-->

Penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Al-Khāzin mengenai makna fī sabīlillāh sebagai mustahiq zakat dalam surat At-Taubah ayat 60 (Kitabkuning90)

Makna fī sabīlillāh sebagai mustahiq zakat menurut Penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Al-Khāzin 

A. Asbabun Nuzul surat At-Taubah ayat 60

Terkait dengan ayat-ayat tentang fī sabīlillāh dalam Al-Qur’an telah ditetapkan dalam Al-Qur’an yang menjelaskan tentang mustahiq zakat, yaitu surat At-Taubah ayat 60, Allah Swt berfirman:

“Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah [9]: 60).[1]

Asbāb al-nuzūl suat At-Taubah ayat 60 ini masih berkaitan dengan ayat sebelumnya yang menjelaskan terkait respon orang-orang munafik yang mempermasalahkan pembagian zakat dan tidak setuju dengan keputusan Nabi Saw. Imam Ibnu Katsir menerangkan:

لما ذكر تعالى اعتراض المنافقين الجهلة على النبي صلى الله عليه وسلم ولمزهم إياه في قسم الصدقات بين تعالى أنه هو الذي قسمها وبين حكمها وتولى أمرها بنفسه ولم يكل قسمها إلى أحد غيره فجزأها لهؤلاء المذكورين[2]

Artinya: “Setelah Allah menyebutkan bantahan orang-orang munafik yang bodoh kepada Nabi Saw. serta celaan mereka kepada Nabi Saw. dalam pembagian harta zakat. maka Allah menjelaskan bahwa Dialah yang membagikannya dan Dialah yang menjelaskan hukumnya serta mengatur urusannya, Dia tidak akan menyerahkan hal tersebut kepada siapa pun. Maka Allah membagi-bagikannya di antara mereka yang telah disebut­kan di dalam ayat ini”.

Senada dengan keterangan Al-Khāzin yang menjelaskan manakala orang-orang munafik mencela Rasulullah Saw mengenai pembagian zakat, maka dalam ayat ini ditegaskan yang berhak memperoleh zakat ada delapan golongan, dan tidak ada satu pun yang diberikan kepada Rasulullah Saw, dan Rasulullah pun tidak mengambil sedikit pun untuk dirinya sendiri, sehingga mereka tidak menyalahkan dan mencelanya lagi dan mereka akkhirnya tidak keberatan dengan hal itu.[3] Hal ini sebagaimana yang tersirat dalam sebuah riwayat:

عن زياد بن الحرث الصدائي قال «أتيت رسول الله صلى الله عليه وسلم فبايعته فأتاه رجل فقال أعطني من الصدقة فقال له رسول الله صلى الله عليه وسلم: إن الله لم يرض بحكم نبي ولا غيره في الصدقات حتى حكم فيها هو فجزأها ثمانية أجزاء فإن كنت من تلك الأجزاء أعطيتك حقك» أخرجه أبو داود[4]

Artinya: “Diriwayatkan dari Ziyad bin Al-Harith Al-Shada'i, dia berkata: “Aku datang kepada Rasulullah SAW, dan berjanji setia kepadanya dan berkata, “Berikanlah kepadaku sebagian dari zakat tersebut”. Kemudian Rasulullah SAW bersabda kepadanya: Allah tidak akan ridha dengan keputusan seorang Nabi atau orang lain mengenai zakat, hingga Dia sendiri yang menetapkannya, maka Dia telah menetapkan delapan bagian. Jika kamu termasuk salah satu dari bagian ini, Aku berikan hakmu kepadamu”. Hadis riwayat Abu Daud.

Berdasarkan keterangan ini dapat dipahami bahwa sebab yang melatarbelakangi turunnya suat At-Taubah ayat 60 adalah bantahan orang-orang munafik kepada Nabi Saw, serta celaan mereka kepada Nabi Saw dalam pembagian zakat. maka Allah menjelaskan bahwa Dialah yang menetapkannya dan membagikan hanya kepada delapan golongan yang tersebut dalam suat At-Taubah ayat 60 tersebut.

B. Penafsiran Ibnu Kaṡīr mengenai makna fī sabīlillāh sebagai mustahik zakat

Di zaman era modern sekarang ini, telah banyak timbul pemikiran-pemikiran baru yang mengembangkan dasar-dasar syariat, atau memperluas pemahaman makna dari sebuah konteks yang terkait dengan hukum. Diantaranya adalah makana fī sabīlillāh sebagai mustahik zakat. Imam Ibn Kaṡīr salah seorang ulama fiqh serta mufassir terkemuka berpandangan bahwa makna fī sabīlillāh dalam konteks mustahik zakat mencakup kepada orang-orang yang berperang tetapi tidak memperoleh hak (gaji/bayaran) dari pemerintah. Berikut keterangan beliau:

وأما في سبيل الله فمنهم الغزاة الذين لا حق لهم في الديوان،[5]

Artinya: “Adapun mengenai fī sabīlillāh, di antara mereka adalah orang-orang yang berperang tetapi tidak memperoleh hak (gaji/bayaran) untuk mereka dalam bukum daftar prajurit”.

Namun Ibnu Kaṡīr dalam kitab tafsirnya Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm juga sempat mengutip pandangan Imam Ahmad dan Imam Hasan Ibn Ishaq yang memperluas makna fī sabīlillāh kepada orang-orang yang berhaji dan tidak mempunyai kecukupan bekal. Berikut kutipannya:

وعند الإمام أحمد والحسن وإسحاق والحج من سبيل الله الحديث. [6]

Artinya: “Menurut Imam Ahmad dan Al-Hasan ibnu Ishaq, melakukan ibadah haji termasuk sabīlillāh, karena berdasarkan hadis”.

Memahami dari penjelasan yang ada, secara zahir, hak fī sabīlillāh dalam koteks zakat dapat diberikan kepada orang-orang yang dimaksud walaupun mereka merupakan orang-orang yang berkecukupan dan merupakan orang yang memiliki usaha atau kaya. Hal ini kiranya dikecualikan dari hadis-hadis yang membatasi pembagaian zakat kepada orang-orang yang kaya, sebagaimana dalam sebuah hadis Rasulullah bersabda:

لَا تَحِلُّ الصَّدَقَةُ لغَنِيٍّ وَلَا لِذِي مِرَّة سَويّ[7]

Artinya: “Zakat itu tidak halal bagi orang yang berkecukupan, tidak pula bagi orang yang kuat lagi bermata pencaharian”.

Hadis ini merupakan riwayat Imam Ahmad, Imam Abu Daud, dan Imam Turmuzi. Dalam hadis lain, Imam Ahmad, Imam Nasai, dan Imam Ibnu Majah telah meriwayatkan hal yang semisal dari Abu Hurairah, bahwa Rasulullah bersabda:

عَنْ عُبَيْدِ اللَّهِ بْنِ عَدِيِّ بْنِ الْخِيَارِ: أَنَّ رَجُلَيْنِ أَخْبَرَاهُ: أَنَّهُمَا أَتَيَا النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَسْأَلَانِهِ مِنَ الصَّدَقَةِ، فَقَلَّبَ إِلَيْهِمَا الْبَصَرَ، فَرَآهُمَا جَلْدين، فَقَالَ: "إِنْ شِئْتُمَا أَعْطَيْتُكُمَا، وَلَا حَظَّ فِيهَا لِغَنِيٍّ وَلَا لِقَوِيٍّ مُكْتَسِبٍ. [8]

Artinya: “Dari Ubaidillah ibnu Addi ibnul Khiyar, disebutkan bahwa dua orang lelaki pernah menceritakan kepadanya, bahwa keduanya pernah datang kepada Nabi Saw meminta bagian harta zakat. Maka Nabi Saw memandang tajam kepada keduanya, dan Nabi Saw menilai keduanya adalah orang yang kuat lagi sehat. Lalu Nabi Saw bersabda: Jika kamu berdua menginginkannya, maka aku akan memberi kamu berdua, tetapi tidak ada bagian dari zakat bagi orang yang kaya, tidak pula bagi orang yang kuat lagi mempunyai kasab (mata pencaharian)”.

Dari dua riwayat hadis tersebut telah secara jelas bahwa harta zakat dibatasi dan tidak boleh diberikan kepada orang-orang kaya atau orang yang memiliki usaha, namun dalam hal pembagian harta zakat untuk hak fī sabīlillāh kiranya hal demikian dikecualikan. Sehingga zakat tetap boleh diberikan kepada fī sabīlillāh, dalam hal ini adalah orang-orang yang berperang di jalan Allah dan tidak mendapat hak dari pemerintah, walaupun orang tersebut merupakan orang kaya ataupun orang yang memiliki usaha yang berkecukupan. Pengecualian ini juga jelas ditegaskan dalam beberapa riwayat hadis, diantaranya:

والدليل على ذلك الآية وما رواه الإمام أبو داود وابن ماجه من حديث معمر عن زيد بن أسلم عن عطاء بن يسار عن أبي سعيد رضي الله عنه، قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لا تحل الصدقة لغني إلا لخمسة: العامل عليها أو رجل اشتراها بماله، أو غارم، أو غاز في سبيل الله، أو مسكين تصدق عليه منها فأهدى لغني»[9]

Artinya: “Dalil yang menyatakan hal ini adalah ayat di atas, dan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Abu Daud dan Ibnu Majah melalui Ma'mar, dari Zaid ibnu Aslam, dari Ata ibnu Yazar, dari Abu Sa'id r.a. yang mengatakan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: “Zakat tidak halal bagi orang yang berkecukupan, kecuali lima macam orang, yaitu orang yang mengurusi zakat atau seorang lelaki yang membelinya dari hartanya, atau orang yang berutang, atau orang yang berperang di jalan Allah, atau orang miskin yang diberi bagian dari harta zakat, lalu ia menghadiahkannya kepada orang yang kaya”.

Dalam hadis lain riwayat Sufyan dan Abu Daud juga dijelaskan bahwa hak zakat untuk fī sabīlillāh boleh dibrikan kepada orang yang walaupun merupakan orang kaya. Berikut kutipan hadis tersebut:

وقد رواه السفيان عن زيد بن أسلم عن عطاء مرسلا، ولأبي داود عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لا تحل الصدقة لغني إلا في سبيل الله وابن السبيل أو جار فقير فيهدي لك أو يدعوك» [10]

Artinya: “Sufyan telah meriwayatkan sebuah hadis dari Zaid ibnu Aslam dari ‘Ata’ secara mursal. Menurut riwayat Imam Abu Daud dari ‘Atiyyah Al-Aufi dari Abu Sa'id Al-Khudri disebutkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: Zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali bagi yang sedang berjuang di jalan Allah dan yang sedang menjadi ibnu sabil, atau tetangga yang fakir, lalu ia menghadiahkannya kepadamu atau mengundangmu (kepada jamuannya)”.

Diakhir penjelasan tafsir suat At-Taubah ayat 60, Imam Ibnu Katsir juga menjelaskan:

وقوله: فريضة من الله أي حكما مقدرا بتقدير الله وفرضه وقسمه والله عليم حكيم أي عليم بظواهر الأمور وبواطنها وبمصالح عباده حكيم فيما يقوله ويفعله ويشرعه ويحكم به، لا إله إلا هو ولا رب سواه. [11]

Artinya: “Firman Allah Swt: “sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah”.Yakni ketetapan yang telah dipastikan oleh Allah, Dialah yang memutuskan dan yang membagi-bagikannya. “dan Allah Maha Mengetahui lagi Mahabijaksana”. Maksudnya, mengetahui lahiriah semua perkara, juga batiniahnya serta mengetahui kemaslahatan hamba-hamba-Nya. “lagi Maha bijaksana” dalam semua ucapan-Nya, perbuatan-Nya, semua hukum serta syariat-Nya. Tidak ada Tuhan seiain Dia, dan tidak ada Rabb kecuali Dia.

Dari keterangan di atas dapat dipahami bahwa menurut pandangan Ibn Kaṡīr, makna fī sabīlillāh dalam konteks mustahiq zakat, mencakup kepada semua orang-orang yang berperang demi membela agama Allah, tetapi tidak memperoleh hak (gaji/bayaran) dari pemerintah karena tidak tercantum namanya dalam daftar prajurit perang. Dalam hal ini, Ibnu Kaṡīr sempat mengutip pandangan Imam Ahmad dan Imam Hasan Ibn Ishaq yang memperluas makna fī sabīlillāh kepada orang-orang yang berhaji dan tidak mempunyai kecukupan bekal. Maka zakat tidak dapat diberikan kepada orang selain dua maksud tersebut, yaitu selain kepada tentara perang dan orang yang berhaji dengan atas nama hak fī sabīlillāh.

C. Penafsiran Al-Khāzin mengenai makna fī sabīlillāh sebagai mustahik zakat

Dalam menafsirkan surat At-Taubah ayat 60 di atas, Abu Hasan Al-Khāzin lebih menekankan pada pemahaman lafaz yang digunakan dalam penetapan mustahiq zakat pada surat At-Taubah ayat 60 tersebut. Dimana dalam menguraikan 4 golongan mustahiq yang pertama (fakir, miskin, amil dan muallaf) menggunakan huruf jar lam li al-milki, sedangkan pada 4 golongan mustahiq zakat yang terakhir (riqab, gharim, fī sabīlillāh dan ibnu sabil) menggunakan huruf jar fi al-zarfiyyah. Perbedaan ini tentu memiliki maksud tersndiri yang membedakan antara 4 golongan mustahiq zakat yang pertama dan 4 golongan mustahiq zakat yang kedua.[12] Sebagaimana penjelasan Abu Hasan Al-Khāzin berikut:

أنه سبحانه وتعالى أثبت الصدقات للأصناف الأربعة المتقدمة بلام الملك فقال: إنما الصدقات للفقراء. وقال: في الصنف الخامس وفي الرقاب فلا بد لهذا الفرق من فائدة وهي أن الأصناف الأربعة المتقدم ذكرها يدفع إليهم نصيبهم من الصدقات فيصرفون ذلك فيما شاؤوا[13]

Artinya: “Allah SWT menetapkan zakat untuk empat golongan yang pertama dengan huruf lam al-milki, maka Allah berfirman: “Zakat hanya untuk orang-orang fakir…”, dan Allah menetapkan pada golongan yang ke-5: “dan pada hamba saya”, maka pasti karena hal demikian terdapat perbedaan faedah. Faedah tersebut adalah 4 golongan yang pertama tersebut diberikan bagian zakat mereka langsung kepada mereka sendiri, kemudian mereka boleh menggunakannya untuk apapun yang mereka kehendaki”.

وأما الرقاب فيوضع نصيبهم في تخليص رقابهم من الرق ولا يدفع إليهم ولا يمكنون من التصرف فيه وكذا القول في الغارمين فيصرف نصيبهم في قضاء ديونهم وفي الغزاة يصرف نصيبهم فيما يحتاجون إليه في الغزو وكذا ابن السبيل فيصرف إليه ما يحتاج إليه في سفره إلى بلوغ غرضه[14]

Artinya: “Sedangkan hak riqab, diberikan bagian mereka untuk membebaskan kehambaan mereka dari kemerdekaan dan tidak diberikan langsung kepada mereka dan juga mereka tidak mungkin menggunakan harta tersebut. Begitu juga penjelasan tentang hak gharim, bagian zakat disalurkan kepada mereka untuk melunasi hutang-hutang mereka, dan demikian juga pada tentara perang, disalurkan bagian zakat mereka pada hal-hal yang mereka perlukan untuk berperang, sama juga seperti Ibnu Sabil, maka zakat disalurkan kepada mereka untuk keperluan perjalanan mereka hingga sampai tujuan”.

Di sini Abu Hasan Al-Khāzin memahami kata “fī” yang mendahului 4 golongan mustahiq zakat yang terakhir (riqab, gharim, fī sabīlillāh dan ibnu sabil) sebagai żaraf (kata sambung yang menerangkan tempat atau waktu) yang penggunaannya dibedakan dari empat kelompok mustaḥiq zakat yang pertama, dimana pada kelompok fakir, miskin, ‘āmil dan muallaf dalam penyebutannya diiringi dengan kata “li” yang menunjukkan kepemilikan, sedangkan pada empat kelompok mustaḥiq zakat yang akhir diiringi dengan kata “fī” yang menunjukkan makna żaraf (menerangkan tempat atau waktu). Berdasarkan petunjuk dari kata “fī” yang menunjukkan makna żaraf ini, Abu Hasan Al-Khāzin berpendapat bahwa penyaluran zakat kepada fī sabīlillāh bukan semata-mata diberikan untuk kepada prajurit perang secara pribadi, melainkan untuk konteks yang dialaminya, yaitu untuk membiayai keperluan perang mereka. Kemudian konteks inilah yang diperluas dan disesuaikan dengan situasi serta kondisi masa kini pada segala bentuk pengorbanan dan usaha menegakkan jalan Allah.

Terdapat beberapa penjelasan mufassir lain yang kiranya senada dengan pemaham Abu Hasan Al-Khāzin ini, diantaranya ungkapan Imam Fakhruddīn al-Rāzī sebagai berikut:

أن في الأصناف الأربعة الأول، يصرف المال إليهم حتى يتصرفوا فيه كما شاؤوا، وفي الأربعة الأخيرة لا يصرف المال إليهم، بل يصرف إلى جهات الحاجات المعتبرة في الصفات التي لأجلها استحقوا سهم الزكاة[15].

Artinya: “Sesungguhnya pada empat kelompok mustaḥiq zakat yang pertama disalurkan harta zakat langsung kepada mereka, sehingga mereka dapat mempergunakannya sesuka hati mereka, sedangkan pada empat kelompok mustaḥiq zakat yang akhir tidak disalurkan harta zakat langsung kepada mereka, tapi disalurkan kepada sisi keperluan mereka yang ditinjau dalam kriteria, yang karena kriteria tersebut mereka berhak menerima zakat”.

Penejlasan ini kiranya yang melatarbelakangi pandangan sebagaian ulama dalam memahami konteks makna fī sabīlillāh sebagai mustaḥiq zakat dan memperluasnya. Bahkan Abu Hasan Al-Khāzin secara tegas menyatakan bahwa maksud “fī sabīlillāh” dalam Al-Qur’an terdapat kata yang telah dibuang, yaitu “fi al-nafaqah sabilillah”. Berikut penjelasan beliau:

الصنف السابع قوله تعالى: وفي سبيل الله يعني وفي النفقة في سبيل الله وأراد به الغزاة فلهم سهم من مال الصدقات فيعطون إذا أرادوا الخروج إلى الغزو ما يستعينون به على أمر الجهاد من النفقة والكسوة والسلاح والحمولة فيعطون ذلك وإن كانوا أغنياء لما تقدم من حديث عطاء وأبي سعيد الخدري [16]

Artinya: “Golongan yang ketujuh yaitu firman Allah SWT: fī sabīlillāh, maksudnya “pada nafaqah untuk jalan Allah”, yang dimaksud dengan makna tersebut adalah tentara perang, maka diberikan untuk mereka bahagian dari harta zakat, kemudian diserahkan di ketika mereka hendak keluar untuk berperang, diberikan ukuran harta yang dapat membantu mereka dalam urusan peperangan,, baik itu nafakah, pakaian, senjata atau kendaraan, maka mereka diberikan hal-hal tersebut sekalipun mereka adalah orang kaya, karena dalil yang terdahulu berupa hadis riwayat Atha’ dan Abi Sa’id al-Khudri”.

Abu Hasan Al-Khāzin berpandangan bahwa makna fī sabīlillāh dalam konteks mustahiq zakat adalah tentara perang yang membela agama Allah, bahkan di tempat lain beliau menegaskan bahwa harta zakat tidak boleh diberikan kepada orang-orang yang berhaji, sebagaimana yang dikatakan oleh ulama lain. Berikut penjelasan beliau:

ولا يعطى من سهم الله لمن أراد الحج عند أكثر أهل العلم وقال قوم يجوز أن يصرف سهم سبيل الله إلى الحج يروى ذلك عن ابن عباس وهو قول الحسن وإليه ذهب أحمد بن حنبل وإسحاق بن راهويه [17]

Artinya: “Bahagian hak fī sabīlillāh tidak boleh diberikan kepada orang yang hendak pergi berhaji, sebagaimana menurut kebanyakan ahli ilmu. Bahkan menurut satu kaum berpendapat boleh menyalurkan bagian fī sabīlillāh untuk orang berhaji, sebagaimana hal ini diriwayatkan dari Ibnu Abbas, dan pendapat ini merupakan pandangan Al-Hasan dan dianut oleh Imam Ahmad bin Hambal dan Ishak Bin Rahawih”.

Abu Hasan Al-Khāzin juga sempat mengutip pandangan sebagian ulama lain yang mengumumkan makna fī sabīlillāh dalam konteks mustahik zakat, sehingga dari keumuman makna fī sabīlillāh tersebut mencakup kepada semua hal-hal kebaikan. Sebagaimana penjelasan berikut:

وقال بعضهم: إن اللفظ عام فلا يجوز قصره على الغزاة فقط[18]

Artinya: “Sebagian ulama berpendapat sesungguhnya lafadz fī sabīlillāh tersebut umum, maka tidak boleh dikhususkan hanya pada tentara perang saja”.

Bahkan di tempat lain, Abu Hasan Al-Khāzin juga mengutip pandangan beberapa ulama lain yang memperluas makna fī sabīlillāh tersebut. Berikut penjelasannya:

أجاز بعض الفقهاء صرف سهم سبيل الله إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الجسور والحصون وعمارة المساجد وغير ذلك قال لأن قوله وفي سبيل الله عام في الكل فلا يختص بصنف دون غيره [19]

Artinya: “Sebagian ulama fuqaha membolehkan penyaluran hak fī sabīlillāh kepada seluruh bentuk kebaikan, baik itu mengkafani orang mati, membangun pagar, membangun benteng, membangun masjid dan selain demikian, mereka berpendapat karena firman Allah “fī sabīlillāh” adalah umum pada tiap-tiap kebaikan, maka tidak boleh dikhususkan dengan satu macam golongan saja tidak termasuk yang lain”.

Namun sekalipun Abu Hasan Al-Khāzin telah mengutip dan menjelaskan beberapa pandangan ulama lain yang memperluas makna fī sabīlillāh dalam konteks mustahik zakat, akan tetapi pandangan beliau pribadi tetap merujuk pada pendapat kuat, yaitu pendapat yang hanya mengkhususkan makna fī sabīlillāh sebagai mustahik zakat untuk tentara perang yang tidak tercantum namanya dalam daftar prajurit perang, maka dalam hal ini Abu Hasan Al-Khāzin tidak sependapat dengan ulama lain dalam perluasan makna tersebut, sehingga zakat tidak sah bila diberikan kepada orang-orang selain tentara perang dengan nama fī sabīlillāh. Berikut ungkapan beliau:

والقول الأول هو الصحيح لإجماع الجمهور عليه[20]

Artinya: “Pendapat pertama (pendapat yang mengkhususkan makna fī sabīlillāh hanya untuk tentara perang) merupakan pendapat shahih (kuat), karena telah disepakati oleh mayoritas ulama atas pendapat tersebut”.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa menurut Al-Khāzin, banyak pandangan ulama yang telah melakukan perluasan terhadap makna fī sabīlillāh, yaitu seluruh bentuk kebaikan, baik itu mengkafani orang mati, membangun pagar, membangun benteng, membangun masjid dan selain demikian. Namun dalam konteks mustahiq zakat, Al-Khāzin cenderung berpegang pada pendapat shahih (kuat) yang mengkhususkan makna fī sabīlillāh hanya untuk tentara perang yang tidak tercantum namanya dalam daftar prajurit perang dan tidak mendapat hak gaji dari pemerintah.

D.  Sisi Persamaan penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Al-Khāzin terhadap makna fī sabīlillāh sebagai mustahik zakat

Sisi persamaan penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Al-Khāzin terhadap makna fī sabīlillāh sebagai mustahik zakat tampak dari dua aspek tinjauan, yaitu sama pada dalil ayat yang digunakan, yaitu berlandaskan pada surat At-Taubah ayat 60, Allah Swt berfirman:

Artinya: “Sesungguhnya zakat-zakat itu, hanyalah untuk orang-orang fakir, orang-orang miskin, pengurus-pengurus zakat, Para mu'allaf yang dibujuk hatinya, untuk (memerdekakan) budak, orang-orang yang berhutang, untuk jalan Allah dan untuk mereka yuang sedang dalam perjalanan, sebagai suatu ketetapan yang diwajibkan Allah, dan Allah Maha mengetahui lagi Maha Bijaksana”. (QS. At-Taubah [9]: 60).[21]

Persamaan kedua yaitu terlihat pada rujukan keduanya yang tidak lepas dari istintath qauli, dimana Ibnu Kaṡīr dan Al-Khāzin sama-sama menguraikan pendapat ulama salaf al-shalih dalam memahami makna fī sabīlillāh sebagai mustahik zakat. Sebagaimana keterangan Imam Ibnu Katsir yang mengutip dari riwayat Sufyan dari Zaid ibnu Aslam dari ‘Ata’:

وقد رواه السفيان عن زيد بن أسلم عن عطاء مرسلا، ولأبي داود عن عطية العوفي عن أبي سعيد الخدري قال: قال رسول الله صلى الله عليه وسلم: «لا تحل الصدقة لغني إلا في سبيل الله وابن السبيل أو جار فقير فيهدي لك أو يدعوك» [22]

Artinya: “Sufyan telah meriwayatkan sebuah hadis dari Zaid ibnu Aslam dari ‘Ata’ secara mursal. Menurut riwayat Imam Abu Daud dari ‘Atiyyah Al-Aufi dari Abu Sa'id Al-Khudri disebutkan bahwa Rasulullah Saw telah bersabda: Zakat tidak halal bagi orang kaya kecuali bagi yang sedang berjuang di jalan Allah dan yang sedang menjadi ibnu sabil, atau tetangga yang fakir, lalu ia menghadiahkannya kepadamu atau mengundangmu (kepada jamuannya)”.

Begitu juga keterangan Abu Hasan Al-Khāzin yang mengutip pandangan beberapa ulama fuqaha dalam memperluas makna fī sabīlillāh. Berikut penjelasannya:

أجاز بعض الفقهاء صرف سهم سبيل الله إلى جميع وجوه الخير من تكفين الموتى وبناء الجسور والحصون وعمارة المساجد وغير ذلك قال لأن قوله وفي سبيل الله عام في الكل فلا يختص بصنف دون غيره [23]

Artinya: “Sebagian ulama fuqaha membolehkan penyaluran hak fī sabīlillāh kepada seluruh bentuk kebaikan, baik itu mengkafani orang mati, membangun pagar, membangun benteng, membangun masjid dan selain demikian, mereka berpendapat karena firman Allah “fī sabīlillāh” adalah umum pada tiap-tiap kebaikan, maka tidak boleh dikhususkan dengan satu macam golongan saja tidak termasuk yang lain”.

[1]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h. 197.
[2]Abi al-Fida Ismail ibn Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm, Jld.IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, t.t), hlm. 145.
[3]‘Alauddin Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), hlm. 4.
[4]‘Alauddin Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), hlm. 4.
[5]Abi al-Fida Ismail ibn Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm, Jld.IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, t.t), hlm. 148.

[6]Abi al-Fida Ismail ibn Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm, Jld.IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, t.t), hlm. 148.
[7]Abi al-Fida Ismail ibn Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm…, hlm. 144.
[8]Abi al-Fida Ismail ibn Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm, Jld.IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, t.t), hlm. 144.
[9]Abi al-Fida Ismail ibn Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm…, hlm. 148.
[10]Abi al-Fida Ismail ibn Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm, Jld.IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, t.t), hlm. 149.

[11]Abi al-Fida Ismail ibn Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm, Jld.IV, (Beirut: Dar al-Kutub al-‘ilmiyah, t.t), hlm. 149.
[12]‘Alauddin Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl, Jld.II, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), hlm.  374.
[13]‘Alauddin Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl, Jld.II, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), hlm.  374.
[14]‘Alauddin Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl…, hlm.  374.
[15]Muhammad Ibn Umar Fakhruddīn al-Rāzī,  Al-Tafsīr Al-Kabīr; Mafātīḥ al-Gaib, Jld. XVI, (Beirut: Dār al-Kutub al-Ilmiyyah, 1985), hlm. 87.

[16]‘Alauddin Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl, Jld.II, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), hlm.  373.
[17]‘Alauddin Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl…, hlm.  374.
[18]‘Alauddin Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl, Jld.II, (Mesir: Maktabah Wahbah, 1985), hlm.  374.
[19]‘Alauddin Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl…, hlm.  374.
[20]‘Alauddin Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl…, hlm.  374.

[21]Departemen Agama RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya..., h. 197.
[22]Abi al-Fida Ismail ibn Umar ibn Kaṡīr, Tafsīr al-Qur’ān al-‘Ażīm…, hlm. 149.
[23]‘Alauddin Abu Hasan Al-Khāzin, Lubāb al-Ta’wīl fī Ma‘ānī al-Tanzīl…, hlm.  374.

Sekian!!

0 Response to "Penafsiran Ibnu Kaṡīr dan Al-Khāzin mengenai makna fī sabīlillāh sebagai mustahiq zakat dalam surat At-Taubah ayat 60 (Kitabkuning90)"

Posting Komentar