti dia melakukan
syari’ah. Tetapi sholat itu dilakukannya untuk membuat kagum orang-orang
disekitarnya, berarti dia tidak melaksanakan aqidah. Karena sholat itu
dilakukannya bukan karena Allah SWT, maka sholat itu tidak bermanfaat bagi
dirinya sendiri ataupun orang lain. Alhasil, dia tidak mendapatkan manfaat pada
akhlaqnya. Itulah yang menjadikan suatu perbuatan yang seharusnya mendapat
ganjaran pahala, tapi malah menjadi suatu kesia-siaan karena tidak dilakukan
semata-mata karena Allah. Begitu pula sebaliknya seseorang yang dalam hatinya
sangat tekun beribadah, penuh keikhlasan dalam manjalankan segala perintah
Allah, namun bila tidak dilakukan sesuai dengan tuntunan syari’ah maka semua
ibadah yang sudah dilakukan tersebut pun tidak sah dan sia-sia belaka. Oleh
karena itu, bagi seluruh umat Islam penting untuk diiringi dengan syari’ah yang
terangkum dalam fiqh, aqidah yang terangkum dalam ilmu tauhid dan juga tashawwuf
dalam bertaqwa kepada Allah SWT.
Karena betapa pentingnya tashawwuf, tauhid dan fiqh ini, Abu Syaikh H Hasanoel Bashri HG salah seorang ulama sesepuh Aceh menghimpun tiga ilmu ini dalam pengajian-pengajian beliau yang kemudian dikembangkan oleh para ulama-ulama Aceh yang lain dan murid-murid beliau sehingga terbentuklah sebuah organisasi keislaman dengan sebutan TASTAFI sebagai singkatan dari Tashawwuf, Tauhid dan Fiqh.
B. Rumusan Masalah
Adapun yang menjadi
fokus kajian dalam makalah ini meliputi tiga poin sebagai berikut:
- 1. Apa pengertian tashawwuf,
tauhid dan fiqh (TASTAFI)
- 2. Apa saja ruang
lingkup kajian TASTAFI
- 3. Apa hubungan antara tashawwuf, tauhid dan fiqh (TASTAFI)
C. Pembahasan
- Pengertian Tashawwuf,
Tauhid Dan Fiqh (TASTAFI)
Ilmu Tauhid secara harfiah,
berarti ilmu tentang keesaan Allah swt. Sebagaimana diketahui bahwa, masalah
keesaan Tuhan adalah bagian dari masalah-masalah aqidah yang paling utama,
karena “mengesakan Allah” itu tujuan hakiki dari aqidah Islam, maka ilmu
tentang aqidah Islam dinamakan dengan Tauhid. Ilmu tauhid disebut juga dengan
ilmu kalam, maksudnya adalah kalamullah sebagai objek bahasan. Definisi
ilmu tauhid selanjutnya dapat dilihat pada beberapa definisi yang dirumuskan
para ahli berikut ini:
- Menurut Muhammad Abduh “Ilmu Tauhid
adalah suatu ilmu yang didalamnya dibahas tentang sifat-sifat yang wajib, yang
jaiz ada dan yang mesti tidak ada (mustahil) bagi-Nya. Dan (dibahas pula)
tentang para Rosul untuk meyakini keutusan mereka, tentang sifat-sifat yang
wajib, yang jaiz dipunyai dan yang tidak boleh (mustahil).[1]
- Ibnu Kaldun dalam kitab muqaddimah-nya,
menjelaskan bahwa: Ilmu Kalam adalah ilmu yang berisi argument-argumen rasional
untuk membela aqidah-aqidah imaniah dan berisi pula bantahan terhadap golongan
bid’ah yang dalam bidang aqidah menyimpang dari madzhab salaf dan madzhab
ahlussunnah.[2]
- Husein Afandi Al-Jisr dalam kitab Al-Hushun
Al-Hamidiyah menyebutkan bahwa: ilmu tauhid adalah ilmu yang melakukan
bahasan tentang penetapan aqidah-aqidah agama dengan dalil-dalil yang
meyakinkan (nyata). [3]
- Menurut Ahmad Fuad al-Ahwani dalam kitab
al-falsafah al-islamiyah ditegaskan bahw: ilmu kalam adalah memperkuat
aqidah-aqidah agama Islam dengan argument-argumen nasional, atau dengan kata
lain, merupakan rangkaian argumentasi rasional yang disusun secara sistematik
untuk memperkokoh kebenaran aqidah agama Islam.[4]
Adapun pengertian fiqh
secara bahasa, fiqh berarti tahu, paham dan mengerti, hal ini
dipakai secara khusus dalam bidang hukum agama ( Yurisprodensi Islam).[5]
Berarti fiqh secara bahasa adalah keterangan tentang pengertian atau
paham dari maksud ucapan si pembicar, atau pemahaman yang mendalam terhadap
maksud – maksud perbuatan dan perkataan.[6]
Dalam pengertian
terminologis, fiqh adalah hukum-hukum syara’ yang bersifat praktis (‘amaliah)
yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci.[7]
Contohnya hukum wajib sholat, diambil
dari perintah Allah dalam ayat “aqimu al-shalat” (dirikanlah shalat).
Karena dalam Al Qur’an tidak dirinci bagaimana tata cara menjalankan shalat, maka
Nabi Muhammad saw bersabda: “kerjakanlah shalat, sebagaimana kalian melihat aku
menjalankannya” (shallu kama raaitumuni ushalli). Dari praktek Nabi
Muhammad inilah, para sahabat, tabi’in, dan fuqaha’ merumuskan tata aturan
shalat yang benar dengan segala syarat dan rukunnya.
Sedangkan tashawwuf
adalah ajaran kebersihan batin (hati), yang hanya bertujuan semata-mata untuk
bisa memasuki hadhratul qudsiyah ( hadrat kesucian) dengan makrifat
(pengenalan kepada Allah) sesempurna mungkin, agar bisa musyahadah
(penyaksian), mukasyafah (terbuka tirai) dengan siraman mahabbah
dari pada-Nya. Syaikh Muhammad Amin Al-Kurdy mengatakan bahwa tashawwuf
adalah suatu ilmu yang dengannya dapat diketahui hal ihwal kebaikan dan
keburukan jiwa, cara membersihkannya dari (sifat-sifat) yang buruk dan tercela
serta mengisinya dengan sifat-sifat yang terpuji, cara melakukan suluk,
malangkah menuju (keridhaan) Allah dan meninggalkan (larangan-Nya) menuju
kepada (perintah-Nya). Imam Al-Ghazali mengatkan bahwa tashawwuf berarti
budi pekerti; barangsiapa yang memberikan bekal budi pekerti atasmu, bermakna
ia memberikan bekal atas dirimu dalam tashawwuf. Imam Junaid Al-Baghdadi
mengatakan bahwa tashawwuf adalah Allah mematikan kelalaianmu dan
menghidupkan dirimu dengannya. Sedangkan Abu Bakar Muhammad Al-Kattani berkata
bahwa tashawwuf adalah kejernihan dan kesaksian.
Dari beberapa definisi tashawwuf
di atas dapat difahami bahwa perkara yang paling penting dalam mempelajari
ilmu tashawwuf adalah bagaiman kita berakhlaq mulia terutama dalam
bermunajah kepada Allah swt dan juga bagaimana kita mendekatkan diri kepada
Allah dalam setiap saat. Kehadiran Allah dalam manusia itu penting untuk
membebaskan diri dari ketergantungan kepada makhluk lain, memebebaskan diri
dari kecintaan kepada selain-Nya, membebaskan diri dari ketakutan kepada selain
Dia Yang Maha Perkasa dan sebagainya.[8]
- Ruang Lingkup Kajian TASTAFI
Ruang lingkup
pembahasan ilmu tashawwuf adalah seluruh aspek kehidupan manusia, baik hubungannya
kepada Allah ataupun hubungan sesama manusia yang meliputi sifat-sifat mahmudah
(terpuji) dan sifat madzmumah (tercela).[9]
Sedangkan ruang lingkup pembahasan ilmu tauhid adalah mengenal Allah SWT dengan
cara mengetahui sifat-sifatnya yang wajib, jaiz dan mustahil dan mengenal
sifat-sifat rasul. Adapun ruang lingkup pembahasan ilmu fiqh adalah hukum-hukum
syara’ yang bersifat praktis (‘amaliah) yang berupa ibadah dan mu’amalah.
- Hubungan Antara Tashawwuf, Tauhid Dan Fiqh (TASTAFI)
Aqidah dan syari’at
merupakan kesatuan yang tidak dapat dipisahkan. Sebagaimana telah diketahui bahwa iman itu merupakan
keyakinan dan amalan adalah sebagai tolak ukurnya. Keyakinan inilah yang disebut
dengan tauhid, dan amalan ini yang disebut fiqh. Orang yang tinggi nilai
tauhid dalam hatinya, tentu tinggi juga nilai fiqh yang terwujud dalam
amalannya. Sedangkan Tashawwuf sering dikaitkan dengan hakikat yang
dihubungkan dengan fiqh yang sering disebut syari’at, “hakikat itu isi
dan syari’at itu kulit”. Tidak mungkin isi bisa bagus kalau kulitnya rusak dan
percuma juga kulit bagus kalau isinya sudah busuk. Oleh karena itu syari’at
yang tertuang dalam ilmu fiqh sama pentingnya dengan hakikat yang
diajarkan dalam tashawwuf.
Sekian semoga bermanfaat dunia wal
akhirat !!
[1]M.Abduh, tt: h.7
[2]Ibn Kaldun, tt: h.326
[3]Husein Afandi, tt: h.7
[4]Fathul
Mufid, Ilmu Tauhid/Kalam (Kudus : STAIN PRESS, 2009), h.3-5
[5]Abu
Al-Fadl al-Din Muhammad bin Mukhram bin Mansur, Lisan al-‘Arab, Vol.
XIII, (Beirut: Dar Shadr, 1968), h. 522; dan Lois Ma’luf, al-Munzid fi
al-lighat wa al-a’lam, (Beirut: Dar al-Masyriq, 1986), h. 591
[6]Al-Syarif
Ali bin Muhammad Al-Jarjani, al-Ta’rifat, (Singapura: al-Haromain, t.th).
h. 168; dan Lihat Muhammad Abu Zahrah, Ushul al-Fikr, (Mesir: Dar
Al-Fikr al-‘Arabi, 1958), h. 6
[7]T.M.Hasbi
As-Shiddieqy, Pengantar Ilmu Fiqh, (Jakarta: Bulan Bintang, 1974), h.
26.
[8]Dr.
Muhammad Abdurrahman, Akhlaq Menjadi Seorang Muslim Berakhlaq Mulia, (Jakarta
: RajaGrafindo Persada, 2016). H. 263-267.
[9]Muhammad
al-Ghazali, Akhlaq Seorang Muslim, (terj). dari Moh.Rifa’I dari judul Khuluk
al-Muslim, Cet.IV (Semarang: Wicaksana, 1993). h.68
wah keren blog nya, terus berkarya kang, jangan lupa berkunjung juga potretsantri
BalasHapus