JANGAN SAMPAI GAGAL FAHAM, INILAH MAKNA HADIS "ALLAH SWT TURUN KE LANGIT DUNIA SETIAP SEPERTIGA MALAM TERAKHIR"
HIJRAH.COM - Ada
satu hadits shahih yang mengatakan bahwa Allah SWT turun ke langit dunia setiap
sepertiga malam terakhir. Hadits tersebut adalah:
يَنْزِلُ رَبُّنَا تَبَارَكَ وَتَعَالَى كُلَّ لَيْلَةٍ
إِلَى السَّمَاءِ الدُّنْيَا حِينَ يَبْقَى ثُلُثُ اللَّيْلِ الآخِرُ يَقُولُ:
مَنْ يَدْعُونِي، فَأَسْتَجِيبَ لَهُ مَنْ يَسْأَلُنِي فَأُعْطِيَهُ، مَنْ
يَسْتَغْفِرُنِي فَأَغْفِرَ لَهُ
“Tuhan
kita yang Maha Agung dan Maha Tinggi turun setiap malam ke langit dunia ketika
telah tersisa sepertiga malam terakhir. Ia berfirman: Siapakah yang berdoa
kepadaku, maka aku akan mengabulkannya, Siapa yang meminta kepadaku, maka aku
akan memberikannya. Siapa yang memohon ampun kepadaku maka akan Aku ampuni".
(HR. Bukhari-Muslim)
Di
masa lalu, para teolog berdebat sengit tentang maksud hadits tersebut. Sebagian
ada yang berpendapat bahwa kata “turun” di sana adalah turun dalam makna
sebenarnya (makna hakikat) yang berarti pergerakan dari atas ke bawah. Dalam
makna ini, hadits itu berarti Allah bergerak turun dari atas Arasy ke wilayah
langit dunia. Sebaliknya, ada juga yang mengingkari hadits itu sebab dianggap
mustahil. Imam para Ahli Hadits, Ibnu Hajar al-Asqalani, menceritakan perbedaan
pendapat antara mereka sebagai berikut:
وَقَدِ اخْتُلِفَ فِي مَعْنَى
النُّزُولِ عَلَى أَقْوَالٍ فَمِنْهُمْ مَنْ حَمَلَهُ عَلَى ظَاهِرِهِ
وَحَقِيقَتِهِ وَهُمُ الْمُشَبِّهَةُ تَعَالَى اللَّهُ عَنْ قَوْلِهِمْ وَمِنْهُمْ
مَنْ أَنْكَرَ صِحَّةَ الْأَحَادِيثِ الْوَارِدَةِ فِي ذَلِكَ جُمْلَةً وَهُمُ
الْخَوَارِجُ وَالْمُعْتَزِلَةُ وَهُوَ مُكَابَرَةٌ وَالْعَجَبُ أَنَّهُمْ
أَوَّلُوا مَا فِي الْقُرْآنِ مِنْ نَحْوِ ذَلِكَ وَأَنْكَرُوا مَا فِي الْحَدِيثِ
إِمَّا جَهْلًا وَإِمَّا عِنَادًا وَمِنْهُمْ مَنْ أَجْرَاهُ عَلَى مَا وَرَدَ
مُؤْمِنًا بِهِ عَلَى طَرِيقِ الْإِجْمَالِ مُنَزِّهًا اللَّهَ تَعَالَى عَنِ
الْكَيْفِيَّةِ وَالتَّشْبِيهِ وَهُمْ جُمْهُورُ السَّلَفِ
“Ada
beberapa perbedaan pendapat tentang makna “turun”: Sebagian orang
mengartikannya secara lahirnya dan secara hakikat (makna sebenarnya); mereka
adalah kaum Musyabbihah. Allah maha suci dari perkataan mereka. Sebagian lagi
mengingkari kesahihan seluruh hadits-hadits yang berbicara tentang nuzul;
Mereka adalah Khawarij dan Mu’tazilah. Anehnya mereka mentakwil ayat dalam
al-Qur’an yang seperti itu tetapi mengingkari Hadits, baik karena tidak tahu
atau memang menentang. Sebagian lagi ada yang membacanya sesuai redaksi yang
ada sambil mengimaninya secara global dengan tetap menyucikan Allah Ta’ala dari
tata cara dan penyerupaan. Mereka adalah mayoritas Salaf.” (Fath al-Bâry, juz
III, halaman 30)
Jadi,
yang memaknai kata turun secara literal (makna hakikat atau makna yang bukan
dalam arti kiasan) adalah kaum Musyabbihah. Bagaimanapun, kata turun dalam kamus
adalah bergerak dari atas ke bawah. Kamus Besar Bahasa Indonesia misalnya,
mendefinisikan kata “turun” sebagai bergerak ke arah bawah; bergerak ke tempat
yang lebih rendah daripada tempat semula. Arti semacam ini mau tidak mau pasti
mengandung pemberian tata cara (kaifiyah) dan penyerupaan antara Allah dan
makhluk (tasybîh).
Ulama
Ahlussunnah Wal Jamaah menolak keras arti leksikal seperti di atas sebab itu
mustahil bagi Allah. Opsi pertama bagi Ahlussunnah adalah menerima hadis itu
dengan tanpa perlu membahasnya secara mendalam, cukup membaca ulang sesuai
redaksi yang ada tanpa mengubah konteksnya dan tanpa menentukan maknanya secara
khusus serta menyucikan Allah dari makna yang tak layak baginya. Opsi kedua
adalah menerima hadis itu tetapi mentakwil artinya ke arah selain makna
“bergerak secara fisik ke arah bawah” yang lebih layak bagi Allah.
Opsi
pertama di atas adalah pilihan mayoritas salaf, sedangkan opsi kedua banyak
dipilih oleh ulama di masa berikutnya (muta’akhirîn). Imam Ibnu Hajar menukil pernyataan
al-Baidlawi, tokoh Ahlussunnah yang memilih opsi kedua, sebagai berikut:
وَقَالَ الْبَيْضَاوِيُّ
وَلَمَّا ثَبَتَ بِالْقَوَاطِعِ أَنَّهُ سُبْحَانَهُ مُنَزَّهٌ عَنِ
الْجِسْمِيَّةِ وَالتَّحَيُّزِ امْتَنَعَ عَلَيْهِ النُّزُولُ عَلَى مَعْنَى
الِانْتِقَالِ مِنْ مَوْضِعٍ إِلَى مَوْضِعٍ أَخْفَضَ مِنْهُ فَالْمُرَادُ نُورُ
رَحْمَتِهِ
“al-Baidlawi
berkata: Tatkala sudah pasti dengan dalil-dalil yang tak terbantahkan (qath’i)
bahwa Allah adalah Maha Suci dari sifat fisikal (jismiyah) dan sifat batasan
(tahayyuz), maka tak mungkin kata turun bermakna pergerakan dari satu tempat ke
tempat lain yang lebih rendah. Maka yang dimaksud adalah turunnya cahaya kasih
sayang”. (Fath al-Bâry, juz III, halaman 31)
MAKNA YANG SEBENARNYA
Di
bagian lain, Ibnu Hajar juga menukil pendapat tokoh Ahlussunnah lainnya yang
berkata:
النُّزُولُ مُحَالٌ عَلَى
اللَّهِ لِأَنَّ حَقِيقَتَهُ الْحَرَكَةُ مِنْ جِهَةِ الْعُلُوِّ إِلَى السُّفْلِ
وَقَدْ دَلَّتِ الْبَرَاهِينُ الْقَاطِعَةُ عَلَى تَنْزِيهِهِ عَلَى ذَلِكَ
فَلْيُتَأَوَّلْ ذَلِكَ بِأَنَّ الْمُرَادَ نُزُولُ مَلَكِ الرَّحْمَةِ وَنَحْوُهُ
أَوْ يُفَوَّضُ مَعَ اعْتِقَادِ التَّنْزِيهِ
“Turun
adalah mustahil bagi Allah sebab hakikatnya adalah pergerakan dari atas ke
bawah. Dan, dalil-dalil yang tak terbantahkan (qath’i) telah menunjukkan atas
kemahasucian Allah dari itu semua, maka takwillah hadits itu bahwa yang
dimaksud adalah turunnya malaikat kasih sayang dan sejenisnya atau maknanya
dipasrahkan pada Allah (tafwîdh) serta diyakini kesucian Allah dari hal yang
tak layak (tanzîh).” (Fath al-Bâry, juz XI, halaman 129).
Opsi
kedua ini senada dengan pendapat Imam Malik yang diriwayatkan oleh adz-Dzahabi
dengan sanadnya sebagai berikut:
وَقَالَ ابْنُ عَدِيٍّ: حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بنُ
هَارُوْنَ بنِ حَسَّانٍ، حَدَّثَنَا صَالِحُ بنُ أَيُّوْبَ، حَدَّثَنَا حَبِيْبُ
بنُ أَبِي حَبِيْبٍ، حَدَّثَنِي مَالِكٌ، قَالَ:
يَتَنَزَّلُ رَبُّنَا –
تَبَارَكَ وَتَعَالَى – أَمْرُهُ، فَأَمَّا هُوَ، فَدَائِمٌ لاَ يَزُولُ.
“Dari
Ibnu ‘Adiyy, telah bercerita pada kami Harun bin Hassan, telah bercerita pada
kami Shalih bin Ayyub, telah bercerita pada kami Habib bin Abi Habib, telah
bercerita pada kami Malik bin Anas. Malik berkata: Telah turun urusan Tuhan
kita, adapun Tuhan kita maka tetap tak berubah.” (Siyar A’lâm an-Nubalâ’, juz
VIII, halaman 105).
Demikianlah
aqidah Ahlussunnah wal Jamaah dalam memahami hadits nuzûl atau hadits turunnya
Tuhan tersebut. Makna hakikat sebagaimana dinyatakan di dalam kamus adalah
ditolak sebab pergerakan adalah mustahil bagi Dzat Allah. Bergerak dan terbatas
dalam tempat adalah ciri khas makhluk. Wallahu A’lam.
0 Response to "JANGAN SAMPAI GAGAL FAHAM, INILAH MAKNA HADIS "ALLAH SWT TURUN KE LANGIT DUNIA SETIAP SEPERTIGA MALAM TERAKHIR""
Posting Komentar