-->

Hukum Adopsi Anak (Tabanni) Menurut Penafsiran Wahbah al-Zuhailī dan Imam Fakhruddīn al-Rāzī pada Surat al-Ahzab Ayat 4-5 (Kitabkuning90)

Tafsir Al-Qur'an surat Al-Ahzab 4-5

A. Hukum Adopsi Anak Menurut Penafsiran Wahbah al-Zuhailī dalam Q.S Al-Ahzab: 4-5

Terkait tentang perihal anak angkat, Allah berfirman dalam surat Al-Ahzab ayat 4-5 sebagai berikut:

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab {33}: 4-5) .[1]

Asbāb al-nuzūl ayat tersebut adalah untuk memperbaiki kesalahan dalam mengangkat anak yang disesuaikan adat istiadat dan tradisi yang berlaku dalam kehidupan Jahiliyah. Imam At-Tirmidzi meriwayatkan dari Ibnu Abbas, dia berkata:

قام النبي صلى الله عليه وسلم يوما يصلي، فخطر خطرة، فقال المنافقون الذي يصلون معه: ألا ترى أن له قلبين، قلبا معكم وقلبا معه، فأنزل الله: ما جعل الله لرجل من قلبين في جوفه[2]

Artinya: “Rasulullah saw sedang berdiri shalat Pada suatu hari. Lalu di tengah shalat, terbersit dalam hati beliau suatu hal (hingga mengganggu kekhusyuan dan konsentrasi shalat beliau). Lalu orang-orang munafik yang ikut shalat bersama beliau berkata "Tidakkah kamu lihat bahwa dia memiliki dua hati, satu hati bersama kalian dan satu hati bersama mereka." Lalu Allah SWT pun menurunkan ayat “Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya”.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari Sa'id bin Iubair; Mujahid dan Ikrimah, mereka mengatakan:

كان رجل يدعى ذا القلبين. قيل: إنه أبو معمر، وقيل: إنه جميل بن أسد الفهري. وكانت الزوجة المظاهر منها كالأم، ودعي الرجل: ابنه[3]

Artinya: “Dulu ada seorang laki-laki yang mengklaim dirinya memiliki dua hati. Ada yang mengatakan, nama laki-laki itu adalah Abu Ma'mar. Ada pula yang mengatakan, namanya adalah Jamil bin Asad al-Fihri. Dulu, seorang istri yang dizhihar statusnya menjadi seperti ibu, dan seorang anak angkat statusnya seperti anak kandung sendiri”.

Ibnu Jarir meriwayatkan dari Hasan al-Bashri keterangan serupa seperti yang diriwayatkan oleh Ibnu Abi Hatim di atas. Hanya saja ada tambahan, "Laki-laki itu berkata 'Aku memiliki dua jiwa, satu jiwa menyuruhku dan satu jiwa yang lain melarangku”. Ibnu Jarir meriwayatkan dari Mujahid, dia berkata:

نزلت في رجل من بني فهر قال: إن في جوفي لقلبين أعقل بكل واحد منهما أفضل من عقل محمد صلى الله عليه وسلم[4]

Artinya: “Ayat ini turun menyangkut diri seorang laki-laki dari Bani Fihr. Laki-laki itu berkata: "Sesungguhnya di dalam tubuhku benar-benar terdapat dua hati yang aku bisa memahami dan mengerti dengan masing- masing dari kedua hati itu secara lebih baik dari pada akal Muhammad SAW”.

Ibnu Abi Hatim meriwayatkan dari as-Suddi, bahwa ayat ini turun menyangkut diri seorang laki-laki dari Quraisy dari Bani Jumah bernama Jamil bin Ma'mar al-Fihri. Dia adalah sosok laki-laki yang cerdas dan memiliki daya ingat yang sangat kuat hingga bisa mengingat dan menghafal apayang dia dengar. Lalu orang-orang Quraisy berkata:

ما حفظ هذه الأشياء إلا وله قلبان[5]

Artinya: "Orang itu tidak mungkin mampu menghafal semua hal tersebut melainkan pasti dia memiliki dua hati”.

Jamil bin Ma'mar pernah berkata: "Sesungguhnya aku memiliki dua hati yang aku bisa menangkap dan memahami dengan masing-masing dari kedua hati tersebut secara lebih baik dari pada akal Muhammad”. Kemudian pada kejadian Perang Badar; orang-orang musyrik mengalami kekalahan, dan waktu itu Jamil bin Ma'mar termasuk yang ada di antara mereka. Lalu Abu Yusuf berpapasan dengan Jamil bin Ma'mar yang sedang memegang salah satu sendalnya, sedangkan sendalnya yang lain masih dia kenakan di kakinya. Lalu Abu Yusuf berkaa kepada-Nya:

يا أبا معمر، ما حال الناس؟ قال: انهزموا، قال: فما بالك إحدى نعليك في يدك، والأخرى في رجلك؟ قال: ما شعرت إلا أنهما في رجلي، وعرفوا يومئذ أنه لو كان له قلبان لما نسي نعله في يده[6]

Artinya: “Wahai Abu Ma'mar, bagaimana keadaan orang-orang?" Dia menjawab, "Mereka kalah." Lalu Abu Yusuf kembali berkata kepada-Nya, "Lantas apa yang sedang terjadi padamu, kenapa kamu memegang salah satu sendalmu dan sendalmu yang lain masih kamu kenakan di kakimu?". Dia berkata "Sungguh, aku tidak menyadari hal itu karena aku berpikir sepasang sendalku masih aku kenakan di kedua kakiku”. Sejak saat itu, orang-orang pun tahu dan menyadari bahwa seandainya memang dia memiliki dua hati, pastilah dia akan menyadari kalau salah satu sendalnya dia pegang di tangannya”.

Ayat ini turun menyangkut diri Zaid bin Haritsah. Pada awalnya, dia adalah budak milik Rasulullah saw, lalu Rasulullah saw memerdekakannya dan mengangkatnya sebagai anak sebelum turunnya wahyu. Ketika Rasulullah saw menikahi Zainab binti Jahsy yang tidak lain adalah janda dari Zaid bin Haritsah, orang-orang Yahudi dan orang-orang munafik berkomentar sinis:

تزوج محمد صلى الله عليه وسلم امرأة ابنه، وهو ينهى الناس عنها، فأنزل الله تعالى هذه الآية[7]

Artinya: “Muhammad menikahi istri anaknya sendiri, sementara dia melarang orang lain melakukan hal itu". Lalu Allah SWT menurunkan ayat ini.

Imam al-Bukhari, Muslim, al-Tirmidzi dan an-Nasa'i meriwayatkan dari Ibnu Umar, dia berkata:

ما كنا ندعو زيد بن حارثة إلا زيد بن محمد، حتى نزلت في القرآن: ادعوهم لآبائهم، هو أقسط عند الله فقال النبي صلى الله عليه وسلم: أنت زيد بن حارثة بن شراحيل[8]

Artinya: “Sebelumnya, kami tidak memanggil Zaid bin Haritsah melainkan dengan sebutan Zaid bin Muhammad, hingga turunlah dalam Al-Qur’an: (Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah}. Lalu Rasulullah saw bersabda: "Kamu adalah Zaid bin Haritsah bin Syarahil".

Allah SWT menurunkan ayat ini sebagai petunjuk untuk memanggil anak angkat disertai nama bapak kandungnya, serta tidak menghapus status ayah kandungnya.[9]

Kala itu, banyak masyarakat Arab yang mengadopsi atau mengangkat seseorang sebagai anak angkat, semisal al-Khatthab yang mengadopsi Amir bin Abi Rabi'ah, Abu Hudzaifah yang mengadopsi Salim, dan yang lainnya. Ulama tafsir ber-ijma’ bahwa ayat ini turun menyangkut diri Zaid bin Haritsah. Dengan ayat ini, Allah SWT menghapus penisbahan nasab yang palsu dan semu. Tersebut juga dengan QS. al-Ahzab [33]: 40:

“Muhammad itu sekali-kali bukanlah bapak dari seorang laki-laki di antara kamu, tetapi Dia adalah Rasulullah dan penutup nabi-nabi. dan adalah Allah Maha mengetahui segala sesuatu”. (QS. al-Ahzab [33]: 40).

Itulah yang dimaksudkan dan dikehendaki dengan penafian di sini, Sebelumnya, Allah SWT membuat pendahuluan dengan menafikan sesuatu yang bersifat konkrit, yaitu adanya dua hati dalam tubuh manusia, bahwa tidak ada seorang pun yang memiliki dua hati. Kemudian dilanjutkan dengan penafian dua hal yang bersifat abstrak, yaitu yang bersangkutan dengan masalah zhihar dan adopsi anak. Ketiga hal tersebut adalah batil, palsu dan semu yang tidak memiliki hakikat. Oleh karena itu, Allah SWT memperkuat penafian tersebut dengan berfirman “yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja”. [10]

Semua yang telah disebutkan sebelumnya itu berjumlah tiga, yaitu pemikiran adanya dua hati dalam satu dada, zhihar yang menjadikan istri seperti ibu, dan adopsi yang menjadikan orang lain sebagai anak, semuanya itu hanyalah semata-mata perkataan di mulut belaka dan ucapan kosong yang sama sekali tidak memiliki korelasi dengan hakikat, fakta dan kenyataan yang sebenarnya. Dalam tafsirnya Wahbah al-Zuhailī menegaskan:

فلا تصبح الزوجة بالظهار أما، ولا المتبني ابنا[11]

Artinya: “Dengan zhihar, seorang istri tidak lantas berarti benar-benar bisa beralih status menjadi ibu, dan dengan adopsi, anak orang lain tidak lantas berarti dia benar-benar menjadi anak sendiri”.

Asarkan firman Allah SWT dalam surat Al-Ahzab ayat 4-5, Wahbah al-Zuhailī dalam kitab Tafsir Al-Munir menjelaskan bahwa Allah SWT tidak menjadikan anak-anak yang dipanggil dengan anak angkat sebagai anak kandung. Berikut keterangan beliau:

وما جعل أدعياءكم أبناءكم أي وما جعل الله المدعى بنوتهم بالتبني أبناء في الحقيقة، فهم أبناء آبائهم الحقيقيين، والتبني حرام،[12]

Artinya: “dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkat kalian sebagai anak kandung kalian sendiri) yakni Allah SWT tidak menjadikan anak-anak yang mereka panggil dengan anak angkat sebagai anak kandung secara hakikat, maka mereka adalah anak-anak bapak mereka masing-masing, dan pengangkatan anak hukumnya haram”.

Berdasarkan penafsiran Wahabah al-Zuhailī tersebut menegaskan bahwa pengangkatan anak yang memposisikan anak angkat sebagai anak kandung hukumnya haram. Lebih lanjut lagi Imam al-Jalalain menjelaskan sebagai berikut:

لكن {ادعوهم لآبائهم هو أقسط} أعدل {عند الله فإن لم تعلموا آباءهم فإخوانكم في الدين ومواليكم} بنو عمكم[13]

Artinya: “Tetapi (panggillah mereka dengan memakai nama bapak-bapak mereka, itulah yang lebih pertengahan) lebih adil (pada sisi Allah, dan jika kalian tidak mengetahui bapak-bapak mereka, maka saudara-saudara kalian seagama dan maula-maula kalian) yaitu anak-anak paman kalian”.

Dari rumusan ayat tersebut, dapat diketahui bahwa Islam melarang menyamakan anak angkat dengan anak kandung. Oleh karena itu untuk memperkuat bahwa anak kandung tidak sama dengan anak angkat, dalam surat al-Ahzab ayat 37 Nabi dibolehkan menikahi bekas istri anak angkatnya (Zainab binti Jahsy). 

Dalam sebuah hadits juga terdapat ketegasan yang melarang tentang hal ini, diantaranya:

عن ابي ذر انه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول ليس من رادعي لغير أبيه وهو يعلمه الا كفر ومن ادعى قوما ليس له فيهم فليتبوأ مقعده من النار ( رواه البخاری) [17]

Artinya: “Dari Abu Dzar ra, ia mendengar Nabi Muhammad SAW bersabda:  “Seorang yang mengatakan mengaku keturunan selain ayahnya, padahal ia tahu (dia bukan ayah kandungnya) maka orang itu kafir. Maka barang siapa yang mengatakan bahwa ia keturunan suatu kaum bukan menurut hubungan keturunan mereka, maka hendaklah mereka menempati tempatnya di neraka”. (Riwayat Bukhari).

 عن واثلة بن الاسقع يقول قال رسول الله صلى الله عليه وسلم ان من اعظم الفرى ان يدعي الرجل الى غير ابيه او يرى عينه ما لم تر او يقول على رسول الله صلى الله عليه وسلم ما لم يقل ( رواه البخاري ) [18]

Artinya: ”Dari Wāsilah ibn Asqa’i bersabda Rasulullah SAW:  Sesungguhnya ada beberapa hal yang termasuk dosa besar yaitu memanggil bapak selain kepada ayahnya sendiri, melihat dengan matanya padahal tidak melihat, menyatakan pernyataannya dari Nabi padahal bukan perkataan Nabi”. (HR. al-Bukhari).

التبني حرام في الإسلام لأنه يصادم الحقيقة، والأولى والأعدل أن ينسب الرجل إلى أبيه نسبا، ويحرم على الإنسان أن يتعمد دعوة الولد لغير أبيه، على النحو الذي كان في الجاهلية. [19]

Artinya: “At-Tabanni atau adopsi anak adalah haram dalam Islam karena bertentangan dengan hakikat dan kenyataan yang sebenarnya. Hal yang paling utama, paling adil dan paling benar adalah seseorang dinisbahkan nasabnya kepada bapaknya yang asli, yaitu bapak kandungnya. Haram bagi seseorang sengaja menisbahkan nasab seorang anak kepada selain bapaknya, dalam bentuk seperti yang berlaku pada masa Jahiliyyah”.

Lebih lanjut Wahbah al-Zuhaili menjelaskan:

فإن لم يكن كذلك، كما يقول الكبير للصغير تلطفا أو تحننا وشفقة: يا ابني أو يا بني، فالظاهر عدم الحرمة، لكن أفتى بعض العلماء بكراهته سدا لباب التشبه بالكفار[20]

Artinya: “Adapun jika tidak seperti yang berlaku pada masa jahiliyyah, seperti misalnya ada seseorang yang memanggil anak kecil, "wahai anakku" sebagai bentuk panggilan kasih sayang dan kelemah lembutan, maka yang dhahir adalah hal semacam itu tidak haram. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang memfatwakan kemakruhannya, demi untuk menutup celah menyerupai orang-orang kafir”.

هناك فرق بين التبني المنهي عنه والاستلحاق الذي أباحه الإسلام، فالتبني: هو ادعاء الولد مع القطع بأنه ليس ابنه، وأما الاستلحاق الشرعي: فهو أن يعلم المستلحق أن المستلحق ابنه أو يظن ذلك ظنا قويا، بسبب وجود زواج سابق غير معلن. فإن كان من زنى فلا يجوز الاستلحاق[21]

Artinya: “Terdapat perbedaan antara at-Tabanni (adopsi anak) yang dilarang dengan al-istilhaaq yang diperbolehkan oleh Islam. At-Tabanni atau adopsi anak adalah mengklaim seseorang sebagai anaknya, padahal sudah jelas dan pasti bahwa dia itu bukanlah anaknya. Adapun al-lstilhaaq adalah seseorang yang mengklaim seorang anak sebagai anaknya, dan dia tahu dan yakin betul, atau memiliki dugaan sangat kuat, bahwa anak itu memang anaknya karena pernah terjadi pernikahan terdahulu yang tidak disiarkan. Adapun jika anak itu adalah hasil dari perzinaan, maka al-Istilhaaq tidak boleh.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa hukum adopsi anak menurut pandangan Wahbah al-Zuhaili lebih cenderung mengharamkan karena akan menimbulkan perbuatan terlarang di dalamnya, yaitu kelaziman sapaan anak atau bapak kepada ayah angkat yang padahal bukan ayah kandungnya, hal ini dapat mengaburkan nasab seorang anak akibat banyak orang yang nantinya akan memanggil dirinya dengan nama ayah angkatnya. Namun bila panggilan “anak” atau “bapak” antara anak angkat dan ayah angkatnya tersebut hanya sebatas panggilan kasih sayang, tanpa menganggap nasab, maka menurut Wahbah al-Zuhaili hukumnya makruh.

B. Hukum Adopsi Anak Menurut Penafsiran Fakhruddīn al-Rāzī dalam  Q.S al-Ahzab ayat 4-5

Secara konsep dasar dari hukum adopsi anak berdasarkan surat al-Ahzab ayat 4-5, maka  hukum adopsi anak lebih cenderung dilarang karena akan terjadi penyerupaan dengan kebiasaan orang-orang Jahiliyah yang menyapa anak angkat seperti anak kandungnya sendiri atau menyapa bapak angkat seperti bapak kandungnya sendiri. Hal ini secara tegas dilarang dalam  surat al-Ahzab ayat 4-5:

“Allah sekali-kali tidak menjadikan bagi seseorang dua buah hati dalam rongganya; dan Dia tidak menjadikan istri-istrimu yang kamu zhihar itu sebagai ibumu, dan Dia tidak menjadikan anak-anak angkatmu sebagai anak kandungmu (sendiri), yang demikian itu hanyalah perkataanmu dimulutmu saja dan Allah mengatakan yang sebenarnya dan Dia menunjukkan jalan (yang benar). Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah, dan jika kamu tidak mengetahui bapak-bapak mereka, Maka (panggilah mereka sebagai) saudara-saudaramu seagama dan maula-maulamu dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya, tetapi (yang ada dosanya) apa yang disengaja oleh hatimu. dan adalah Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang”. (QS. Al-Ahzab {33}: 4-5) .[22]

Dalam menafsirkan ayat ini, Imam Fakhruddīn al-Rāzī menjelaskan sebagai berikut:

وقوله عز وجل ادعوهم لآبائهم هو أقسط عند الله هذا أمر ناسخ لما كان في ابتداء الإسلام من جواز ادعاء الأبناء الأجانب وهم لأدعياء، فأمر تبارك وتعالى برد نسبهم إلى آبائهم في الحقيقة[23]

Artinya: “Firman Allah SWT: “Panggilah mereka (anak-anak angkat itu) dengan (memakai) nama bapak-bapak mereka; Itulah yang lebih adil pada sisi Allah”, merupakan perintah yang membatalkan bagi kebiasaan pada permulaan Islam berupa kebolehan memanggil anak tetangga, padahal mereka adalah anak angkat, maka Allah SWT memerintahkan untuk mengembalikan nasab mereka kepada bapak mereka pada hakikat”.

Keterangan ini menunjukkan bahwa surat al-Ahzab ayat 4 dan 5 merupakan pembatalan atas kebiasaan masyarakat Jahiliyah pra Islam yang membolehkan memanggil anak angkat dengan sebutan seperti anak kandung. Hal ini juga ditegaskan dalam beberapa hadis, diantaranya:

أخرج الشيخان وأبو داود عن سعد بن أبي وقاص وأبي بكرة أن النبي صلى الله عليه وسلم قال: «من ادعى إلى غير أبيه، وهو يعلم أنه غير أبيه، فالجنة عليه حرام»[24]

Artinya: “Syaikhani (Imam Bukhari dan Muslim) dan Abu Daud meriwayatkan sebuah hadis dari Saad bin Abi Waqqash dan Abi Bakrah bahwa Nabi SAW bersabda: Barang siapa yang memanggil ayah kepada selain ayahnya, padahal Ia mengetahui bahwa orang tersebut bukanlah ayahnya, maka surga diharamkan untuknya”.

Dalam hadis lain juga disebutkan bahwa Imam Bukhari dan Muslim meriwayatkan:

«من ادعى إلى غير أبيه أو انتمى إلى غير مواليه، فعليه لعنة الله والملائكة والناس أجمعين، لا يقبل الله منه صرفا ولا عدلا»[25]

Artinya: “Barang siapa yang memanggil ayah kepada selain ayahnya dan memanggil anakku kepada selain anak-anaknya, maka di atas orang tersebut laknat Allah dan laknat malaikat, serta semua manusia. Juga Allah tidak menerima darinya tebusan dan ganti”.

Redaksi ketetapan laknat Allah, malaikat dan semua manusia dalam hadis tersebut menunjukkan bahwa perbuatan itu dilarang dalam Islam. Dalam hadis lain juga dijelaskan:

وأخرجا أيضا عن أبي ذر أنه سمع النبي صلى الله عليه وسلم يقول: «ليس من رجل ادعى لغير أبيه، وهو يعلمه، إلا كفر» . [26]

Artinya: “Imam Bukhari dan Muslim juga meriwayatkan dari Abi Dzar bahwa ia mendengar Nabi SAW bersabda: Tidaklah dari seorang laki-laki yang memanggil “ayahku” kepada selain ayahnya padahal ia mengetahui hal demikian, melainkan kufurlah ia”.

Ancaman kufur dalam hadis ini terhadap orang yang memanggil “ayahku” kepada orang lain yang padahal ia bukan ayah kandungnya sendiri. Hal ini dijelaskan lebih rinci oleh Imam Fakhrudin al-Razi sebagai berikut:

والكفر: إذا اعتقد إباحة ذلك، فإن لم يعتقد إباحته، فمعنى كفره: أنه أشبه فعله فعل الكفار أهل الجاهلية، أو أنه كافر نعمة الله والإسلام عليه[27]

Artinya: “Ketentuan kufur di sini apabila ia meyakini kebolehan hal demikian, namun jika ia tidak meyakini kebolehan tersebut, maka makna kufur ia artinya adalah perbuatannya menyerupai dengan perbuatan orang-orang kafir ahli Jahiliyah atau orang tersebut kufur terhadap nikmat Allah dan nikmat Islam di atasnya”.

Berdasarkan beberapa hadis di atas tampak ketegasan Islam melarang panggilan “ayahku” terhadap orang-orang yang diketahui bahwa ia bukan ayah kandungnya sendiri, termasuk juga ayah angkat seperti kebiasaan pada masa Jahiliyah. Kemudian Al-Qur’an membatalkan kebiasaan Jahiliyah tersebut dan Allah memerintahkan untuk mengembalikan status nasab anak angkat yang harus dipanggil sesuai dengan nama ayah kandungnya, lebih lanjut Imam al-Razi menjelaskan:

قال تعالى: وليس عليكم جناح فيما أخطأتم به يعني قول القائل لغيره يا بني بطريق الشفقة، وقول القائل لغيره يا أبي بطريق التعظيم، فإنه مثل الخطأ ألا ترى أن اللغو في اليمين مثل الخطأ وسبق اللسان فكذلك سبق اللسان في قول القائل ابني والسهو في قوله ابني من غير قصد إلى إثبات النسب سواء[28]

Artinya: “Firman Allah SWT: “dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya”, maksudnya adalah perkataan orang yang memanggil orang lain dengan sebutan “wahai anakku” dengan berdasarkan kasih sayang, serta perkataan seseorang yang berkata kepada orang lain “wahai ayahku” berdasarkan rasa memuliakan, maka hal demikian seperti kesalahan. Tidakkah engkau melihat bahwa kelalaian dalam sumpah seperti kesalahan dan terlanjur lisan, maka begitu juga dianggap sebagai terlanjur lisan pada perkataan orang yang memanggil “wahai anakku” dan dianggap sebagai kelupaan pada perkataan seseorang tersebut memanggil “wahai anakku” dengan tanpa adanya maksud untuk menetapkan nasab hal demikian itu sama”.

Dengan berdasarkan potongan surat al-Ahzab ayat 5, di mana Allah menegaskan bahwa “tidak ada dosa atas seorang ayah angkat yang telah khilaf memanggil anaknya dengan sebutan “anakku”, Imam Fakhruddin al-Razi berpendapat bahwa panggilan seorang anak yang memanggil ayah angkatnya dengan panggilan “ayahku”, atau panggilan seorang ayah yang memanggil anak angkatnya dengan panggilan “anakku” dianggap sebuah kesalahan yang diampuni, karena hal tersebut dianggap tidak sengaja dan hanya sekedar terlanjur lisan bila dalam panggilan tersebut tidak ada unsur menetapkan nasab, namun hanya sebatas panggilan kasih sayang ataupun panggilan ta’zim/memuliakan ayah angkat. Lebih jelas lagi terkait dengan hukum adopsi anak Imam Fakruddin al-Razi menjelaskan dengan berdasarkan pada hadis shahih, berikut keterangannya:

فأما دعوة الغير ابنا على سبيل التكريم والتحبيب، فليس مما نهي عنه في هذه الآية بدليل ما رواه الإمام أحمد وأهل السنن إلا الترمذي، من حديث سفيان الثوري عن سلمة بن كهيل عن الحسن العرني عن ابن عباس رضي الله عنهما قال: قدمنا على رسول الله صلى الله عليه وسلم أغيلمة بني عبد المطلب على حمرات لنا من جمع، فجعل يلطخ أفخاذنا ويقول «أبيني لا ترموا الجمرة حتى تطلع الشمس»  قال أبو عبيدة وغيره: أبيني تصغير بني وهذا ظاهر الدلالة، فإن هذا كان في حجة الوداع سنة عشر[29]

Artinya: “Adapun memanggil orang lain dengan sebutan anak atas dasar memuliakan dan mencintai, maka hal demikian tidak termasuk dari perkara yang dilarang dalam ayat ini, dengan dalil hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahli beberapa kitab Sunnah, kecuali Imam Tirmidzi, diambil dari hadis Sofyan al-Suri diambil dari Salamah bin Kahil dari Hasan al-‘Arani diambil dari Ibnu Abbas ra, ia berkata: “Kami pernah mendatangi Rasulullah SAW bersama para pemuda dari Bani Abdul Muthalib di atas keledai kami dari para jamaah, maka di ketika itu Rasulullah menepuk paha kami dan berkata “Wahai anak-anakku, janganlah kalian melempar jamrah hingga terbit matahari”. Abu Ubaidah dan yang lain berkata: abini merupakan tashghir dari kata bani (anakku) dan ini jelas pemahamannya. Sesungguhnya kejadian ini terjadi pada saat haji wada’ pada tahun ke-10”.

Keterangan ini menunjukkan bahwa dalam sebuah hadis dikisahkan Rasulullah pernah berkata kepada sebagian sahabat dengan memanggil “wahai anak-anakku”, hadits ini jelas pemahamannya menunjukkan kebolehan memanggil orang lain dengan sebutan anakku, selama tidak ada unsur untuk menetapkan nasab atau mengaburkan nasab, melainkan panggilan tersebut hanya sebatas panggilan kasih sayang.

Berdasarkan penjelasan di atas dapat dipahami bahwa menurut Imam Fakhrudin al-Razi, hukum adopsi anak lebih cenderung dibolehkan selama tidak ada unsur mengaburkan nasab dari anak angkat, atau mengganti nasab anak angkat dengan ayah angkatnya. Atas dasar itu pula Imam al-Razi berpendapat diperbolehkan seorang anak memanggil ayah angkatnya dengan sebutan “wahai bapakku”, begitu pula seorang ayah angkat memanggil anak angkatnya dengan sebutan “wahai anakku”, dengan ketentuan panggilan tersebut hanya sebatas panggilan kasih sayang, rasa cinta dan menghormatinya saja, tidak untuk menetapkan nasab antara anak dan ayah angkat tersebut.

C. Perbedaan Pandangan Wahbah al-Zuhailī dan Imam Fakhruddīn al-Rāzī Tentang Hukum Tabanni

Sisi perbedaan penafsiran Wahbah al-Zuhaili dan Imam Fakhruddīn al-Rāzī tentang hukum tabanni berdasarkan tafsir surat al-Ahzab Ayat 4-5 tampak dari dua aspek tinjauan, yaitu dari sisi kesimpulan hukum yang dihasilkan dan berbeda dari sisi istinbāṭ hukum tersebut. Berikut uraiannya:

1.    Berbeda pada kesimpulan hukum

Menurut Wahbah al-Zuhaili, hukum adopsi anak lebih cenderung diharamkan, karena akan menimbulkan perbuatan terlarang di dalamnya, yaitu kelaziman sapaan bapak angkat memanggil “anakku” kepada anak angkatnya yang padahal bukan anak kandungnya, hal ini dapat mengaburkan nasab seorang anak, sebagaimana keterangan Wahbah al-Zuhaili:

التبني حرام في الإسلام لأنه يصادم الحقيقة، والأولى والأعدل أن ينسب الرجل إلى أبيه نسبا، ويحرم على الإنسان أن يتعمد دعوة الولد لغير أبيه، على النحو الذي كان في الجاهلية. [30]

Artinya: “At-Tabanni atau adopsi anak adalah haram dalam Islam karena bertentangan dengan hakikat dan kenyataan yang sebenarnya. Hal yang paling utama, paling adil dan paling benar adalah seseorang dinisbahkan nasabnya kepada bapaknya yang asli, yaitu bapak kandungnya. Haram bagi seseorang sengaja menisbahkan nasab seorang anak kepada selain bapaknya, dalam bentuk seperti yang berlaku pada masa Jahiliyyah”.

Namun bila dalam panggilan dan sapaan ayah angkat terhadap anak angkatnya tersebut tidak ada unsur menetapkan nasab, melainkan hanya sebatas panggilan kasih sayang, maka hukumnya dimaksruhkan. Lebih lanjut Wahbah al-Zuhaili menjelaskan:

فإن لم يكن كذلك، كما يقول الكبير للصغير تلطفا أو تحننا وشفقة: يا ابني أو يا بني، فالظاهر عدم الحرمة، لكن أفتى بعض العلماء بكراهته سدا لباب التشبه بالكفار[31]

Artinya: “Adapun jika tidak seperti yang berlaku pada masa jahiliyyah, seperti misalnya ada seseorang yang memanggil anak kecil, "wahai anakku" sebagai bentuk panggilan kasih sayang dan kelemah lembutan, maka yang zhahir adalah hal semacam itu tidak haram. Akan tetapi, ada sebagian ulama yang memfatwakan kemakruhannya, demi untuk menutup celah menyerupai orang-orang kafir”.

Sedangkan menurut Imam Fakhrudin al-Razi, hukum adopsi anak lebih cenderung dibolehkan selama tidak ada unsur mengaburkan nasab anak angkat, atau mengganti nasab anak angkat dengan ayah angkatnya. Atas dasar itu pula Imam al-Razi berpendapat diperbolehkan seorang ayah angkat memanggil anak angkatnya dengan sebutan “wahai anakku”, dengan ketentuan panggilan tersebut hanya sebatas panggilan kasih sayang dan menghormati, tidak untuk menetapkan nasab antara keduanya. Sebagaimana penegasan beliau:

فأما دعوة الغير ابنا على سبيل التكريم والتحبيب، فليس مما نهي عنه في هذه الآية[32]

Artinya: “Adapun memanggil orang lain dengan sebutan anak atas dasar memuliakan dan mencintai, maka hal demikian tidak termasuk dari perkara yang dilarang dalam ayat ini”.

Keterangan ini berdasarkan hadis yang diriwayatkan oleh Imam Ahmad dan ahli beberapa kitab Sunnah, diambil dari Ibnu Abbas ra, yang menceritakan bahwa para sahabat dari Bani Abdul Muthalib di suatu hari pernah mendatangi Rasulullah SAW dengan keledai, maka ketika itu Rasulullah menepuk paha mereka dan berkata:

أبيني لا ترموا الجمرة حتى تطلع الشمس[33]

Artinya: “Wahai anak-anakku, janganlah kalian melempar jamrah hingga terbit matahari”.

Hadis ini jelas menunjukkan akan hukum kebolehan memanggil orang lain dengan sebutan anakku, selama tidak ada unsur untuk menetapkan nasab atau mengaburkan nasab, melainkan panggilan tersebut hanya sebatas panggilan kasih sayang.

2.    Berbeda pada istinbāṭ hukum

Perbedaan penafsiran Wahbah al-Zuhaili dan Imam Fakhruddīn al-Rāzī tentang tafsir surat al-Ahzab Ayat 4-5 juga tampak dari metode istinbāṭ yang digunakan. Wahbah al-Zuhaili lebih kepada menggunakan metode istinbāṭ qaulī, yaitu istinbāṭ hukum yang penetapannya dengan cara merujuk pada pendapat dari para ulama dan imam madzhab.[34] Disini Wahbah al-Zuhaili merujuk kepada pendapat sebagian ulama yang memfatwakan hukum makruh mengadosi anak. Berikut keterangannya:

لكن أفتى بعض العلماء بكراهته سدا لباب التشبه بالكفار[35]

Artinya: “Akan tetapi, ada sebagian ulama yang memfatwakan kemakruhannya, demi untuk menutup celah menyerupai orang-orang kafir”.

Sedangkan Imam al-Razi lebih cenderung menggunakan metode istinbāṭ bayānī dalam menetapkan hukum adopsi anak berdasarkan tafsir surat al-Ahzab Ayat 4-5, yaitu mengkaji teks ayat atau hadis dari perspektif kaidah bahasa (al-qawā’id al-uṣūliyyah al-lugāwiyah). Kajian teks dari perspektif kaidah bahasa ini meliputi tiga kajian, yaitu analisis kata, analisis makna, dan analisis dalālah (pemahaman yang ditunjukinya).[36] Dalam hal ini, Imam al-Razi memahami kebolehan adopsi anak berdasarkan pemahaman dalālah firman Allah SWT: “dan tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu khilaf padanya”. Berikut penjelasannya:

قال تعالى: وليس عليكم جناح فيما أخطأتم به يعني قول القائل لغيره يا بني بطريق الشفقة، وقول القائل لغيره  يا أبي بطريق التعظيم، فإنه مثل الخطأ ألا ترى أن اللغو في اليمين مثل الخطأ وسبق اللسان[37]

Artinya: “Allah berfirman: “tidak ada dosa atasmu terhadap apa yang kamu tersalah padanya”, maksudnya ucapan orang yang berkata kepada orang lain “wahai anakku” dengan dasar kasih sayang, dan ucapan orang yang berkata kepada orang lain “wahai ayahku” dengan dasar menghormati, maka hal demikian seumpama perbuatan tersalah dan terlanjur lisan”.

Keterangan ini menunjukkan bahwa panggilan seorang ayah angkat kepada anak angkatnya dengan sebutan “anakku”, begitu juga panggilan seorang anak angkat terhadap ayah angkatnya dengan panggilan “ayahku”, bila dimaksudkan sebagai panggilan kasih sayang atau menghormati, maka tidak dilarang dan itu dianggap seperti perkataan yang tidak disengaja dan tidak dianggap berdosa.

Foot Note:

[1]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan, (Bandung: CV Darus Sunnah, 2019), h. 419.
[2]Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.21, (Bairut: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 232.
[3]Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 233.
[4]Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 233.
[5]Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 233.

[6]Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 233.
[7]Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.21, (Bairut: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 233.
[8]Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h. 234.
[9]Nurcholis, Asbabun Nuzul, Cet. ke-1, ( Surabaya:  Pustaka Anda, 1977 ), h .427.
[10]Wahbah al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.21, (Bairut: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h. 233.

[11]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syariīah wa al-Manhaj, Jld.21, (Damsyiq: Dar al-Fikr al-Ma’ashir, 1418), h.235.
[12]Syaikh Wahbah Al-Zuhaili, Tafsīr al-Munīr…, h.235.
[13]Jalāluddīn al-Mahallī dan Jalāluddīn al-Suyūthī, Tafsīr al-Jalālain, Jld.I, (Kairo: Dār al-Hadīs, t.t), h. 549.
[14] Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, h. 259 .
[15]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr fī al-‘Aqīdah wa al-Syarī‘ah wa al-Manhaj, Jld. 22, (Damsyiq: Dār al-Fikr al-Ma‘āṣir, 1418), h. 25. Lihat juga Muhammad Nawawi al-Jawi,  Marâh Labîd, Jld.II, (Beirut: Dar al-Fikr, 2007), h. 196.

[16]Kementerian Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahnya…, h. 260.
[17]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, h. 25.
[18]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, Jld. 22, h. 25.
[19]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, Jld. 21, h. 241.
[20]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, Jld. 21, h. 241.

[21]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, Jld. 21, h. 241.
[22]Departemen Agama Republik Indonesia, Al-Qur’an dan Terjemahan…, h. 419.
[23]Imam Fakhruddīn al-Rāzī,  Al-Tafsīr al-Kabīr; Mafātīḥ al-Gaib, Jld. 25, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1985), h. 156.
[24]Imam Fakhruddīn al-Rāzī,  Al-Tafsīr al-Kabīr; Mafātīḥ al-Gaib…, h. 156.
[25]Imam Fakhruddīn al-Rāzī,  Al-Tafsīr al-Kabīr; Mafātīḥ al-Gaib…, h. 156.

[26]Imam Fakhruddīn al-Rāzī,  Al-Tafsīr al-Kabīr; Mafātīḥ al-Gaib…, h. 156.
[27]Imam Fakhruddīn al-Rāzī,  Al-Tafsīr al-Kabīr; Mafātīḥ al-Gaib, Jld. 25, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1985), h. 156.
[28]Imam Fakhruddīn al-Rāzī,  Al-Tafsīr al-Kabīr; Mafātīḥ al-Gaib…, h. 156.
[29]Imam Fakhruddīn al-Rāzī,  Al-Tafsīr al-Kabīr; Mafātīḥ al-Gaib, Jld. 25, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1985), h. 156.
[30]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, Jld. 21, h. 241.

[31]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, Jld. 21, h. 241.
[32]Imam Fakhruddīn al-Rāzī,  Al-Tafsīr al-Kabīr; Mafātīḥ al-Gaib, Jld. 25, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1985), h. 156.
[33]Imam Fakhruddīn al-Rāzī,  Al-Tafsīr al-Kabīr…, h. 156.
[34]Ahmad Muhtadi Anshor, Bath Al-Masail Nahdlatul Ulama: Melacak Dinamika Pemikiran Mahzab Kaum Tradisionalis, (Yogyakarta: Teras, 2012, h. 2.
[35]Wahbah Al-Zuhailī, Tafsīr al-Munīr…, Jld. 21, h. 241.

[36]Ahmad Muhtadi Anshor, Bath Al-Masail Nahdlatul Ulama: Melacak Dinamika Pemikiran Mahzab Kaum Tradisionalis, (Yogyakarta: Teras, 2012, h. 4.
[37]Imam Fakhruddīn al-Rāzī,  Al-Tafsīr al-Kabīr; Mafātīḥ al-Gaib, Jld. 25, (Beirut: Dār al-Kutūb al-Ilmiyyah, 1985), h. 157.

#Inan.id
#_p.rahmanita1008_

0 Response to "Hukum Adopsi Anak (Tabanni) Menurut Penafsiran Wahbah al-Zuhailī dan Imam Fakhruddīn al-Rāzī pada Surat al-Ahzab Ayat 4-5 (Kitabkuning90)"

Posting Komentar