WAJIB TABAYYUN HOAKS DAN KHABAR (QADHIAH) DI ERA MODERNISASI SEKARANG
HIJRAH.COM - Khabar (Qadhiyah), meskipun ia bisa saja memiliki nilai
kebenaran absolut, semisal Al-Quran, ia di tempat lain bisa saja memuat
kesalahan, semisal berita-berita dari mulut ke mulut yang sering kita dengar.
Kabar, dengan mengecualikan Al-Quran dan Hadits terpilih, selalu bernilai
ambigu: salah atau benar. Ambiguitas inilah yang menjadi viral dan obrolan
penting akhir-akhir ini.
Bantuan modernisasi, terutama berupa produk-produk
globalisasi, membuat informasi begitu mudah diungkap dan diambil. Kemudahan ini
membuat kita dapat menerima informasi secepat-cepatnya, sebanyak-banyaknya.
Idealnya, pengetahuan kita menjadi berkembang lebih luas daripada dengan
pencarian informasi konvensional, tanpa internet dan semacamnya. Namun, alat
modernisasi ini ternyata menyimpan pisau yang lain: berita-berita palsu (hoax)
juga memanfaatkan kemudahan yang sama.
Alquran, jauh hari sudah mengingatkan dalam Surat
Al-Hujurat: 6; “Hai orang-orang yang beriman, jika datang kepadamu orang fasik
membawa suatu berita, maka periksalah dengan teliti, agar kamu tidak menimpakan
suatu musibah kepada suatu kaum tanpa mengetahui keadaannya yang menyebabkan
kamu menyesal atas perbuatanmu itu.”
Sejarah pada awal generasi Islam pun juga selayaknya bisa
dijadikan pelajaran untuk kita semua. Betapa akibat kecerobohan dalam menyikapi
sebuah informasi, terjadilah kegoncangan hebat dikalangan kaum muslimin saat
itu. Yakni haditsul ifki, gosip yang melanda ummul mukminin Sayyidah Aisyah ra.
Maka, dalam konteks hubungan keumatan dalam tubuh kaum
muslimin saat ini, demikian pula dalam proses pendewasaan diri dalam berbangsa
dan bernegara dewasa ini, sekaligus sebagai upaya untuk melawan berita palsu,
fitnah, dan juga hoax, perlu dan bahkan penting dikembangkan tradisi tabayun
atau klarifikasi dalam setiap informasi yang berkembang di masayarakat.
Jikalau ada informasi negatif tentang diri dan kepribadian orang atau pihak lain, terlebih lagi sesama muslim, maka prinsip husnudzan atau praduga tak bersalah harus menjadi pijakan awal dalam menyikapinya, sebelum kemudian melakukan tabayun.
Jikalau ada informasi negatif tentang diri dan kepribadian orang atau pihak lain, terlebih lagi sesama muslim, maka prinsip husnudzan atau praduga tak bersalah harus menjadi pijakan awal dalam menyikapinya, sebelum kemudian melakukan tabayun.
Hal lain yang juga harus diwaspadai di era digital ini
adalah tajassus, atau mencari-cari kesalahan orang lain, dan juga ghibah atau
menggunjing. Keduanya, baik tajassus ataupun ghibah memiliki kadar bahaya yang
sangat tinggi. Terlebih di era informasi yang jumlahnya sudah sangat tak
terbatas seperti saat ini.
Demi ihwal tajassus dan juga ghibah ini, Allah berfirman:
“Hai orang-orang yang beriman, jauhilah kebanyakan dari prasangka, sesungguhnya
sebagian prasangka itu adalah dosa, dan janganlah kamu mencari-cari kesalahan
orang lain, dan janganlah sebahagian kamu menggunjing sebahagian yang lain.
Sukakah salah seorang di antara kamu memakan daging saudaranya yang sudah mati?
Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah.
Sesungguhnya Allah Maha Penerima taubat lagi Maha Penyayang.”(QS. Al-Hujurat :
12)
Tatkala prasangka
buruk dilarang oleh Allah swt., bukan berarti seseorang diharuskan mencari
kepastian tentang kebenaran dari berita tersebut, yang ujungnya akan melahirkan
tajassus, atau mencari-cari kesalahan orang lain. Jika berita yang beredar tak
membutuhkan tabayyun atau klarifikasi dikarenakan terkait privasi seseorang,
maka tak perlu antar sesama saling mencari-cari kesalahan. Justru kita
diperintahkan untuk menutupi aib atau kesalahan pribadi orang lain yang tidak
ada sangkut pautnya dengan kepentingan orang lain atau kepentingan umum.
Lebih dari itu, ihwal
ghibah atau menggunjing, Imam An-Nawawi mengkategorikannya dalam dosa besar.
Dalam surat Al-Hujurat di atas, dimetaforkan bahwa menggunjing terhadap saudara
seiman sama halnya dengan memakan daging saudaranya tersebut dalam keadaan
mati. Jikalau seseorang dipotong dagingnya pastilah ia akan merasa kesakitan yang
luar biasa. Bukankah akan lebih sakit lagi jika ia dipotong kehormatannya.
Watak tajassus dan ghibah ini sangat berbahaya jika
menjangkiti media pemberitaan. Media sudah tidak akan mengabarkan berita dan
informasi yang jernih dan proporsional. Produk yang lahir dari watak media yang
seperti ini adalah jurnalisme gosip.
Jikalau memang terjadi perselisihan, sudah semestinya
perselisihan tersebut tidak dibiarkan berlarut-larut. Harus segera diupayakan
jalan ishlah atau perdamaian di antara keduanya. Karena sesama muslim adalah
bersaudara. Allah ta’ala berfirman: “Sesungguhnya orang-orang mu’min adalah
bersaudara karena itu damaikanlah antara kedua saudaramu dan bertakwalah kepada
Allah supaya kamu mendapat rahmat.”(QS. Al-Hujurat : 10)
Jalan ishlah akan lapang terbuka, jika masing-masing pihak
mengedepankan sikap saling mengalah, dan mencari titik temu di antara dua
kepentingan yang menjadi pangkal sengketa. Hal tersebut akan terwujud jika
masing-masing pihak tidak mencela, mengolok-olok dan menganggap rendah pihak
lain. Serta dia tidak merasa tinggi diri dan paling benar, apalagi paling baik
di hadapan Allah SWT.
Jika sikap tinggi diri atau sombong ini telah mewarnai
kesadaran seseorang, maka disadarai atau tidak, hal inilah yang akan menjadi
titik tolak awal sebuah kehancuran. Sebagaimana pula Iblis terlaknat oleh Allah
dan terusir dari surga akibat sikap tinggi dirinya terhadap Nabi Adam as.
Imam Al-Ghazali pernah menyatakan bahwa terhadap siapapun,
kita tak selayaknya menyombongkan diri. Karena kita tidak akan tahu dengan
keadaan bagaimana hidup kita berakhir, husnul khatimah-kah, ataukah su’ul
khatimah? Tetap dalam keimanan-kah, ataukah berakhir tanpa membawa iman?
Pertanyaan sekaligus pernyataan yang harus benar-benar kita renungkan
dalam-dalam.
Walhasil, di era pergunjingan, fitnah, dan juga bertebarnya
berita hoax seperti saat ini, yang perlu kita kedepankan adalah sikap waspada
sekaligus tetap selektif dan verifikatif terhadap setiap informasi yang kita
terima. Ketiga usaha tersebut menurut penulis merupkan bagian penting dari
literasi media sosial.
Wallahua’alam.
0 Response to "WAJIB TABAYYUN HOAKS DAN KHABAR (QADHIAH) DI ERA MODERNISASI SEKARANG"
Posting Komentar